Indonesia membutuhkan lebih dari sekedar hashtag untuk menghadapi terorisme
- keren989
- 0
Hashtag saja tidak cukup. Jika masyarakat benar-benar ingin menciptakan gerakan sosial untuk melawan terorisme, kita perlu memperluas jangkauan kita secara offline.
Banyak orang berkomentar di media sosial saat terjadinya aksi bom dan penembakan teroris pada Kamis, 14 Januari di Jakarta yang dilakukan oleh penyerang yang terkait dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Dua hashtag populer muncul di Twitter dan Facebook: #PrayForJakarta dan #KamiTidakTakut, yang artinya “Kami tidak takut”.
Hashtag berdoa untuk sesuatu adalah ungkapan umum di media sosial untuk menunjukkan kepedulian dan simpati. Pasca serangan teroris di Paris, #PrayForParis juga populer di media sosial.
Tagar #KamiTidakTakut, yang digunakan oleh lebih dari 100.000 orang setiap harinya sejak serangan tersebut, bernada menantang terhadap terorisme. Kita bisa melihatnya di komentar dan meme yang menggunakan hashtag.
Media internasional memberitakan Tanggapan menantang dari masyarakat Indonesia. Namun seberapa efektif respons terhadap media sosial dalam melawan tujuan teroris?
Bagaimana mengatakan #Kami tidak takut untuk bersungguh-sungguh?
Pengguna media sosial di Indonesia sebagian besar adalah kelas menengah perkotaan, menurut a belajar oleh Pusat Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
Dengan demikian, tagar #KamiTidakTakut mencerminkan sikap masyarakat kelas menengah perkotaan Indonesia, bukan masyarakat umum. Kenyataannya, masyarakat Indonesia mempunyai sikap yang beragam terhadap kelompok ekstremismulai dari perasaan apatis, waspada hingga takut.
Pengguna media sosial di Indonesia cenderung memanfaatkannya untuk mengikuti tren. Penggunaan media sosial mereka tidak selalu mencerminkan kehidupan sehari-hari mereka yang sebenarnya atau berhubungan dengan tujuan yang ingin mereka capai.
Mereka berpindah dengan sangat cepat dari satu masalah ke masalah lainnya. Kebanyakan netizen tidak terus-menerus mengkampanyekan suatu tujuan di media sosial untuk menginspirasi tindakan dalam kehidupan nyata.
Oleh karena itu, tak heran jika setelah #PrayForJakarta dan #KamiTidakTakut, tagar berikutnya yang menjadi topik populer adalah #KamiNaksir dan #PolisiGanteng (Polisi Ganteng) yang mengomentari ketampanan polisi di lokasi kejadian. adalah.
Umumnya pengguna media sosial di Indonesia berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Mereka adalah agen bebas, tidak berafiliasi satu sama lain sebagai sebuah kelompok atau terhubung kuat dengan tujuan yang mereka dukung menggunakan hashtag. Oleh karena itu, tidak mudah untuk melakukan gerakan serius pemberantasan terorisme berbasis masyarakat sipil secara online.
Misalnya, sulit mendefinisikan apa yang dimaksud pengguna Twitter dengan #KamiTidakTakut dan aktivitas apa yang bisa menjadi wujudnya, baik di dunia maya maupun di kehidupan nyata. Oleh karena itu, selain mengunjungi lokasi teror ketika situasi aman, tidak jelas apa lagi yang akan dilakukan pendukung #KamiTidakTakut untuk terus memerangi terorisme.
Penggunaan media sosial secara efektif oleh kelompok teroris
Kelompok radikal juga menggunakan media sosial untuk mempromosikan gerakannya.
Kelompok teroris berperang di dua arena: dunia online dan dunia nyata. Meskipun medan perang utama mereka berada di dunia nyata, kampanye media sosial membantu mereka mencapai tujuan. Isu yang mereka sampaikan di media sosial mungkin beragam, namun tetap dalam kerangka tujuannya.
Para ekstremis menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, menyebarkan propaganda, dan merekrut anggota. Para rekrutan ini biasanya masih muda. Pengguna media sosial di Indonesia rata-rata antara usia 18 dan 25 tahun.
Di dunia nyata, pelaku terorisme adalah individu-individu yang tergabung dalam suatu jaringan kelompok. Mereka mempunyai komitmen yang sangat kuat terhadap tujuan mereka. Tidak sulit bagi mereka, baik online maupun di kehidupan nyata, untuk mengorganisir orang-orang di lingkaran mereka untuk melakukan aktivitas demi tujuan mereka.
Aktivisme hastag saja tidak cukup
Dengan membandingkan komitmen dan dampak yang mereka miliki, terlihat jelas bahwa kelompok teroris lebih efektif menggunakan media sosial sebagai alat pergerakan mereka dibandingkan dengan pengguna media sosial pada umumnya, khususnya pengikut #KamiTidakTakut.
Tagar yang menantang memang mengirimkan pesan perlawanan terhadap kelompok teroris dan menginspirasi orang untuk mengecam terorisme.
Namun hashtag saja tidak cukup. Jika masyarakat benar-benar ingin menciptakan gerakan sosial untuk melawan terorisme, kita perlu memperluas jangkauan kita secara offline.
Kita harus terus berupaya melawan ekstremisme dengan menciptakan perdebatan mengenai isu-isu relevan, seperti makna jihad. Artinya, kita harus bekerja sama dengan para pemimpin agama. Masyarakat harus mengorganisir diri mereka sendiri untuk melawan terorisme dalam kehidupan nyata, di luar dunia online.
Jika tidak, #KamiTidakTakut hanya akan menjadi retorika online yang diakhiri dengan hashtag yang tidak masuk akal seperti #KamiNaksir dan #PolisiGanteng. – Rappler.com
Artikel ini pertama kali diterbitkan pada Percakapan. Andi Rahman Alamsyah adalah Dosen Sosiologi Universitas Indonesia.