Kekhawatiran Indonesia berada pada tahap yang lebih baik
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Peringkat Indonesia pada Indeks Kebebasan Pers Dunia naik enam peringkat ke peringkat 124 tahun ini indeks dirilis pada hari Rabu26 April 2017, berada tepat di bawah Qatar dan di atas Angola.
Tahun lalu Indonesia berada di peringkat 130, tepat di bawah Aljazair.
Namun pada awal tahun 2017, dua warganet dipenjara di Aljazair. Negara ini kemudian turun ke peringkat 134 pada indeks tahun itu.
Meski meningkat, kenaikan peringkat Indonesia juga disebabkan negara lain mengalami situasi yang lebih buruk.
“Secara keseluruhan, situasinya memburuk di hampir dua pertiga negara (62,2%) dari 180 negara,” demikian rilis yang dikeluarkan oleh Reporter Tanpa Batas.
Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer
Awal tahun 2017 memang sedikit melegakan bagi kebebasan pers di Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga tidak menerima laporan adanya kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia sejak awal tahun 2017 hingga April ini.
Namun kejadian kekerasan terhadap jurnalis pada tahun-tahun sebelumnya masih mengkhawatirkan. Human Rights Watch (HRW) menggarisbawahi kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang sampai saat ini belum jelas proses hukumnya.
“Saya mendapat pelajaran. Sebaiknya berhati-hatilah saat meliput polisi. Mereka bisa menyerang tanpa alasan. Itu adalah masa yang sangat kacau. Kami para jurnalis harus menjaga diri kami sendiri.”
Pada November 2014, fotografer Grup Tempo, Iqbal Lubis; dan videografer Metro TV, Vincent Waldy; mengalami kekerasan yang diduga dilakukan oleh sejumlah anggota polisi. Saat itu, keduanya sedang meliput demonstrasi mahasiswa di Makassar terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Keduanya kemudian melapor ke polisi. Namun hingga saat ini belum ada kejelasan penyelesaian masalah tersebut. Belum jelas apakah pelakunya telah dihukum.
Baik Iqbal maupun Vincent sama-sama mengalami trauma pasca dua kejadian tersebut.
“Selama tiga bulan setelah itu, saya menghindari kawasan sekitar Mapolrestabes Makassar. Saya trauma. Hingga saat ini polisi yang melakukan pemukulan terhadap mahasiswa dan jurnalis tersebut belum diadili,” kata Iqbal kepada HRW, seperti dikutip dari laporan badan tersebut menjelang Hari Kebebasan Pers Sedunia pada tanggal 3 Mei.
Vincent juga. Dia mengatakan, sebaiknya jurnalis lebih berhati-hati saat meliput polisi.
“Sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari pihak kepolisian. Saya mendapat pelajaran. Sebaiknya berhati-hatilah saat meliput polisi. Mereka bisa menyerang tanpa alasan. Itu adalah masa yang sangat kacau. Kita para jurnalis harus bisa menjaga diri kita sendiri,” kata Vincent dalam laporan HRW bertajuk Indonesia: Jurnalis terancam Itu.
Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh anggota TNI AU juga terjadi di Medan pada Agustus 2016.
Array Agus, jurnalis harian Tribun Medan; dan Andri Syafrin Poorba; Kameramen Grup Berita MNC; masih menunggu kelanjutan kasusnya.
“Di mana keadilannya? Apakah ada kekebalan hukum? Ada yang ditutup-tutupi? Saya belum bisa kembali bekerja…,” kata Array.
“Dulu saya aktif sebagai jurnalis, sekarang saya hanya bisa berdiam diri di rumah. Belum lagi masalah psikologisnya. Kadang-kadang saya menangis di malam hari, ketika saya melihat anak-anak saya tidur.”
Array memberikan kesaksian untuk keempat kalinya di kantor pusat Badan POM AU pada bulan November 2016, namun perkembangannya masih belum jelas.
“Human Rights Watch tidak dapat memperoleh informasi perkembangan penetapan tersangka dan persidangan anggota TNI AU yang menyerang Argus,” demikian pernyataan HRW melalui situs resminya.
Sonny Misdianto, jurnalis NET TV, juga mengalami kekerasan yang dilakukan anggota Batalyon Infanteri 501 Kostrad saat melapor di Madiun pada Oktober 2016.
Setelah mengalami intimidasi, Sonny dengan berat hati memutuskan untuk “menyelesaikan masalah ini secara damai”. Tuntutan Sonny yang tertuang dalam perjanjian perdamaian tidak sepenuhnya dipenuhi.
Kekerasan yang diterimanya membuat Sonny menganggap “kebebasan pers di Indonesia adalah omong kosong”.
Selain kekerasan yang dilakukan oleh polisi dan tentara, ada juga masalah kebebasan pers di Papua.
Kebebasan melakukan aktivitas jurnalistik dinilai sulit di sana, terutama terkait topik sensitif seperti perampasan tanah dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017 di Jakarta
Dengan catatan kasus yang berdampak pada kebebasan pers di Indonesia, HRW menilai peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017 yang digelar di Jakarta Convention Center, Jakarta Selatan, seharusnya bisa memberikan dampak besar bagi tuan rumah.
“Kemajuan yang dicapai Indonesia dalam hal kebebasan pers sejak Presiden Soeharto lengser tidak akan berkelanjutan jika pemerintah tidak mengambil tindakan tegas ketika jurnalis dan organisasi media dilecehkan atau dijadikan sasaran kekerasan,” kata HRW.
Pada kesempatan yang sama, HRW mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk bertindak lebih tegas.
“Untuk memastikan hukum yang melindungi awak media ditegakkan, Jokowi harus mendesak institusi negara, khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, untuk menerapkan kebijakan nol toleransi terhadap kekerasan terhadap jurnalis,” kata mereka.
Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia akan dilaksanakan pada tanggal 1-4 Mei 2017 di Jakarta. Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers, mengatakan Presiden Jokowi akan hadir pada puncak HUT tersebut.
Yosep berharap kepolisian dan TNI ikut serta dalam acara tersebut untuk menghilangkan kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh anggota lembaga tersebut.
“Kami akan mengundang seluruh Kadispen (Kepala Dinas Penerangan) dan Kapuspen Mabes (Kepala Pusat Penerangan Pusat) untuk hadir di JCC,” kata Yosep saat berbicara di Forum Koordinasi dan Konsultasi Menkopolhukam: Kekerasan terhadap jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistikpada 12 April tahun lalu. —Rappler.com
BACA JUGA: