Arti kebebasan berekspresi bagi generasi muda Indonesia
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Setiap tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia. Rappler dan UNESCO memberikan lokakarya kepada 20 mahasiswa dan jurnalis muda
JAKARTA, Indonesia – “Kebebasan berekspresi membingungkan saya,” kata Iqbal Hariadi.
Iqbal merupakan salah satu dari 20 peserta bengkel “Literasi Pemuda dan Jurnalisme Warga” yang diselenggarakan oleh Rappler Indonesia dan UNESCO menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia pada Senin, 1 Mei 2017 di Jakarta Convention Center.
Ia mengatakan, sebagai warga negara Indonesia, ia memiliki kebebasan berekspresi, namun setelah dipikir-pikir lebih jauh, ia merasa ragu.
“Ada rasa takut didiskriminasi dan kehilangan teman, sehingga membuat saya memilih bungkam,” kata Iqbal. Itu sebabnya ia memilih untuk tidak mengutarakan pendapatnya –apalagi soal pandangan politik dan agama– di media sosial.
Pendapat tentang kebebasan berekspresi (1) – Pelaporan untuk #kebebasan pers lokakarya tentang literasi media dan jurnalisme warga #WPFD2017 pic.twitter.com/e9dKelRzNr
— Iqbal Hariadi (@iqbalhape) 1 Mei 2017
Dalam lokakarya tersebut, peserta diajak berpikir kritis mengenai apa arti kebebasan berekspresi bagi mereka. Konsultan Sosial Humaniora UNESCO Bangkok David Young meminta para peserta untuk mendefinisikan kebebasan berekspresi bagi setiap individu.
Selain itu, terdapat pula tantangan kebebasan berekspresi yang dialami warga negara Indonesia. Para peserta menyampaikan bahwa meskipun mereka telah diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka, namun masih terdapat faktor eksternal yang menghambat kebebasan berekspresi di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah norma dan budaya Indonesia.
Koresponden Rappler di Asia Tenggara Natashya Gutierrez juga memberikan pelatihan pelaporan multimedia kepada peserta yang terdiri dari mahasiswa, jurnalis muda, dan praktisi media.
Mereka juga diberikan pelatihan tentang cara menggunakan media sosial bagi jurnalis oleh Community Engagement Lead Rappler Indonesia Abdul Qowi Bastian. Tujuannya untuk melakukan perubahan pada komunitas masing-masing.
Di akhir acara, seluruh peserta diminta untuk menerapkan apa yang mereka pelajari dalam laporan multimedia dan diberikan saran dan kritik oleh staf UNESCO dan Rappler.
Apa pendapat generasi muda tentang kebebasan berekspresi? Simak pendapat mereka di bawah ini:
—Rappler.com