Survei Kerukunan Umat Beragama 2015: Jakarta dan Aceh terendah
- keren989
- 0
Tantangan terbesar bagi kerukunan umat beragama di Indonesia bukanlah antara umat Islam dan non-Muslim, melainkan keharmonisan dalam komunitas Muslim itu sendiri.
JAKARTA, Indonesia—Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama tahun 2015 menunjukkan tingkat kerukunan di Jakarta, Aceh, dan 8 provinsi lainnya masih rendah, bahkan di bawah rata-rata nasional.
Hasil survei yang menggunakan skala satu sampai 100 ini mencatat rata-rata nasional sebesar 75,36 yang tergolong keselarasan cukup tinggi.
Survei yang diselenggarakan Kementerian Agama pada Juni hingga Desember 2015 ini mengkaji kasus-kasus intoleransi di berbagai titik di Tanah Air.
Kementerian Agama mewawancarai 3.300 responden yang dipilih secara acak pengambilan sampel acak bertingkat di 33 provinsi, dengan akesalahan penguatan 17 persen.
Meski berada di bawah rata-rata nasional, namun kerukunan umat beragama di 10 provinsi tersebut masih cukup tinggi yakni di atas 60.
Berikut 10 provinsi dengan indeks keharmonisan terendah:
Survei ini juga mencatat Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi wilayah dengan tingkat keharmonisan tertinggi (83,3), disusul Bali (81,6), dan Maluku (81,3).
Berwarna dalam hal tempat ibadah
Namun Kementerian Agama mencatat kehidupan beragama di Tanah Air diwarnai dengan kasus izin tempat ibadah.
Pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi sempat diprotes pada 10 Agustus 2015 antara lain oleh Aliansi Dewan Persahabatan Muslim Bekasi. Aliansi menggelar aksi unjuk rasa menuntut Wali Kota Bekasi menghentikan pembangunan Gereja Santa Clara di lahan seluas 6.500 meter persegi.
Saat itu, 2.000 orang dari aliansi tersebut mendesak agar gereja dibangun tanpa izin. Hasil musyawarah memutuskan pembangunan Gereja Santa Clara ditetapkan status quo sehingga tidak boleh dilakukan kegiatan pembangunan di lahan tersebut.
Kasus kedua adalah perluasan Gereja Advent Pisangan. Pada tanggal 21 Januari 2015, Front Pembela Islam dan Forum Rembuk Betawi melakukan protes terhadap perluasan pembangunan Gereja Advent lantai dua di Komplek Pisangan, Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Meski gereja tersebut sudah beroperasi selama 29 tahun, namun warga meyakini jemaahnya bukan warga Pisangan. Sekitar 25 dari 30 anggota gereja berasal dari luar Pisangan. Alhasil, warga mengaku khawatir.
Kasus lainnya adalah konflik pembakaran gereja di Aceh Singkil dan peristiwa Tolikara.
Secara keseluruhan, rentetan kasus intoleran ini, menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, tidak menurunkan tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia.
“Karena harus dilihat secara luas, dari konteks Indonesia dari segi jumlah penduduk negara tertinggi keempat di dunia, dari geografi yang luas ini, secara umum dengan keberagaman ini luar biasa, keharmonisan kita cukup baik,” ujarnya. kata berkata.
Namun dia tidak menampik, ada beberapa konflik agama yang tidak muncul, kata Lukman, dipicu oleh agama. “Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor non-agama, misalnya persoalan politik yang berujung pada pilkada, persaingan politik dan ekonomi di daerah,” ujarnya.
Kerukunan internal umat beragama lebih sulit
Menanggapi hasil survei tersebut, aktivis sekaligus pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla mengatakan, permasalahan kerukunan saat ini bukan hanya antar agama saja, melainkan di dalam agama itu sendiri. Misalnya Sunni dan Syiah.
“Menurut saya, tantangan terbesar kerukunan umat beragama di Indonesia bukan antara Islam dan Kristen, tapi tantangan terbesar adalah kerukunan dalam umat Islam itu sendiri, karena jauh lebih rumit,” ujarnya kepada Rappler, Rabu, 10 Februari.
Ulil mengatakan, permasalahan saat ini adalah menjaga ‘perasaan sosial’. Misalnya, kaum Syi’ah tidak menghina sahabat Nabi, begitu pula sebaliknya dengan kaum Sunni.
Namun secara umum, Ulil mengatakan kerukunan umat beragama di Indonesia tidak ada masalah. Hanya saja negara dan masyarakat belum menjadikan isu toleransi beragama sebagai agenda bersama.
Alfian Tanjung, Badan Pakar Front Dewan Perwakilan Pusat FPI, sependapat dengan Ulil. “Saya setuju,” katanya.
Secara umum, ia menilai masyarakat cenderung ingin menciptakan kerukunan dan keharmonisan. Namun pihak luar bisa menimbulkan disharmoni, misalnya media. “Apa yang tidak menjadi masalah bisa menjadi masalah karena media,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan kelompok Islam lain seperti Jaringan Islam Liberal untuk menjaga ‘perasaan sosial’ seperti yang diungkapkan Ulil, dengan tidak menyebarkan pesan-pesan yang tidak meresahkan orang lain. “Seperti Ulil yang memposting tentang pernikahan beda agama,” ujarnya.
Sementara itu, Franz Magnis Suseno menilai saat ini yang terpenting bukanlah memperdebatkan siapa penyebab disharmoni beragama, melainkan mencari cara untuk melindungi kelompok minoritas. “Mereka seharusnya tidak hidup dalam ketakutan. “Mereka berbeda, mereka juga punya hati nurani, jadi hormati mereka,” ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA