• November 28, 2024

Daur ulang ke Belanda ditolak

JAKARTA, Indonesia – Puluhan nelayan asal Muara Angke, Jakarta Utara, berkumpul di depan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda pada Rabu, 23 November. Mereka menuntut negara kincir angin itu mundur dari proyek tersebut Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara (NCICD).

Menurut mereka, proyek tanggul raksasa ini memakan biaya hingga triliunan rupiah di perairan utara Jakarta. Hal ini juga mengakibatkan terjadinya reklamasi yang menyebabkan ribuan nelayan tidak bisa lagi melaut di Teluk Jakarta.

Para nelayan, aktivis, dan mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta juga mengirimkan dua surat protes masing-masing kepada pemerintah Belanda dan perusahaan kredit Atradius.

“Tapi sampai saat ini belum ada jawaban!” ujar Arieska Kurniawaty dari Solidaritas Perempuan.

keterlibatan Belanda

Dalam surat tersebut, mereka menyebutkan dampak sosial dan lingkungan dari NCICD. Tak hanya itu, banyak juga perusahaan Belanda yang dilibatkan sebagai konsultan reklamasi 17 pulau di Pantai Utara Jakarta.

Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pulau palsu menguntungkan Belanda, namun berdampak buruk bagi perekonomian pesisir dan nelayan Jakarta, kata Arieska.

Pertama, ada Royal Haskoning DHV yang bertanggung jawab atas desain Pulau F dan N; lalu Witeven+Bos yang mendesain Pantai Indah Kapuk, pulau C, D dan E. KeduaPulau G yang menjadi pusat konflik juga dikeruk dan diisi oleh Van Oord dan Boskalis, dengan jaminan kredit ekspor dari Atradius sebesar 209 juta Euro.

Salah satu contohnya adalah ketika reklamasi Pulau G dimulai, para nelayan yang hanya membutuhkan 5-6 liter solar untuk melaut harus mengumpulkan dana hingga dua kali lipat. Akibatnya, pendapatan mereka berkurang dari Rp300 ribu per hari menjadi hanya Rp50 ribu. Belum lagi jumlah hasil tangkapan yang terus berkurang akibat pencemaran lingkungan.

Nelayan perempuan juga terkena dampaknya. Sebagian besar istri nelayan di Jakarta Utara bergabung dengan suaminya mencari ikan atau bekerja sebagai pekerja sampingan seperti mengeringkan dan mengolah ikan untuk dijual.

“Saat penghasilan suami turun, mereka harus menambah jam kerja, hingga 18 jam sehari,” kata Arieska.

Koalisi mengatakan pembangunan 17 pulau dan tembok laut raksasa telah dan akan merampas pekerjaan para nelayan, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

“Jika Anda terus mendaur ulang, berarti Anda (pemerintah Belanda) mendukung pelanggaran HAM, korupsi, dan kerusakan lingkungan,” ujarnya. Padahal, Belanda merupakan salah satu negara yang memiliki komitmen tinggi terhadap pelestarian ekosistem dan lingkungan.

‘Proyek bukan untuk kami’

Sugianto, perwakilan nelayan yang memberikan sambutan, mengatakan kehidupannya semakin sulit setelah dimulainya reklamasi. “Proyek ini justru membebani kami, para nelayan! “Sebenarnya laut adalah sumber kehidupan kita,” teriaknya sambil memegang bendera merah putih seperti jubah.

Ia meminta perwakilan kedutaan Belanda keluar dan menemui para nelayan. Bagaimanapun, mereka mencampurkan tangan mereka ke dalam pusaran daur ulang ini.

Terakhir, Deputy Chief Mission Belanda, Jakarta, Ferdinand Lahnstein, keluar dan berdialog dengan para nelayan. Pertama, Arieska meminta pemerintah Belanda segera menanggapi surat laporan koalisi.

“Saya belum tahu sudah diterima atau belum, silakan dikirim lagi, minggu depan kami pastikan sudah ada jawabannya,” kata Lahnstein. Jawaban tersebut diprotes oleh peserta aksi karena dianggap terlalu panjang. Surat telah dikirim sejak Oktober lalu.

Lahnstein kemudian menjanjikan dialog antara Kedutaan Besar Belanda dan para nelayan yang akan dilanjutkan dengan pelaporan langsung kepada pemerintah di sana. Seorang aktivis, Reiza Patterns, berteriak menyangkal.

“Kami tidak ingin berdialog dengan Anda! “Kami ingin Anda meninggalkan proyek daur ulang ini,” katanya yang disambut teriakan persetujuan dari para nelayan.

Lahnstein tidak menanggapi hal tersebut, namun tetap menjanjikan dialog antara kedua pihak. Menurutnya, Kedutaan Belanda tidak mempunyai kewenangan dalam NCICD dan daur ulang.

“Ini merupakan komitmen kami untuk membantu pemerintah Indonesia mengatasi penurunan permukaan tanah,” ujarnya sebelum meninggalkan lokasi.

Koalisi sendiri sebenarnya menggelar aksi ini sebagai bagian dari kunjungan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Namun yang bersangkutan tak kunjung mendatangi tempat aksi.

Selain Jakarta, Belanda juga berkolaborasi dalam penanganan banjir rob di Semarang, dengan mempercepat pembangunan Polder Banger.—Rappler.com

Result SDY