• October 4, 2024

Jejak Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Indonesia

Agustus lalu, saya dan beberapa jurnalis asal Indonesia dan Malaysia diundang ke Provinsi Xinjiang, China. Bepergian dari satu destinasi ke destinasi lain, mulai dari cakupan bisnis dan ekonomi hingga destinasi wisata, ada satu hal yang menarik perhatian: Tiongkok sedang giat mengembangkan energi listrik terbarukan melalui turbin angin dan panel surya.

Di Xinjiang, provinsi yang mayoritas penduduknya gurun, sinar matahari berlimpah sepanjang tahun. Rumah-rumah warga yang tersebar di gurun pasir dilengkapi dengan panel atau panel surya sistem rumah surya (SHS) yang dapat memenuhi kebutuhan listrik keluarga.

Pemerintah Tiongkok membangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia pada tahun ini dengan kapasitas produksi 200 Mega Watt menyorot (MWp). Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dibangun di gurun Gobi akan memenuhi kebutuhan listrik sekitar 1 juta rumah tangga.

Tiongkok dengan cepat mengambil alih posisi Jerman sebagai produsen tenaga surya terbesar di dunia ini. Dua pertiga panel surya dunia diproduksi di Negeri Tirai Bambu.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan potensi PLTS di Indonesia sangat besar.

“Teman-teman di Balitbang ESDM pernah hitung, katanya 560 Gigawattp,” kata Rida saat dihubungi, Senin sore, 28 Desember. Ia baru saja pulang dari Kupang, menghadiri peresmian PLTS di Desa Oelpuah, Kabupaten Kupang.

Pada tahun 2014, total produksi listrik tenaga surya menggunakan sistem fotovoltaik (PV) yang menggunakan panel surya untuk diubah langsung menjadi tenaga listrik adalah sebesar 178 Gigawattp. Ada penambahan sebesar 40 Gigawattp dalam satu tahun saja. Kontribusi energi listrik tenaga surya sekitar 1 persen dari total bauran energi listrik dunia.

PLTS yang dibangun PT LEN Industri sebagai Independent Power Producer (IPP) di Kabupaten Kupang berkapasitas 5 Megawattp. Uji coba dilakukan dua pekan sebelum diresmikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Minggu, 27 Desember dan berhasil menghasilkan 4 MWp.

Proyek yang berdiri di atas lahan tujuh hektare ini membutuhkan investasi sebesar 11,2 juta dolar AS.

Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan meski hanya 5 MWp, pasokan PLTS untuk Kupang merupakan tambahan yang cukup signifikan.

“Daya efektif listrik di Kupang sebesar 68 MW sebenarnya sudah memasuki situasi krisis karena margin cadangan“Sangat minim,” kata Sudirman seperti tertulis dalam siaran persnya.
Saat ini masih terjadi antrian instalasi listrik hingga 64 MW. Kawasan Industri Terpadu Kupang juga sebenarnya sudah siap. Hanya saja ada kendala pada pasokan listrik.

Sistem PLTS Grid-Connected yang digunakan pada PLTS ini memungkinkan PLTS ini bekerja secara paralel dan terhubung langsung dengan jaringan listrik utama sehingga tidak menggunakan sistem baterai karena listrik yang dihasilkan langsung masuk ke jaringan listrik yang ada disalurkan selama hari itu.

“Karena sistemnya di grid, kemudian listriknya langsung dicampur dengan pasokan PLN. Tergantung pada kebutuhan. Rata-rata kebutuhan rumah tangga sekitar 150 – 150 watt per hari, kata Rida.

Dimulai di Bali pada masa SBY

Melihat potensinya, Indonesia tergolong terlambat dalam mengembangkan PLTS. Padahal, Indonesia berada di garis khatulistiwa dengan sinar matahari melimpah.

Selama ini pengembangan listrik tenaga surya skala domestik dilakukan dengan menggunakan SHS. Yang berskala besar terpusat, tersebar, sebagian besar berada di wilayah timur Indonesia.

Pada bulan Februari 2013, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu, Jero Wacik, meresmikan dua sistem PLTS yang terkoneksi jaringan listrik di dua lokasi yaitu Bangli dan Karangasem, Provinsi Bali, dengan total daya masing-masing 1 MWp. Saat itu keduanya menjadi PLTS dengan kapasitas terbesar.

Saat itu, PLTS Bangli dan Karangasem dinyatakan sebagai pilot project untuk PLTS di provinsi lain. Pemerintah memulai proyek ini pada bulan April 2012 sebagai bagian dari komitmennya untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan.Sumber: Alamendah.org

“Pembangunan listrik dengan bahan bakar saat ini sangat mahal yaitu 40 sen per KWh. Saya perintahkan PLN berhenti menghasilkan listrik dengan bahan bakar. “Kita beralih ke energi baru dan terbarukan,” kata Jero saat itu.

Menurut perhitungan Jero, potensi energi surya di Indonesia saat ini berkisar 50.000 MW. Hanya 10 MWp yang dihasilkan.

Dalam lima tahun terakhir, ketika isu pemanasan global semakin menguat dan dampak perubahan iklim semakin merugikan kelangsungan bumi dan penghuninya, kita menyambut baik pesatnya persaingan dalam produksi energi terbarukan.

Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), produksi tenaga surya dan listrik panas bumi mengalami percepatan.

Komitmen tersebut dilanjutkan oleh Jokowi dengan berjanji di hadapan para kepala pemerintahan dunia bahwa Indonesia akan mencapai 23 persen energi terbarukan pada tahun 2025. Hal itu disampaikan Jokowi di hadapan forum para pemimpin pada Konferensi Perubahan Iklim atau (COP 21), di Paris, Prancis, pada 30 November 2015.

Juli lalu, Jokowi juga meresmikan PLTP Kamojang Unit V yang dioperasikan Pertamina. Pembangunan unit sebelumnya dilakukan pada era SBY.

Listrik dari jaringan pintar

Tidak mudah untuk menyediakan listrik bagi 250 juta penduduk Indonesia yang tersebar di berbagai pulau. Pada tahun 2012, hanya 73,4 persen wilayah Indonesia yang teraliri listrik. Pada tahun 2015, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan angka rasio elektrifikasi sebesar 85,1 persen.

Wilayah timur seperti NTT dan Maluku menjadi prioritas pengembangan listrik tenaga surya karena ketergantungan terhadap listrik berbahan bakar solar dan bahan bakar minyak terhambat oleh transportasi. Belum lagi jika cuaca buruk, transportasi laut pasti terganggu.

Untuk wilayah seperti NTT dan Maluku, serta Papua yang memiliki kontur pegunungan, yang perlu dilakukan adalah pengembangan smart grid (jaringan pintar) yang secara otomatis dapat menggabungkan berbagai sumber listrik sesuai permintaan. Misalnya tenaga surya dioptimalkan pada siang hari, sedangkan pada malam hari menggunakan tenaga baterai.

Dalam bukunya, Gelombang inovasi ekonomiMantan Menteri Riset dan Teknologi sekaligus mantan Ketua Komite Inovasi Nasional Muhammad Zuhal mengatakan sistem jaringan cerdas (intelligent grid system) paling cocok untuk Benua Maritim Indonesia.

Pada tahun 2012, pemerintah memulai teknologi jaringan energi pintar di Pulau Sumba, NTT. Daerah ini memiliki keanekaragaman sumber energi terbarukan, seperti energi surya, angin, air, dan biogas kotoran ternak.

“Jaringan ini juga menggunakan komunikasi data satelit VSAT untuk sistem pengendalian dan pengelolaan datanya,” tulis Zuhal.

Jaringan yang saling cerdas ini dapat secara otomatis menghitung berapa banyak listrik per Kwh dari sumber tertentu selama periode beban puncak (jam sibuk) dan beban rendah (jam di luar jam sibuk).

“Sistem ini memungkinkan komunikasi interaktif yang cerdas antara pelanggan dan pemasok,” kata Zuhal.

Misalnya pelanggan domestik dan industri yang menggunakan panel surya mempunyai kelebihan pasokan listrik, maka otomatis mereka dapat melakukan transaksi jual beli Kwh. Hal ini menghindari pemborosan energi dalam bentuk pemborosan energi dalam bentuk panas seperti pada sistem energi terpusat.

Sistem ini dibangun oleh Pusat Konversi dan Konservasi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Saya tidak tahu apakah Pak Jokowi mengetahui informasi itu. Sangat disayangkan jika hal ini tidak dilanjutkan, sebab yang menjadi landasan kajian ini adalah perekonomian yang berbasis inovasi dan dapat dikembangkan oleh anak bangsa sendiri.

PLTS di Kupang mencatat penggunaan tenaga kerja dan komponen rumah tangga sekitar 70 persen. Hal ini juga patut kita apresiasi. –Rappler.com

BACA JUGA:

 Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.

Data SDY