Ika Natassa menulis untuk ketenangan pikiran
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Nama Ika Natassa pasti sudah tidak asing lagi di telinga para penggemar novel pop Tanah Air.
Tampaknya sejak novel Pernikahan yang sangat Yuppy yang dirilis pada tahun 2007, rak penjualan terbaik tidak pernah kehilangan sosoknya, dari Divortiare, Underground, Antologi Rasa, Twivortiare, Critical Eleven, ke Arsitektur cinta. Dan puncaknya pada tanggal 10 Mei adalah film adaptasi novel tersebut Peri kritis resmi dirilis di bioskop seluruh Indonesia dan mendapat respon positif dari banyak pihak.
(BACA JUGA: Menangis dengan ‘Critical Eleven’)
Ika mulai tertarik dengan dunia tulis menulis berkat hobinya membaca sejak kecil. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, Ika kerap terbawa oleh cerita-cerita dalam komik petualanganTintin apa yang dia baca. “Misalnya Tintin ke Arab, saya juga ke Arab. Tintin adalah Meksiko lagi, aku akan ke Meksiko bersamamu. Hanya dengan membaca,” kata Ika Natassa kepada Rappler, Selasa, 16 Mei.
Menulis memiliki kekuatan yang begitu besar sehingga mampu membuat seseorang bertualang tanpa meninggalkan kursinya. “Aku juga menginginkannya,” katanya.
Ika kecil mulai rutin menulis cerpen, namun hanya dibaca saja. Begitu pula dengan novel yang ditulisnya semasa SMA. Baru setelah dewasa dan bekerja sebagai bankir, penerbit Gramedia akhirnya merilis novel perdana Ika Natassa pada tahun 2006 yang berjudul Pernikahan yang sangat Yuppy.
Berangkat dari kehidupan sehari-hari
Menulis merupakan bagian penting dalam kehidupan Ika Natassa. Setelah bekerja lima hari seminggu sebagai pemimpin proyek di sebuah bank milik negara, dia menghabiskan hari Sabtu dan Minggu untuk menulis.
Bagi Ika, menulis merupakan hobi yang diperlukan untuk mengisi kehidupan sehari-hari. Setelah bertemu dengan berbagai orang, banyak membaca dan mendengar cerita, menulis menjadi cara Ika mengungkapkan pandangannya. “Menurutku menulis menenangkan pikiran.”
Peristiwa sehari-hari menjadi inspirasi terbesar Ika dalam setiap novel yang pernah ditulisnya, baik dari pengalaman pribadi, pengalaman teman, dari buku yang dibacanya, maupun dari lagu yang didengarnya.
“Dasar, semua interaksi yang saya lakukan dengan dunia ini dalam berbagai aspek kehidupan saya sehari-hari.”
Sebagai seorang novelis, Ika sangat mengagumi Dewi “Dee” Lestari. Ia mengaku sejak serial tersebut, ia jatuh cinta dengan cara Dee bercerita Supernova Pertama. “Dia menggabungkan fakta dengan fiksi dengan sangat mulus dan seragam, dari karya pertamanya selalu seperti itu,” kata finalis Top 10 Fun Fearless Female versi Majalah Cosmopolitan tahun 2004.
Selain itu, Ika juga mengaku kagum dengan dedikasi yang diberikan Dee dalam meneliti sebelum menulis, bahkan hingga namanya melejit seperti sekarang.
“Meski mempunyai nama yang sangat besar, namun beliau tetap memiliki dedikasi untuk terus belajar,” ujarnya.
Selalu ingin berkembang
Ika hanya menulis di akhir pekan, saat dia tidak bekerja. Namun, bukan itu yang membuatnya terkesan kurang produktif dibandingkan beberapa novelis lainnya.
Ika mengaku dirinya cukup perfeksionis. Oleh karena itu, ia ingin setiap karya yang ditulisnya lebih baik dari karya sebelumnya, baik dari segi cara penyampaiannya, topik yang diangkat, maupun cara penyampaiannya. Butuh waktu lama untuk berkembang, apalagi ia harus membagi waktunya dengan pekerjaannya sebagai bankir.
