Saling pengertian antar pemeluk tiga agama di dusun lereng Gunung Lawu
- keren989
- 0
KARANGANYAR, Indonesia – Mengenakan kemeja putih, sarung dan ikat kepala, Gimanto buru-buru berjalan menuju Pura Jonggol Shantiloka yang tak jauh dari rumahnya. Ia selaku pengelola pura ingin memastikan seluruh persiapan upacara menyambut Hari Raya Nyepi yang jatuh pada Rabu 9 Maret sudah rampung.
Pura di Dusun Jlono, Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Jawa Tengah, ini menjadi pusat kegiatan ritual umat Hindu di setiap pergantian tahun Saka, mulai dari upacara Tawur Agung Kesanga hingga Catur Brata. Orang dewasa dan anak-anak di desa meninggalkan rumah mereka selama sehari semalam untuk tampil para genius yang terkasih (tidak menyalakan api), mengamati pekerjaan tersebut (Tidak berfungsi), mengamati perjalanannya (tidak bepergian), dan lihat pelelangannya (tidak bersenang-senang).
Dusun kecil yang terletak di lereng Gunung Lawu ini dihuni oleh 60 kepala keluarga, lebih dari separuhnya beragama Hindu, selebihnya beragama Islam dan Kristen. Karena banyak umat Hindu yang telah tinggal di sini selama berabad-abad, lereng utara Lawu sering disebut sebagai Bali kecil.
Kebanyakan dari mereka adalah keturunan pengikut setia Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri di puncak Lawu sebelum jatuhnya Majapahit. Moksa Brawijaya diyakini berada di puncak Hargodalem, salah satu dari tiga puncak Lawu.
Di lereng utara gunung banyak ditemukan jejak peradaban Hindu abad ke-15, berupa candi-candi kuno yang eksotik, seperti Sukuh, Cetho, dan Kethek. Beberapa di antaranya masih digunakan sebagai tempat upacara agama Hindu.
Di kawasan ini juga terdapat lima pura yaitu Pura Tunggal Ika, Jonggol Santiloka, Agrabadra, Sumbersari dan Ludha Buana. Agama Hindu merupakan agama yang paling awal masuk ke desa ini, sebelum Islam dan Kristen.
Namun sebagian besar masyarakat setempat adalah petani yang memiliki toleransi tinggi dalam urusan keagamaan. Alih-alih hanya membiarkan satu sama lain tanpa saling mengganggu, umat berbeda keyakinan justru saling membantu dalam setiap perayaan keagamaan.
Di Dusun Jlono misalnya, setiap Nyepi selalu sunyi dan gelap gulita. Warga Muslim dan Kristen juga mematikan lampu di depan rumahnya pada malam hari. Mereka juga menutup pintu rumah dengan rapat, tidak menimbulkan kebisingan, menyalakan televisi, radio dan musik.
Tidak ada warga yang keluar rumah. Kalaupun ada urusan mendesak, mereka biasanya mendorong kendaraan bermotornya keluar dari jalan desa, tanpa memulainya di depan rumah.
“Ketika kami melakukan Catur Brata sejak lama, saudara-saudara kami dari agama lain bersedia membantu menciptakan suasana tenang di desa tersebut,” kata Gimanto.
Desa ini sepi, bahkan pada siang hari. Petani non-Hindu juga mengambil cuti dari aktivitasnya di kebun sayur. Alih-alih bekerja, warga Muslim dan Kristen malah melakukan patroli bergilir selama sehari semalam.
Seperti halnya pecalang di Bali, warga berpatroli di rumah-rumah kosong milik umat Hindu untuk mengantisipasi pencurian barang dan hewan ternak. Mereka juga menjaga akses jalan desa agar tidak ada orang luar yang bisa masuk.
“Itu sudah menjadi kebiasaan kami. “Warga non-Hindu tidak keluar rumah saat Nyepi, kecuali yang mendapat giliran patroli,” kata Citro Suwarno, salah satu tetua desa.
Bagaimana dengan umat Islam yang ingin salat lima waktu di masjid? Mereka masih pergi ke langgar dan masjid di dekat rumah mereka dengan berjalan kaki tanpa berbicara di jalan.
Kumandang azan tetap dikumandangkan seperti biasa, namun muazin memperkecil suaranya dan tidak menggunakan pengeras suara, sehingga suaranya hanya terdengar di dalam masjid, tanpa mengganggu warga Hindu yang berada di pura.
Umat Islam yang terbiasa ke masjid sudah hafal waktu-waktu shalatnya sehingga tanpa mendengar adzan pun, mereka tidak akan melewatkan shalat berjamaah di masjid.
Menurut Slamet, warga beragama Islam yang biasa ikut patroli saat Nyepi, keikutsertaan warga dalam menjaga kota dan menciptakan suasana tenang merupakan bentuk penghormatan terhadap umat Hindu. Ia meyakini bahwa menghormati keyakinan orang lain adalah bagian dari ajaran agamanya.
“Di dusun ini tidak perlu ada perintah dan instruksi, semua berjalan atas dasar peningkatan kesadaran warga. “Karena ini desa kita, siapa lagi yang menjaga kerukunan kalau bukan kita,” kata Slamet.
Dua kali ‘Idul Fitri’
Usai Ngembak Geni sebagai penutup ritual Catur Brata, warga beragama Hindu melakukan Dharma Santi dengan mendatangi rumah warga beragama Islam dan beragama Nasrani untuk mengucapkan rasa syukur atas perlindungan rumahnya, serta saling meminta maaf sebagaimana tradisi Idul Fitri.
“Kami ada dua kali Idul Fitri di sini, saat Idul Fitri umat Islam mengunjungi kami, dan setelah Nyepi kami malah mengunjungi mereka dan meminta maaf,” kata Gimanto.
Di sisi lain, pada bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam, umat non-Muslim juga menjalankan kekhusyukan puasa. Mereka tidak membawa makanan atau makan dan minum ke luar rumah, di ladang, dan di tempat terbuka pada siang hari. Warga yang berpatroli malam juga berkeliling membangunkan warga muslim untuk sahur.
Kisah toleransi antar umat beragama di dusun ini tidak hanya pada hari raya keagamaan saja, namun juga dalam hal pembangunan tempat ibadah. Tidak ada “protes timbal balik” atau “perebutan kekuasaan” yang penuh kekerasan seperti di tempat lain di negeri ini.
Mereka justru bergotong royong membangun rumah ibadah. Warga non-Muslim dengan sukarela menyediakan tenaga kerja untuk membangun masjid dan membantu material. Begitu pula dengan Candi Jonggol yang dibangun dengan menggunakan pasir, semen, dan batu dari warga non-Hindu.
“Kami menganggap masjid dan pura adalah milik kita bersama, sehingga dibangun dengan usaha bersama. “Kalau ada yang rusak, kita perbaiki bersama-sama,” kata Gimanto.
“Ini hanya masalah manajemen yang diserahkan kepada masing-masing penggemar.”
Menurut salah satu pengurus Parisade Hindu Dharma Indonesia (PDHI) Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Made Sabaryasa, desa bisa menjadi contoh nyata kehidupan harmonis antar umat beragama.
Di Jlono dan Kemuning, kata Made, masyarakat tidak menganggap perbedaan keyakinan sebagai faktor pemisah kerukunan. Bahkan ada keluarga yang berbeda agama – orang tuanya beragama Hindu dan anak-anak beragama Islam – yang tinggal serumah tanpa ada perselisihan.
“Hal ini lumrah di Kemuning, tidak ada konflik antara keluarga dan warga. “Mereka mempunyai kesadaran yang tinggi untuk hidup damai meski berbeda,” kata Made. —Rappler.com
BACA JUGA: