Komnas HAM meminta polisi mengusut pelanggaran saat pembubaran ibadah di Sabuga
- keren989
- 0
Ridwan Kamil menegaskan, ibadah keagamaan diperbolehkan secara hukum di gedung Sabuga
BANDUNG, Indonesia – Komnas HAM menduga ada pelanggaran hukum yang dilakukan ormas Pembela Ahlul Sunnah (PAS) terkait aksi pelarangan Ibadah Kebangkitan Rohani (KKR) di Sabuga, Kota Bandung pada 6 Desember lalu. Untuk itu, Komnas HAM meminta Polrestabes Bandung Kota melakukan penyelidikan dan penyidikan atas masalah tersebut.
“Mengacu pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, pada hakikatnya (disebutkan) tidak boleh mengeluarkan pendapat di tempat ibadah dan ada sanksi pidana. Jadi, kalau ada anggapan di sana tidak ada pelanggaran hukum, kami curigai (sebenarnya) ada pelanggaran hukum di sana, kata koordinator meja kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) itu. Komnas HAM, Jayadi Damanik usai menggelar rapat terbatas dengan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil pada Jumat, 9 Desember di Pendopo Kota Bandung, Jalan Dalem Kaum.
Khusus di Kota Bandung, penerapan undang-undang ini juga diperkuat melalui penerbitan surat edaran Walikota Bandung oleh camat dan aparat pemerintah daerah setempat.
Polisi, lanjut Jayadi, juga bisa memproses kasus larangan beribadah dengan menggunakan pasal 175 dan 176 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Jadi (pasal) 175 (mengandung) penghalangan, (pasal) 176 (mengandung) menimbulkan kerusuhan. Oleh karena itu, apakah unsur pidana penghadangan sudah terpenuhi, apakah unsur pidana yang menimbulkan keributan sudah terpenuhi, mohon polisi menjelaskannya kepada masyarakat, imbuhnya.
Permintaan polisi mengusut kasus pelarangan KKR Bandung ini merupakan salah satu dari 6 poin pernyataan Komnas HAM terkait kasus yang berdampak pada toleransi di Kota Bandung ini. Berikut pernyataan lengkap mereka:
1. Minta Kapolresta Bandung Kota memberikan penjelasan tentang kebenaran informasi tersebut
2. Menyayangkan pelarangan tersebut dan menyatakan merupakan pelanggaran terhadap hak kebebasan beribadah yang dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 18 Konvensi Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pemkot Bandung dan aparat kepolisian tidak boleh membiarkan larangan tersebut dan mencegah pihak tertentu mengganggu kegiatan keagamaan pihak lain.
3. Menyatakan bahwa warga negara tidak boleh dibatasi kebebasannya untuk menjalankan ibadah keagamaan secara damai. Pembatasan hanya dapat dilakukan oleh negara dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-undang dan tidak boleh dilakukan secara diskriminatif.
4. Meminta kepolisian melakukan penyidikan dan/atau penyidikan terhadap dugaan tindak pidana yang dilakukan pelaku pelarangan kegiatan KKR dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah dan persamaan di depan hukum. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 175 dan/atau 176 KUHP.
5. Meminta Polrestabes Kota Bandung menjamin terciptanya rasa aman bagi setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah agama sesuai agama dan kepercayaannya.
6. Mendorong Pemerintah Kota Bandung untuk meningkatkan rasa saling menghormati dan menghargai antar umat beragama dengan memperkuat dialog dan kerjasama antar berbagai elemen masyarakat di Kota Bandung.
Jayadi mengatakan, pernyataan sikap Komnas HAM juga ditembuskan ke polisi. Ia berharap dapat menarik perhatian semua pihak.
Komnas HAM berharap hal ini tidak hanya menjadi perhatian kepolisian saja, tapi semua pihak karena ini bagian dari penjelasan permasalahannya, ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menegaskan, tidak boleh ada pembatasan kegiatan ibadah. Ia mengingatkan kembali bahwa Kota Bandung merupakan kota yang berbasis keberagaman. Oleh karena itu, Ridwan menegaskan siapa pun yang merusak keberagaman dan toleransi di wilayahnya harus dilawan.
“Siapapun yang berniat menghancurkan keberagaman dan toleransi serta berniat mengutarakan perbedaan dengan melanggar hukum, hal ini harus ditentang bersama oleh masyarakat dan sistem ketatanegaraan di Indonesia, khususnya di Kota Bandung,” ujar pria yang akrab disapanya itu. Kang. Emil itu.
Ridwan juga menjelaskan, penggunaan Sabuga sebagai tempat ibadah tidak melanggar aturan. Menurut Ridwan, Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang dijadikan dasar hukum massa aksi untuk menghentikan kegiatan KKR adalah salah. Peraturan ini mengatur tentang rumah ibadah dan bukan tempat ibadah.
“Rumah ibadah bersifat permanen dan fungsinya hanya untuk beribadah, itulah yang dimaksud dengan gereja. Jadi KKR bisa dilaksanakan di Sabuga, di gedung pertemuan dan sebagainya. Jadi dalil awal aksi protes yang mengatakan karena letak bangunan tidak tepat, adalah salah, kata Ridwan.
Meski soal pelarangan kegiatan KKR secara teknis berada di luar kendalinya sebagai Wali Kota, Ridwan merasa bertanggung jawab secara moral. Oleh karena itu, politikus Partai Gerindra itu meminta maaf atas kejadian tersebut dan menyarankan agar kegiatan ibadah kembali digelar menjelang perayaan Natal.
“Saya harus bertanggung jawab secara moral. Oleh karena itu, saya mohon maaf dan akal sehat mengatakan ibadah tidak boleh dibatasi, oleh karena itu kami menyarankan agar kegiatan ibadah diganti, kemungkinan pada tanggal 20 (Desember), di tempat yang sama di Sabuga. Jadi proses ibadah KKR diulangi lagi, ujarnya. – Rappler.com