• September 25, 2024

Simposium tandingan tahun 1965 fokus pada kritik terhadap kebangkitan PKI

JAKARTA, Indonesia – Usai pemerintah menggelar Simposium Nasional 1965 pada 18-19 April di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, sekelompok organisasi masyarakat dan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengaku tidak puas.

Mereka akhirnya memutuskan untuk mengadakan simposium versi mereka sendiri.

Dalam jumpa pers di Gedung Dewan Dakwah, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, hari ini, Senin, 30 Mei, Letjen Purnawirawan TNI Kiki Syahnakri yang merupakan Ketua Panitia Pelaksana Simposium Rival menyoroti perbedaan pandangan pemerintah. versi simposium nasional dan versinya.

(BACA: Ada Geger Kalangan Purnawirawan TNI Soal Simposium ’65)

Pertama, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan ideologis, bukan pendekatan historis.

“Sebenarnya kami sedang mengoreksi pendekatan historis itu. Terlalu banyak versi sejarah, Anda tidak akan menemukannya. Inilah sebabnya kami mengambil pendekatan ideologis. “Kalau kita sama-sama mengakui Pancasila pasti akan bertemu,” kata Kiki.

Kedua adalah tema yang diambil Jagalah Pancasila dari bahaya PKI dan ideologi lainnya. Mengapa tema tersebut dipilih?

Itulah sebabnya fenomena kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) terjadi, ujarnya. Menurutnya, belakangan ini banyak fenomena yang mengindikasikan kebangkitan PKI yang ditandai dengan beredarnya lambang partai berlambang palu arit.

Ideologi apa lagi yang dimaksud? “Kapitalisme dan liberalisme termasuk,” kata Kiki.

Ketiga, materi yang dibahas berkaitan dengan PKI. Dalam siaran pers yang diberikan kepada Rappler, materi yang akan dibahas dalam simposium 3 hari tersebut antara lain:

  • PKI dari aspek ideologi dan sejarah
  • Ideologi komunis dan perspektif agama
  • Komunisme-Marxisme-Leninisme dalam perspektif Konstitusi Negara Republik Indonesia

Simposium ini, menurut Kiki, akan berbeda dengan simposium sebelumnya yang membahas tragedi pembantaian 1965 dari sudut pandang sejarah, psikologi, dan penyintas.

Namun menurutnya, ada kesamaan antara simposium versi pemerintah dengan simposium yang digelarnya, yakni sama-sama menghadirkan orang-orang pemerintah sebagai pembicara utama.

Jika sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Panjaitan memberikan pidato pembukaan pada Simposium Nasional 1965, maka simposium tandingan akan dibuka oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu.

Selain itu, simposium kompetitif ini juga mengundang sejumlah tokoh seperti:

  • Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam (FPI).
  • Politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon
  • Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amien
  • Purnawirawan Letjen Sayidiman Surjohadiprojo
  • Purnawirawan Letjen Sintong Panjaitan
  • Purnawirawan Brigjen Saafruedin Bahar
  • Purnawirawan Letjen Achmad Rustandi
  • Purnawirawan Letjen Widjojo Soejono

“Kami mengundang Habib Rizieq karena jelas organisasinya anti komunis,” kata Kiki.

Ia kemudian membantah bahwa penyelenggaraan simposium ini merupakan bentuk kompetisi atau pesaing dari simposium sebelumnya.

“Itu tidak dimaksudkanmenangkal, “Tetapi lebih tepat jika diluruskan, karena simposium sebelumnya terlalu berat sebelah,” ujarnya.

Untuk itu, pihaknya juga akan mengundang komunitas seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966.

Namun sebagai penyeimbang, kata Kiki, panitia juga akan menghadirkan korban dan saksi kekejaman PKI pada tahun 1948 dan 1965.

Apa keberatannya?

Menurut Kiki, pihaknya sejak awal diundang oleh Panitia Simposium Nasional 1965, namun ia mengajukan syarat, yakni perubahan Kerangka acuan (TOR) dan susunan panitia.

Ia mengaku keberatan karena TOR memberikan kesempatan permintaan maaf oleh negara dan proses peradilan seperti yang diinginkan para korban 1965.

Sayangnya, usulan perubahan tersebut ditolak panitia. Karena itu, Kiki memutuskan untuk tidak menghadiri simposium tersebut.

Selain itu, dia juga melihat struktur panitia yang tidak seimbang. “Panitianya didominasi oleh LSM yang menurut saya sangat tidak bersahabat dengan kami,” ujarnya.

