• September 27, 2024

Saya hanya ingin menulis sastra

SOLO, Indonesia – Ratusan penikmat sastra rela menunggu berjam-jam di Balai Soedjatmoko Solo untuk mendengarkan Sapardi Djoko Damono membahas novel terbarunya yang bertajuk Satu bungkus. Namun, penyair berkepala putih keperakan yang tak lepas dari topi dan kacamata itu tampak tak banyak bicara soal novelnya.

Di sisi lain, penulis senior kelahiran 20 Maret 1940 ini memberi kesempatan lebih banyak kepada pembaca untuk berbincang dan bercerita tentang karya-karyanya. Ia enggan menilai sendiri novelnya yang baru diluncurkan tadi malam 21 November di Solo.

“Saya selalu menulis karya yang berbeda, tapi saya tidak bisa memberi tahu Anda tentang novel ini. Yang ada di kepala saya saat itu, itulah yang saya ketik,” kata Sapardi.

“Setiap pembaca bebas memahami dan menafsirkan karya sastra, dan saya tidak bisa mendiktekannya.”

Dalam menulis cerita, Sapardi hanya tinggal melihat lembaga yang dia benar-benar tahu jadi tidak perlu berbaikan. Latar belakang cerita masyarakat Jawa di Solo dipilihnya karena ia sangat mengenal kampung halamannya, tempat ia dibesarkan dan mengenyam pendidikan hingga SMA.

Dia kemudian menciptakan karakter yang hidup di dunia fiksi. Sapardi membawa dirinya ke dalam tokoh tersebut, lalu membiarkan cerita mengalir dengan sendirinya, tanpa alur. Sapardi tidak mencari ide cerita, ia mengikuti apa yang ingin ditulisnya ketika menjadi tokoh dalam cerita.

“Saya tidak menanganinya Satu bungkus, Satu bungkus yang mengendalikanku Jadi entahlah bagaimana ceritanya, aku sering terkejut, memasak itulah akhir ceritanya,” akunya.

Kata benda sebagai jembatan komunikasi

Dalam novel tersebut diceritakan seorang perempuan bernama Suti menyaksikan perubahan masyarakat pra-modern menuju modern, dari desa di pinggiran kota menjadi pusat kota besar. Suti bisa bergaul dengan gerombolan penjahat dan priyayi.

Ia kemudian terlibat masalah pelik di keluarga Den Sastro yang sulit ditebak.

Banyak yang menduga cerita ini terinspirasi dari pengalaman penulis di masa lalu, namun Sapardi membantahnya. Semua cerita dan penokohan adalah fiksi, yang tidak pernah ada dalam kenyataan.

Sapardi merupakan nama besar di dunia sastra Indonesia yang juga dikenal dengan inisial SDD. Namun, seperti karya-karyanya yang melekat di benak pembaca, ia merupakan pribadi yang kalem, tidak ceria, dan sederhana.

Ia berkarya apa adanya dan mendekatkan pembaca melalui bahasa yang mudah dipahami, melalui contoh-contoh dan peristiwa-peristiwa yang mudah dipahami, namun semuanya indah dan penuh makna. Kata-kata seperti hujan, kayu, api, abu, dan langit menjadi benda-benda disekitarnya yang dipilihnya untuk menjembatani komunikasi Sapardi dengan pembaca.

“Saya menggunakan kata benda itu karena semua orang tahu dan bisa berpikir, tidak perlu repot mencari terjemahannya,” kata Sapardi.

