Bagaimana seharusnya peran media dalam menyikapi tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan?
- keren989
- 0
Media yang seharusnya mampu memberikan informasi berimbang, seringkali memandang perempuan sebagai properti
JAKARTA, Indonesia – Kekerasan seksual terhadap perempuan bisa terjadi pada siapa saja. Termasuk calon peraih gelar ratu kecantikan bergengsi seperti Miss World.
Adalah Linor Abargil, seorang aktris, pengacara dan model yang mengalami kisah kelam ini. Enam minggu sebelum dinobatkan sebagai Miss World pada tahun 1998, Abargil diperkosa dan menjadi sasaran kekerasan oleh agen perjalanan di Milan, Italia.
Namun, ia akhirnya berhasil melarikan diri dan kembali ke tanah airnya di Israel. Sementara pelaku pemerkosaan, Uri Shlomo Nur, divonis 16 tahun penjara.
Abargil berhasil selamat dari kejadian yang hampir merenggut nyawanya, dan akhirnya membuat film dokumenter bertajuk “Brave Miss World” yang diputar pada Rabu, 23 November di Pusat Kebudayaan Amerika Serikat, Jakarta Selatan. Pemutaran film yang dilanjutkan dengan diskusi ini diprakarsai oleh empat alumni International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat dalam rangka memperingati Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingati setiap tanggal 25 November.
Para pembicara dalam diskusi sepakat bahwa pelaku kekerasan seksual biasanya berasal dari anggota keluarga, teman, dan orang asing. Kekerasan ada beberapa jenis, yaitu kekerasan emosional, verbal (intimidasi), dan fisik.
Devi Sumarno, pendiri Rumah Ruth Bandung yang menjadi salah satu pembicara mengatakan, budaya di Indonesia masih sering menyembunyikan kejadian kekerasan seksual dan menganggapnya tabu. Sedangkan korban kekerasan seksual atau penyintas justru ditempatkan sebagai pihak yang bersalah.
“Dampak kekerasan seksual sangat berkepanjangan, tidak hanya satu atau dua hari lalu selesai. Bahkan bisa berlangsung bertahun-tahun dan penyintas (korban) mungkin tidak langsung terbuka menceritakan kisahnya, kata Devi.
Dalam film Brave Miss World, Abargil mengatakan bahwa satu-satunya hal yang membuatnya bertahan hingga saat ini adalah ibunya. Dia tidak menghakimi Abargil yang berulang kali diperkosa saat berusia 18 tahun. Sebaliknya, ia menawarkan dukungan dan menenangkan Abargil.
Sang ibu pun meminta putrinya untuk tidak mandi terlebih dahulu, dengan tujuan tidak menghilangkan barang bukti berupa sidik jari dan DNA pelaku.
Para pembicara juga sepakat bahwa media berperan penting dalam memberikan informasi edukasi mengenai tindakan kekerasan seksual. Seharusnya mereka bisa memberikan informasi berimbang mengenai peristiwa memilukan ini.
Namun kenyataannya, seringkali secara tertulis, media masih memandang perempuan sebagai properti. Media sendiri juga membesar-besarkan pandangan ini.
“Dalam tulisannya, media masih memilih menggunakan kata ‘kalah’ atau ‘discolor’. Bahkan, hal itu justru akan membuat korban semakin terpuruk karena sudah merasa ternoda, kotor, dan menimbulkan trauma jangka panjang, kata jurnalis Harian Jakarta Post sekaligus Ketua Organisasi SEJUK, Alex Junaidi.
Menurut Alex, hal ini bisa terjadi karena jumlah jurnalis perempuan jauh lebih sedikit dibandingkan jurnalis laki-laki. Terakhir, produk jurnalistik yang dihasilkan juga bias. Tak semua jurnalis, aku Alex, juga punya pandangan yang mendukung para korban.
“Kesetaraan gender bagi perempuan adalah mungkin. Hal ini tidak hanya menguntungkan perempuan, tetapi juga akan menguntungkan laki-laki dalam kehidupan mereka. “Dengan kesetaraan, tidak akan ada lagi diskriminasi sehingga tercipta hubungan yang lebih baik antara perempuan dan laki-laki,” kata Alex.
Media, lanjut Alex, merupakan cermin dinamis yang dapat membantu mengubah cara pandang buruk masyarakat dalam menggambarkan korban kekerasan seksual. Selain itu juga dapat menjadi insentif bagi masyarakat untuk tidak menyalahkan korban.
Dengan cara ini, para korban dapat melanjutkan hidupnya setelah peristiwa kelam yang dialaminya.
Lalu bagaimana kehidupan Abargil saat ini? Ia memilih menjadi aktivis perempuan dan menciptakan gerakan #IAMBRAVE. Wanita berusia 36 tahun ini juga menjadi inspirasi bagi banyak penyintas pemerkosaan di seluruh dunia. – Rappler.com