Meminta rekomendasi agar Simposium 1965 ditunda

Soal dukungan, selain bekerja sama dengan Menteri Pertahanan Ryamizard, Kiki mengaku sudah melakukan pembicaraan dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut.

“Kemarin Pak. Luhut mendatangi PPAD (Persatuan Pensiunan Angkatan Darat), kami jelaskan dan minta rekomendasi versi Aryaduta (Hotel) ditunda dan menunggu rekomendasi kami, agar bisa menjadi hasil akhir simposium,” ujarnya. .

Kiki mengaku pihaknya siap duduk dan berunding nanti dengan Panitia Simposium Nasional 1965 agar bisa disusun rekomendasinya, sehingga bisa sekaligus disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

Pemuda NU dan Muhammadiyah menolak terlibat

Terkait simposium ini, Ketua Nahdlatul Ulama (NU) on line yang juga aktivis reformasi tahun 1998, Muhammad Syafi’ Ali atau biasa disapa Savic Ali mengundang partai-partai tersebut untuk menggelar simposium bertema kebangkitan PKI.

Namun, dia mengaku belum berminat bergabung. Ia malah melihat isu kebangkitan PKI sebagai upaya sistematis kelompok tertentu yang punya agenda politik tersembunyi.

“Ini adalah upaya sistematis untuk membuat isu ini seolah-olah benar adanya, seperti mengadakan simposium, seminar, dan pernyataan. Saya pikir masalah ini tidak masuk akal, katanya.

Ia teringat pada tahun 1998 ketika edisi ini digunakan dan didistribusikan melalui spanduk. “Itu semacam lagu lama yang diciptakan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik tertentu, baik untuk mencari proyek atau membunuh kelompok kritis tertentu,” kata Savic.

Menurut Savic, isu komunisme dibicarakan di kalangan pemuda NU sendiri. “Tidak ada komunisme gaya baru. “Dalam politik internasional, komunisme telah runtuh,” katanya.

Alih-alih terlibat dalam simposium, generasi muda NU sendiri malah aktif berkampanye agar warganya tidak terprovokasi.

Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak pun menegaskan, organisasinya tidak terlibat dan tidak akan datang ke acara tersebut.

“Secara resmi (saya hidup) tidak, tapi silakan mengadakan simposium, tidak ada yang menentang. Silakan saja jika ingin membangun dialog yang baik. “Kami hormati saja,” kata Dahnil.

Ia juga menginstruksikan seluruh anggota Komando Kesiapsiagaan Pasukan Muhammadiyah (KOKAM) untuk tidak tanggap terhadap isu komunisme.

“Komunisme tidak berhasil. Dan menurut saya hanya kelompok tertentu yang menggunakannya sebagai propaganda dan provokasi di Indonesia. Itu semua hantu,” katanya.

Pernyataan itu disampaikannya saat mengumpulkan lebih dari 1.000 anggota KOKAM se-Tanah Air di Klaten, Jawa Tengah kemarin, Minggu, 29 Mei.

Apa tanggapan masyarakat dan panitia 1965?

Ketua KontraS Haris Azhar menegaskan tidak akan menghadiri simposium tandingannya, begitu pula Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung. Keduanya mengatakan kepada Rappler bahwa mereka tidak tertarik dengan tema yang diusulkan.

Sementara itu, Agus Widjojo, ketua panitia pengelola simposium 1965, mengajak kubu Ryamizard untuk membuat simposium versi mereka sendiri.

(BACA: Simposium Tragedi 1965: Sekedar Tempat Curhat?)

“Ya, apakah itu dilarang?” kata Agus kepada Rappler. Penilaian simposium ini diserahkannya kepada pemerintah dan masyarakat umum.

Ia juga mengingatkan, kubu simposium yang bertanding tidak bisa memprotes hasil rekomendasi yang disampaikan pada simposium sebelumnya. “Jangan dimarahi, saya usulkan dan rumuskan, nanti pemerintah yang memutuskan,” kata Agus.

Meski mendapat penolakan dari berbagai pihak, Kiki mengaku tetap akan melaksanakan simposium kompetitif tersebut.

Intinya yang ingin kita lakukan adalah ingin menyelamatkan Pancasila dari ancaman yang tidak jelas, tegasnya. —Rappler.com

Baca laporan lengkap Rappler pada Simposium Nasional 1965:

SDy Hari Ini