Meski dengan bahasa yang sederhana, puisi atau novel Sapardi diakui banyak penggemarnya yang berhasil memikat hati mereka. Puisi aku inginmisalnya, berkali-kali ditulis dalam bentuk yang berbeda, dibuat soundtrack film Cinta dalam sepotong roti (1991) oleh Garin Nugroho, dan disampaikan oleh jutaan pria kepada wanita yang mereka cintai, dan sering dijadikan kutipan dalam undangan pernikahan.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan kata-kata yang tidak sempat diucapkan oleh kayu itu

ke api yang mengubahnya menjadi abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan sinyal bahwa cloud tidak punya waktu untuk menyampaikan

pada hujan yang tidak menghasilkan apa-apa

Menurut Sapardi, ia tidak bermaksud meromantisasi puisi-puisinya atau memaknainya dengan berbagai cara dan makna yang mendalam. Menurutnya, semua puisinya sederhana dan mudah dicerna, tidak perlu tafsir.

Salah satu puisinya, Hujan Juni, misalnya, menginspirasi banyak orang karena kata-katanya yang sederhana namun indah. Penulisannya yang ringkas, padat dan menggunakan bahasa sehari-hari menjadi kekuatan puisi-puisi Sapardi.

Dalam karya sastra, ada hal yang terkadang tidak masuk akal, seperti hujan di bulan Juni yang seharusnya memasuki musim kemarau di Indonesia. Namun bagi Sapardi, tugas penyair adalah mencari sesuatu yang tidak masuk akal agar menjadi indah.

Tidak ada orang yang lebih tangguh

dari hujan bulan Juni

merahasiakan kerinduannya

ke pohon bunga

Tidak ada yang lebih pintar

dari hujan bulan Juni

menghapus langkah kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tidak ada yang lebih bijaksana

dari hujan bulan Juni

dibiarkan tak terucapkan

diserap oleh akar pohon berbunga

Idola Rendra

Meski karya-karyanya tak pernah sama, namun penyair yang kini berusia 75 tahun ini menilai tak ada satu pun karyanya yang istimewa. Bahkan ia lupa dengan tokoh-tokoh yang ia ciptakan dalam cerpen dan novel.

Tahun ini misalnya, Sapardi telah menulis lebih dari 20 karya sastra. Semua itu dia lakukan pada saat bersamaan. Dia memilih untuk mengikuti suasana hatidia untuk mulai menulis apa yang dia inginkan, lalu beralih ke yang lain, dan yang lain, bahkan tanpa menyelesaikannya.

“Karena seringnya pergantian tulisan, tokoh-tokoh dalam cerita saya sering tertukar satu sama lain,” kata penyair yang mengaku menulis puisi dan novel itu sama-sama sulit.

Sapardi pun menolak disebut sebagai penulis produktif. Lagipula, menurutnya, setelah 60 tahun menulis, wajar jika ia menghasilkan ratusan karya.

Ia bekerja dengan leluasa tanpa tekanan waktu dan target kerja. Oleh karena itu, ia bisa saja berhenti menulis selama tujuh tahun dan di kesempatan lain ia sangat produktif menghasilkan karya, seperti menulis 18 puisi dalam satu malam.

Menurutnya, menulis karya sastra bukan persoalan isi atau apa yang ditulis, melainkan bagaimana penulis menyampaikannya. Topik yang sama dapat menghasilkan karya yang berbeda jika ditulis oleh orang yang berbeda. Cara penyampaiannya kepada pembaca, bagi Sapardi, menentukan kualitas penulisnya.

“Cara penyampaiannya dengan bahasa, sejauh mana penulis menggunakan bahasa dengan baik agar pembaca memahaminya,” ujar Guru Besar Universitas Indonesia yang dijuluki Guru Besar Puisi Indonesia ini.

Sapardi telah menulis puisi sejak usia 15 tahun saat duduk di bangku SMP dan rutin mengirimkan karyanya ke surat kabar Penjebar Semangat. Kemudian gairahnya semakin bertambah sejak mengenal WS Rendra, seorang penyair yang juga lahir di Solo. Meski kedua penulisnya punya gaya puisi yang berbeda, Sapardi mengaku puisi Rendra-lah yang menjadikannya seorang penyair.

“Saya pembaca karya Rendra, sayangnya saya hanya bisa menjadi diri sendiri saat menulis (tidak bisa mengikuti Rendra),” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Togel Sydney