• September 28, 2024
Kemewahan helikopter dan sepotong pizza di Leicester

Kemewahan helikopter dan sepotong pizza di Leicester

Tak banyak perubahan yang terjadi di Leicester City. Namun tim yang baru promosi ke Premier League musim lalu berhasil menjadi kuda hitam Premier League musim ini.

JAKARTA, Indonesia – Ada rutinitas baru yang selalu diingat warga Leicester setiap kali klub kota itu usai bermain. Suara helikopter memenuhi kota dan kemudian perlahan menghilang tertiup angin.

Kejadian seperti ini cukup unik bagi warga dan langsung menjadi perbincangan seluruh masyarakat di kawasan East Midlands.

Maklum, sebagai kota tertua kedua di Inggris dan berpenduduk hanya sekitar 300 ribu jiwa, helikopter yang mengudara setiap akhir pekan merupakan sebuah “kemewahan” yang langka.

Dan suara helikopter tersebut membawa suatu pertanda yang perlahan mulai menjadi hal biasa di benak mereka: pemilik klub Vichai SrivaddhanaprabhaKonglomerat Thailand yang mengakuisisi klub tersebut pada awal tahun 2011 berada di kota tempat raja Inggris abad ke-15 Richard III dimakamkan.

Srivaddhanaprabha sering datang untuk menyaksikan timnya bertanding. Sejak menggantikan Milan Mandaric dari kursi ketuapengusaha bebas pajak King Power Group sering tiba dengan helikopter pribadi.

Konglomerat Thailand berusia 58 tahun itu tergabung dalam konsorsium investasi Negeri Gajah Putih di dunia sepak bola. Perusahaan payungnya bernama Asian Football Investments (AFI).

Saat membelinya dari Mandaric, sorotan terhadap AFI tak secemerlang Qatar Investment Authority (QIA) yang membeli Paris Saint-Germain di tahun yang sama.

Alasannya tentu saja karena kekuatan finansial QIA yang lebih besar. Bermodal besar, mereka langsung memasang target ambisius: 10 tahun ke depan, PSG harus menjadi raksasa Eropa.

Beberapa nama besar duduk di kursi kepelatihan dan dewan direksi. Carlo Ancelotti yang dipecat dari Chelsea ditarik sebagai pelatih, sedangkan legenda AC Milan asal Brasil Leonardo duduk sebagai direktur olahraga.

AFI jelas tidak bisa menandingi ambisi para tokoh terkemuka di Timur Tengah ini. Klub sekelas yang mereka beli, Leicester City, memang tidak maksimal Orang Parisjulukan PSG. Rubah—Julukan Leicester—saat itu berada di kasta kedua kejuaraan sepak bola Inggris.

Mereka baru promosi ke Premier League musim lalu, 2014-2015, setelah tenggelam di Championship selama 11 tahun. Itupun di penghujung musim, Wes Morgan dkk justru kembali mengalami mimpi buruk degradasi.

Mereka hanya terpaut 6 poin dari tim peringkat ketiga yang telah terdegradasi Hull City.

Boneka gaya ala Tinkerman

Hasil buruk musim lalu membuat manajer klub memecat Nigel Pearson. Namun ekspektasi penggemar dan media tak kunjung meningkat ketika pihak klub mengumumkan penggantinya: Claudio Ranieri.

Bahkan penunjukan ini sempat menjadi bahan cemoohan.

Ranieri dianggap bukan manajer yang baik. Meski pernah menangani klub Prancis, Spanyol, dan Italia, ia belum pernah meraih gelar besar. Hanya 2 piala domestik, Coppa Italia (Fiorentina) dan Copa del Rey (Valencia).

Kepercayaan fans terhadap pelatih berusia 64 tahun itu kian memudar sejak ia menjabat sebagai pelatih timnas Yunani yang gagal. Dari 5 pertandingan bersama Vasilis Torosidis dkk, Ranieri sudah mencatatkan 4 kekalahan dan satu hasil imbang.

Bahkan Yunani tidak pernah sekalipun menang di tangannya.

Namun, Leicester perlahan tapi pasti mulai berkembang. Perubahan yang dilakukan Ranieri tak banyak. Dia belum melakukan perombakan besar-besaran seperti yang dia lakukan di Chelsea dan Monaco – kebiasaannyalah yang membuatnya mendapat julukan itu. Manusia Tinker alias perombak.

Menyanyi Tinkerman datang dengan mentalitas baru. Dua belas pemain utama dipertahankan. Beberapa asisten Pearson seperti Steve Walsh dan Craig Shakespeare masih terlibat. Begitu pula 3 asisten lainnya yang ikut membangun fondasi Leicester hingga mencapai promosi.

Dua idola baru Leicester di Premier League, James Vardy (pencetak 13 gol dalam 13 minggu) dan Riyad Mahrez, juga bukan pemain baru Leicester. Mahrez telah bersama klub sejak musim lalu sementara Vardy telah bersama klub selama dua musim sebelumnya.

Keduanya dibeli oleh Leicester dengan harga tidak lebih dari £1,5 juta. Jumlah uang tersebut bahkan tak sampai 10 kali lipat dibandingkan Angel Di Maria yang gagal total di Manchester United dengan banderol 44 juta poundsterling dari Real Madrid.

Meski demikian, Ranieri tetap mempertahankan gaya pendekatan pemainnya. Sebelum laga pertama melawan Sunderland yang berakhir dengan kemenangan 4-2, ia memotivasi para pemainnya dengan memainkan lagu band asal Inggris Kasabian. Kebetulan adalah salah satu anggota grup penggemar Leicester.

Ini bukan satu-satunya kali pendekatan “boneka” Ranieri dilakukan. Saat masih menukangi AS Roma, ia pernah ditegur FIGC (PSSI Italia) karena mengundang pemainnya untuk syuting film. budak. Kapten tim, Francesco Totti, bahkan sempat berfoto bersama bintang utama film Hollywood, Russel Crowe.

“Para pemain Roma adalah gladiator sejati,” kata Ranieri menganalogikannya, seperti dikutip Reuters.

Dengan Leicester ia pun menjalin kesepakatan. Jika tim mampu lembar bersih alias tidak mengalah sama sekali, dia akan menghadiahi mereka dengan suguhan pizza. Dan jika Anda mampu menduduki puncak papan peringkat seperti pada Hari pertandingan Pada tanggal 13 dia berganti membeli bir.

Sejauh ini, strategi pizza dan bir berhasil mengantarkan Leicester ke puncak klasemen Liga Inggris. Ranieri mungkin perlu menambah hasil jika ingin memenangkannya. Atau masih terlalu dini untuk membahasnya? –Rappler.com

BACA JUGA:

Data Sidney