Hutan bakau Bulaksetra, monumen hidup Tsunami Pangandaran
- keren989
- 0
BANDUNG, Indonesia — Pohon bakau yang lebat menjadi pemandangan dominan di Bulaksetra, sebuah pulau kecil di Pangandaran, Jawa Barat. Keberadaannya seakan menjadi monumen hidup korban tsunami Pangandaran yang diterjang gelombang raksasa pada Juli 2006, dua tahun pasca tsunami di Aceh.
Tsunami Pangandaran datang tanpa peringatan. Jika tsunami Aceh didahului oleh gempa kuat berkekuatan 9,3 skala Richter, maka tsunami Pangandaran disebabkan oleh gempa berkekuatan 6,8 skala Richter. Akibatnya, banyak yang tidak menyadari potensi tsunami dahsyat yang akan terjadi setelahnya.
Menurut peneliti asal Amerika Serikat, Hermann M Fritz, ketinggian tsunami Pangandaran mencapai 21 meter.
Warga Dusun Kalapatiga Pangandaran, Ondi mengaku tak terlalu merasakan guncangan gempa tersebut. Saat kejadian, dia sedang memperbaiki jaring ikan di Pantai Barat Pangandaran. Ia mengatakan, air laut tiba-tiba surut sekitar 300 meter.
“Ada yang teriak tsunami, saya langsung naik sepeda, tapi ada juga yang diam saja karena tidak percaya ada tsunami,” kata nelayan tersebut saat ditemui Rappler pada 17 Desember 2016 di Bulaksetra ditemui Pangandaran. . .
Ondi terus mengayuh sepedanya hingga akhirnya berhenti di depan sebuah hotel dan berlari menuju hotel tersebut hingga ke lantai paling atas.
“Jika saya terus menggunakan sepeda, saya mungkin akan terjebak dalam tsunami,” katanya.
Ondi bersyukur dirinya dan keluarga selamat. Namun nasib berbeda menimpa warga Dusun Kalapatiga yang banyak menjadi korban.
Kalapatiga, salah satu dusun di Bulaksetra, Desa Babakan Pangandaran, menjadi wilayah yang paling terdampak tsunami. Satu rukun tetangga (RT) atau sekitar 35 kepala keluarga di dusun tersebut luluh lantak akibat tsunami. Ada warga yang selamat, namun banyak juga yang meninggal.
Faktanya, masih ada beberapa warga yang hilang, kata Iwan Yudiawan, warga Desa Babakan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 668 orang meninggal dunia, 65 orang hilang, dan lebih dari 9 ribu orang luka-luka akibat tsunami Pangandaran.
Penanaman mangrove di Bulaksetra
Sepuluh tahun berlalu, kawasan Bulaksetra yang rusak akibat tsunami kini berubah menjadi hutan bakau. Perubahan ini berawal dari inisiatif Iwan dan kawan-kawan yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Alam Ilalang. Ia merasa terpanggil untuk mengubah Bulaksetra menjadi hutan bakau untuk menghadapi ancaman tsunami.
“Saya tergerak untuk merehabilitasi Bulaksetra, apalagi di sanalah tempat saya bermain semasa kecil,” kata Ketua Komunitas Pecinta Alam Ilalang.
Iwan dan kawan-kawan mulai menanami lahan seluas 17,5 hektar itu dengan tanaman bakau dan pepohonan lainnya. Sekaligus, ia mensosialisasikan kepada masyarakat tentang manfaat mangrove yang salah satunya dapat meredam gelombang tsunami.
Menurut Iwan, sebenarnya pohon bakau banyak tumbuh di Bulaksetra, namun karena kurangnya pengetahuan, banyak warga yang belum memahami manfaat dari pohon yang juga dikenal dengan nama bakau tersebut. Akibatnya, warga hanya memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar.
“Oleh karena itu sangat tidak produktif, karena ketidaktahuan. Meskipun mangrove penting, namun tidak hanya mengurangi bencana namun banyak juga yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain sebagai penyumbang oksigen, juga dapat digunakan sebagai bahan kuliner, dibuat jus, dan juga memiliki manfaat herbal. Banyak sekali,” kata Iwan.
Setelah sosialisasi intensif, warga perlahan mulai memahami dan mendukung penanaman mangrove di Bulaksetra yang kini tampak hijau di sepanjang pantai. Saat ini, terdapat 80 ribu pohon mangrove yang berhasil ditanam. Sekitar 10 ribu bibit mangrove diperoleh atas bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat.
Mangrove penting tidak hanya untuk mengurangi bencana, namun juga manfaatnya sebagai penyumbang oksigen.
Awalnya Iwan dan kawan-kawan hanya berniat merehabilitasi Bulaksetra. Namun untuk memotivasi warga, kawasan tersebut kemudian dirancang menjadi tempat wisata edukasi dan konservasi mangrove.
Selain itu, lembaga-lembaga internasional, Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) juga memberikan bantuan dalam upaya penanaman bakau yang merupakan bagian dari program tersebut Pariwisata berkelanjutan melalui efisiensi energi dengan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi (STREAM). Selain bibit mangrove, UNWTO juga membangun panel surya untuk penerangan di area tersebut.
Dukungan pemerintah pusat dibuktikan dengan kunjungan Mari Elka Pangestu yang saat itu menjabat Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif pada tahun 2013. Namun bantuan berupa stimulan tersebut tidak disambut baik oleh pemerintah daerah. Sejak merintis tahun 2008, Iwan mengaku belum menerima bantuan apa pun dari pemerintah Kabupaten Pangandaran.
“Salah satunya, belum ada bentuk perhatian dari pemerintah daerah untuk mendukung percepatan pariwisata di sini, kata Iwan.
Iwan sangat mengharapkan bantuan pemerintah, apalagi di tengah kondisi di Bulaksetra yang saat ini terancam erosi. Dari 17,5 hektare Bulaksetra, kini hanya tersisa 14 hektare karena hancur diterjang ombak. Jika hal ini tidak segera diatasi, kata Iwan, ekosistem di kawasan wisata ini akan rusak.
“Ini ya harus didesain menggunakan tanaman beton alias pecahnya air “Dan kami juga sudah menyampaikannya ke kementerian, tapi tidak ada tanggapan,” ujarnya.
Ancaman kerusakan juga dihadapi oleh pohon mangrove. Tanaman penahan tsunami dikhawatirkan mati karena tidak adanya sirkulasi air laut ke tempat tumbuhnya mangrove tersebut. Iwan menjelaskan, beberapa jenis mangrove hidup di perairan payau yang merupakan gabungan antara air laut dan air tawar. Air tawar didapat dari Sungai Cileutik, namun jika terlalu banyak air tawar maka mangrove bisa mati.
Beberapa pohon bakau tampak kering. Iwan memperkirakan sebanyak 10 persen dari 80 ribu pohon bakau mati akibat kurangnya sirkulasi air laut. Warga, kata Iwan, bergotong royong membangun saluran air laut, namun karena dikerjakan secara manual dengan alat dan teknik seadanya, saluran tersebut kembali ditutup dalam waktu dua hari.
“Kami berharap pemerintah memberikan dukungan yang dapat mengatasi masalah ini. “Pemerintah punya ahli di bidangnya, dengan kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Saat Rappler mengunjungi Bulaksetra akhir pekan lalu, kawasan tersebut terlihat kurang terawat. Sampah yang terbawa air laut terlihat berserakan. Sedangkan gapura berbentuk rangkaian huruf “Bulaksetra” tampak rusak di beberapa bagian. Padahal tag lokasi Bulaksetra cukup unik dan menarik. Jalan bambu yang diperuntukkan bagi wisatawan untuk berjalan di antara pepohonan bakau juga tampak rusak di beberapa bagian sehingga tidak bisa dilintasi.
Diakui Iwan, pengelolaan tempat wisata tersebut saat ini masih dilakukan secara mandiri. Selama ini pendapatan didapat dari pengunjung yang mengadopsi pohon mangrove dengan harga Rp 50 ribu per pohon. Uluran tangan pemerintah Kabupaten Pangandaran untuk mengembangkan potensi wisata di daerahnya sangat dinantikan.
Iwan bermimpi bisa membangunnya bumi perkemahanfasilitas keluar, dan pendukung pariwisata lainnya. Tapi dia tidak tahu kapan mimpinya akan menjadi kenyataan.
“Kami sangat berharap demikian besar sangat. Tapi ya, aku tidak bisa memaksakannya. Pada akhirnya kita mengalir dengan sendirinya, rela, tanpa pamrih, dan seterusnya. Intinya di sini belum bisa dijadikan bisnis pariwisata, padahal peluang di sana sangat besar, ujarnya.
Proyek Balai Penelitian Akuarium dan Kelautan Terpadu Pangandaran (Piamari) Apa yang terjadi Program Kementerian Kelautan dan Perikanan diharapkan dapat mengakomodir mimpi tersebut. Sehingga Bulaksetra bisa berkembang menjadi kawasan pariwisata seperti yang diharapkan Iwan dan warga sekitar. —Rappler.com