Ika merasa pembaca berhak mendapatkan karya yang berkualitas ketika memutuskan untuk pergi ke toko buku, mengambil karya Ika Natassa dan membawanya ke kasir untuk dibawa pulang dan melahapnya hingga selesai.
“Saya rasa agak tidak adil dan egois jika saya hanya ingin menghasilkan karya sesering mungkin. Saya lebih suka menunggu sebentar, tapi begitu mereka membeli, mereka puas.”
Di antara tujuh novel yang diterbitkannya, Ika merasa memiliki ikatan emosional yang paling kuat dengannya Peri kritis. Dirilis pada tahun 2015, buku ini menceritakan kisah sepasang suami istri bernama Ale dan Anya yang menghadapi kesedihan dengan caranya masing-masing. Ika membutuhkan waktu 2,5 tahun untuk menyelesaikan buku ini.
Ika merasa sangat emosional saat menulis novel ini, karena ia harus menulis dari dua sudut pandang. “Maka aku merasakan duka laki-laki itu, dan aku juga merasakan duka perempuan, di setiap bab. Dan itu sangat menguras emosi,” dia berkata.
Selain itu, Peri kritis Hal ini juga ditulis berdasarkan pengalaman berbagai sumber, salah satunya adalah teman Ika. Oleh karena itu, Ika mengaku sangat emosional dalam proses penulisan buku ini.
“Tapi kalau saya sendiri tidak bisa merasakan emosi yang begitu dalam saat menulis cerita mereka, bagaimana saya bisa berharap pembaca juga merasakan hal yang sama, bukan?”
Hal inilah yang diharapkan dapat tersampaikan dari cerita tersebut Peri kritistermasuk saat dibawakan ke layar lebar.
“Kami Itu dia tim mengatakan ini: ‘Kali ini kami mengambil pendekatan yang berbeda. Kami tidak mengadaptasi cerita dari tulisan ke media visual, tapi kami mentransfer perasaan dari tulisan ke visual.’ Nah, kalau misalnya enak, alhamdulillah.”
Cobalah untuk menjangkau pembaca milenial
Berdasarkan pengamatan Ika terhadap interaksinya dengan pembaca di media sosial, sebagian besar dari mereka tertarik membaca seribu tahun itu masih cukup tinggi. Hal ini terlihat dari masih adanya kelompok masyarakat yang gemar berdiskusi tentang buku, baik lokal maupun internasional.
Oleh karena itu, permasalahan yang perlu dipecahkan saat ini adalah bagaimana penulis dapat menjangkau generasi-generasi seribu tahun yang menghabiskan waktu membawa-bawa Gawai dan bermain di media sosial.
Hal inilah yang ingin dicapai Ika dengan terlaksananya proyek tersebut Arsitektur cinta dengan Twitter. Dia kemudian mulai menulis cerita pendek menciak di akun Twitter-nya jugamenjadi terlibat pembaca. Dari cerpen itulah, cerita tersebut kemudian dikembangkan menjadi sebuah novel.
“Jika kami tidak bisa memberikan mereka bacaan melalui buku, kami mencoba memberikan mereka bacaan melalui media lain yang biasa mereka gunakan, apa itu blog, webpadatau seperti yang saya lakukan dalam serial cerita di Twitter.”
Menurut Ika, generasi milenial mempunyai minat membaca, namun media yang digunakan berbeda dengan generasi sebelumnya. Namun ada juga sisi positifnya, yaitu saling mendorong minat membaca di antara teman-teman disekitarnya.
“Mereka suka pamer. Kalau makan, foto-foto, dimanapun kamu nongkrong, biarlah fotomu diambil. Muat di Instagram, Twitter, segala macam. Mereka juga membaca buku baru ketika merekaMembagikan langsung, langsung difoto, ini baik karena mereka melakukannya, tanpa kita memberitahukannyaMembagikan.”
Intinya, untuk terus meningkatkan minat membaca, perlu dilakukan penyesuaian oleh penulis terkait dengan hal tersebut keterlibatan dengan pembaca. “Bukan soal mengubah kebiasaannya, tapi adaptasi penulis dengan kebiasaan pembacanya.”
—Rappler.com