China meminta pengembalian 8 awak kapal yang ditahan Indonesia
- keren989
- 0
Tiongkok merasa nelayannya menangkap ikan di wilayah yang sah dan disebut sebagai “wilayah penangkapan ikan tradisional Tiongkok”.
JAKARTA, Indonesia – Pemerintah China meminta Indonesia membebaskan delapan awak kapal Kway Fey yang ditangkap personel Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kepulauan Natuna pada Sabtu, 19 Maret. Juru Bicara Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta, Xu Hangtian, mengatakan delapan awak kapal tersebut sedang menangkap ikan di tempat yang mereka klaim masih merupakan bagian dari apa yang mereka sebut sebagai “daerah penangkapan ikan tradisional Tiongkok”.
Kawasan tersebut diklaim China sebagai kawasan tempat para nelayan mereka sudah lama melaut di sana. Namun klaim tersebut hanya datang secara sepihak dari Tiongkok.
“Daerah dimana kejadian tersebut terjadi adalah bagian dari wilayah penangkapan ikan tradisional Tiongkok. Kapal nelayan Tiongkok tersebut sedang melakukan aktivitas rutin ketika dikejar oleh kapal bersenjata Indonesia. Delapan awak kapal asal Tiongkok kemudian ditahan pihak berwenang Indonesia, kata Xu dalam pesan singkat yang diterima Rappler, Senin, 21 Maret.
Xu meminta Indonesia segera membebaskan nelayan Tiongkok dan melindungi keselamatan mereka.
“Pemerintah Indonesia diharapkan dapat menangani masalah ini dengan baik dan memperhatikan hubungan baik kedua negara secara keseluruhan,” kata Xu.
Mereka meminta jika ada perbedaan pemahaman mengenai isu penangkapan ikan, kedua pihak akan berkomunikasi melalui jalur diplomasi.
Tolak tuntutan Tiongkok
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menolak tegas klaim China. Menurutnya, istilah “wilayah penangkapan ikan tradisional” tidak dikenal dalam hukum internasional. Yang ada hanyalah “hak penangkapan ikan tradisional”.
“Itupun (hak penangkapan ikan tradisional) harus dilakukan dengan persetujuan dua negara atau lebih. “Mereka bersama-sama menandatangani perjanjian hak penangkapan ikan tradisional,” kata Susi saat memberikan siaran pers di kantor PKC, Senin, 21 Maret.
Indonesia, lanjut Susi, hanya memiliki perjanjian hak penangkapan ikan tradisional dengan Malaysia. Areanya juga ditentukan.
“Tidak ada perjanjian hak penangkapan ikan tradisional antara Indonesia dan negara mana pun di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna atau Laut Cina Selatan. “ZEE Indonesia di Kepulauan Natuna mutlak berada dalam wilayah dan kepentingan Indonesia,” kata pemilik maskapai Susi Air itu.
Ia pun menjelaskan peristiwa penembakan yang disebutkan China. Susi menjelaskan, saat mereka sedang mengejar kapal Kway Fey, kapal patroli PKC bernama Hiu melepaskan tembakan dari udara sebagai peringatan karena mereka lari saat didekati.
“Kapal patroli PKC tidak berniat menembaki kapal tersebut atau orang-orang di dalamnya. Setelah berhasil mendekati kapal tersebut, tiga personel kapal patroli Indonesia berhasil bergerak menuju kapal China tersebut. “Mereka memindahkan delapan awak kapal ke kapal Indonesia tersebut,” jelas Susi.
Tiongkok, katanya, harus menjelaskan ke mana tembakan itu ditujukan.
Setelah berhasil memindahkan delapan awak kapal yang semuanya berkewarganegaraan Tiongkok, PKT menarik kapal Kway Fey.
“Saat proses ekstraksi mencapai jarak 70-80 mil, tiba-tiba datang dua kapal Penjaga Pantai milik Negeri Tirai Bambu. Mereka kemudian menabrak kapal nelayan Kway Fey dengan tujuan menghentikan proses penarik. Akhirnya PKC melepaskan kapal tersebut dan kembali ke kapal patroli Indonesia, ujarnya.
Susi mengaku geram dengan sikap dua kapal penjaga pantai China tersebut. Pasalnya, tindakan mereka membahayakan keselamatan anggota patroli PKC dan delapan awak kapal dari Tiongkok sendiri.
Lantas bagaimana nasib delapan awak kapal asal Tiongkok tersebut? Susi mengaku tidak akan menyerahkan begitu saja kepada pemerintah China. Mereka akan melalui proses pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
“Selama proses pemeriksaan, mereka akan diperlakukan dengan baik. “Setelah pemeriksaan selesai, mereka dipulangkan,” kata Susi.
Bagaimana dengan nasib kapal Kway Fey? Susi mengaku akan mengupayakan agar kapal tersebut diserahkan ke Indonesia oleh China karena merupakan barang bukti.
Menurut Susi, permasalahan terbesar adalah perbedaan pemahaman mengenai daerah penangkapan ikan yang diklaim Tiongkok sudah ada sejak nenek moyang mereka. Sementara klaim tersebut tidak diakui oleh hukum internasional.
“Jika kami tidak setuju, kami tidak akan bisa pergi ke mana pun. Jika perlu, kami akan membawa masalah ini ke pengadilan internasional. Karena cepat atau lambat masalah ini harus menjadi jelas, katanya.
Sikap ambigu
Menurut Susi, apa yang ditunjukkan pemerintah China merupakan tindakan ambigu. Sebab di satu sisi mereka mengakui Kepulauan Natuna merupakan bagian dari wilayah Indonesia.
“Sementara itu, di sisi lain, mereka juga menganggap kawasan tersebut sebagai bagian dari wilayah penangkapan ikan mereka. Kenapa ketika Indonesia menegakkan hukum melawan IUU fishing, malah melakukan intervensi?” tanya Susie.
Ia berharap hubungan baik dengan China tidak ternoda dengan kejadian IUU fishing. Sebab IUU fishing merupakan tindak pidana yang telah disepakati untuk diberantas oleh seluruh negara di dunia, termasuk pemerintah Tiongkok. Susi ingin kejadian serupa tidak terulang lagi demi perdamaian di kawasan Laut Cina Selatan.
Tingkatkan patroli
Untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali, TNI Angkatan Laut berjanji akan meningkatkan kehadiran dan frekuensi Kapal Rakyat Indonesia (KRI) di kawasan Natuna. Namun, dia tidak menyebutkan berapa jumlah kapal yang akan berada di perairan Kepulauan Natuna.
Nantinya pengamanan terintegrasi dengan Bakamla, KKP dan TNI Angkatan Laut. “Tidak hanya jumlah KRI yang ditambah, tapi frekuensi kemunculannya juga,” kata Wakil Kepala Staf Angkatan Laut (Wakasal), Laksamana Arie Sembiring, Senin, 21 Maret di kantor KKP. – dengan laporan oleh Uni Lubis/Rappler.com
BACA JUGA: