Proses penyerahan WNI kepada Arcandra dan kredibilitas presiden
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Benarkah ada upaya pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo untuk mengangkat kembali Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral? Indikasinya sudah ada. Misalnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan Arcandra bisa diangkat kembali jika status warga negara Indonesia (WNI) yang bersangkutan sudah sesuai.
Pekan ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang memproses kewarganegaraan Arcandra. Proses pemerintahan bisa dipercepat. Kini tinggal proses persetujuan di parlemen.
Ada beberapa sudut atau sikap tersebut menyikapi polemik pengangkatan dan kemudian pemberhentian Archandra yang menjabat menteri selama 20 hari. Mulai dari kegagalan Kantor Kepresidenan memverifikasi status lengkap Arcandra, munculnya persaingan kekuasaan di sekitar Presiden Jokowi, hingga trennya. xenofobia alias ketidaksetujuan orang-orang dari negara lain/asing, hingga persoalan ketidakmampuan presiden menggunakan hak prerogatifnya untuk menyusun kabinet dengan baik.
Saat saya mengamati kontroversi seputar masuk dan keluarnya Arcandra dari kabinet, saya teringat pertemuan dengan mendiang menteri senior Singapura, Lee Kuan Yew. Pak Lee, begitu saya memanggilnya, adalah bapak pendiri Singapura.
Pengaruhnya tidak pernah pudar, bahkan ketika dia… mati setelah tiga dekade menjadi Perdana Menteri. Saat ini Singapura dipimpin oleh putranya, Perdana Menteri Lee Hsien Loong. Jadi, meski hanya bergelar menteri senior, perlakuan terhadap Pak Lee oleh birokrasi dan diplomat Singapura sama seperti saat menjabat perdana menteri. Disiplin dan benar.
Saya diundang beberapa kali oleh mendiang Tuan Lee untuk makan siang dan makan malam. Sebuah pertemuan yang meninggalkan kesan mendalam, karena kualitas pembicaraan yang berlangsung. Pak Lee selalu menanyakan pertanyaan yang tepat kepada setiap peserta, biasanya dibatasi hanya 4-5 orang, untuk merangsang diskusi.
Saya juga memperhatikan bahwa Tuan Lee mengetahui perkembangan dan informasi terkini tentang tamunya. Suatu ketika dia memulai pertanyaan kepada saya dengan mengatakan: “Uni, kali ini kamu pindah perusahaan untuk ketiga kalinya ya?” dia berkata.
Saat itu saya bekerja di TV7 yang sekarang Trans 7. Aku tersenyum. Tidak apa-apa pak, lagi pula saya berganti pekerjaan setelah setidaknya empat tahun di satu tempat.
Saya teringat pertemuan dengan Pak Lee, saat merebak kontroversi penunjukan Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM. Saya masih bisa membayangkan wajah gembira Presiden Joko “Jokowi” Widodo saat mengumumkan reshuffle (menghapus) kabinet kerja untuk kedua kalinya dalam 21 bulan masa jabatan presiden, tepatnya pada 27 Juli 2016.
Rencana bergerak lagi itu menjadi populer beberapa bulan yang lalu. Bulan April lalu saya menuliskan 5 hal yang membuat bergerak lagi Kabinet Jokowi menjadi tidak berarti.
Poin ke 5 dari artikel di atas adalah: “Kalaupun menteri yang masuk kabinet berasal dari non-parpol (apalagi parpol), rekam jejaknya harus diperhatikan. Di era digital, masyarakat akan dengan mudah mengecek catatan tersebut. Karena bergerak lagi Diharapkan menjadi yang terakhir di pemerintahan saat ini, sehingga pengungkapan nama dan jabatan harus disambut positif dan didukung oleh rekam jejak yang baik.“
Itu benar. Kegembiraan masyarakat menyambut kembalinya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan hanya bertahan dua pekan. Masyarakat kemudian disuguhi drama kontroversial tentang status kewarganegaraan Arcandra Tahar yang sebelumnya diunggulkan sebagai diaspora cerdas.
Ada “kampanye” digital baik melalui media sosial maupun melalui penyebaran informasi ada apa bahwa Indonesia patut bergembira karena Arcandra bersedia menjabat sebagai menteri. Meski sudah sukses di Amerika Serikat, ia memiliki empat hak paten dan lulus dengan status warga negara di sana.
Di media sosial dan forum komunikasi digital, beredar kabar siapa Arcandra dan berstatus warga negara Amerika sejak 2012.
Saya yakin Arcandra adalah sosok yang sangat cerdas di bidangnya. Saya justru menyayangkan ada pejabat yang HANYA memihak Arcandra karena keberhasilannya memangkas biaya blok Masela. Masalah Maselablok hanyalah segelintir dari ribuan keputusan yang akan diambil Menteri ESDM yang mengurus hajat hidup orang banyak. Kekayaan tanah Indonesia dan segala isinya.
Setiap kali ada pejabat atau mantan pejabat yang membela Jokowi atas penunjukan Arcandra yang belakangan terbukti merupakan warga negara asing, terjadilah penurunan kepercayaan masyarakat. Dan hal ini terjadi tepat ketika Jokowi menjadi sasaran keberhasilan penerapan amnesti pajak (amnesti pajak).
Upaya yang memerlukan kepercayaan tinggi dari pemerintah agar masyarakat bersedia menepati kewajibannya, meski belum melihat aparat pemerintah ikut serta dalam amnesti pajak.
Jadi, bagi saya, kasus Arcandra tidak tepat jika dianggap sebagai bentuk xenophobia. Masyarakat tidak mengkritik Arcandra karena dia orang asing. Bahkan, ada nuansa Jokowi lebih percaya pada warga asing untuk menduduki jabatan Menteri ESDM dibandingkan mencari sosok yang cocok menyandang status WNI. Ini adalah sindrom yang berbeda.
Masyarakat mengkritik kelalaian Jokowi dan orang-orang di sekitar presiden sehingga terjadi pelanggaran terhadap UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Bahwa Indonesia tidak menganut kewarganegaraan ganda, kecuali anak di bawah 18 tahun yang orang tuanya berkewarganegaraan asing.
Publik mengkritik Arcandra yang tidak jujur dalam menyampaikan hal tersebut sebelum dirinya dilantik menjadi menteri. Padahal salah satu kalimat dalam sumpah jabatan menteri berbunyi: “Saya bersumpah setia kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1994 dan akan menjunjung tinggi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.“
Ketika Jokowi akhirnya memecat Arcandra usai kontroversi isu dwi kewarganegaraan, tidak ada permintaan maaf kepada masyarakat baik dari pemerintah, khususnya Jokowi, maupun dari Arcandra.
Arcandra dikabarkan telah bertemu dengan Presiden Jokowi sebelumnya untuk membahas permasalahan pengelolaan migas. Merujuk pada pengalaman saya dengan Tuan Lee, saya sangat terkejut karena tidak ada seorang pun dari istana atau kantor kepresidenan yang memeriksa latar belakangnya.
Saya paham, dalam beberapa kasus, Jokowi ingin meminimalkan pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan, agar tidak ada yang “mengganggu”. Hal itu misalnya dilakukan Jokowi saat memutuskan nasib perpanjangan kontrak karya Freeport Indonesia.
Namun, sebaiknya Jokowi kembali ke upaya baik yang pernah dilakukannya saat mulai memimpin dan mulai membentuk kabinet kerja. Setidaknya mengecek ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (FPATK). Jokowi tidak perlu khawatir akan adanya “intervensi” dari siapapun, termasuk dukungan partai politik, jika ia mampu dan paham dalam menggunakan hak prerogatifnya. Bahwa hak tersebut harus dilaksanakan dalam koridor hukum.
Lebih dari sekali, Jokowi mengeluhkan kegaduhan yang terjadi di kabinetnya. Keluhan terbesar datang dari masyarakat. Media memberitakan, keributan itu dianggap menambah kegaduhan. Penunjukan menteri pun rupanya menimbulkan kegaduhan.
Sekadar mengingatkan, ini adalah rangkaian gejolak yang sebenarnya bermula dari pusat kekuasaan, di era kepemimpinan Presiden Jokowi.
1. Keputusan Presiden tentang kenaikan tunjangan angsuran kendaraan PNS
“Tidak mungkin aku harus memeriksa halaman yang aku tandatangani satu per satu.” Demikian kutipan pernyataan Jokowi yang dimuat di Jakarta Globe edisi 7 April 2015. Komentar Jokowi merujuk pada kontroversi Perpres terkait kenaikan tunjangan uang muka kendaraan PNS.
Jokowi mengaku belum mengetahui detail isi Perpres tersebut. Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2015 diteken Jokowi pada 20 Maret. Perpres ini memberikan kenaikan tunjangan angsuran bagi PNS untuk pembelian kendaraan perorangan, dari Rp 116.650.000 menjadi Rp 210.890.000.
Setelah keributan publik, Jokowi membatalkan keputusan presiden tersebut. Ia pernah menyalahkan bawahannya, termasuk Menteri Keuangan, yang mengeluarkan Perpres tersebut.
Hal ini juga menuai kritik. Jika Perpres tidak dibacakan sebelum ditandatangani, bagaimana dengan masukan informasi mengenai pelaksanaan hukuman mati? Hidup dipertaruhkan.
2. Mary Jane Veloso hampir dieksekusi
Anis Hidayah, aktivis buruh migran, menggambarkan sikap dan keluh kesah Jokowi sehari sebelum eksekusinya. Ada nuansanya, Jokowi belum mengetahui situasi pasti terkait status Mary Jane Veloso yang diduga kuat menjadi korban perdagangan manusia dan tertangkap sebagai kurir narkoba. Kisah Anis bisa dibaca di sini.
“Pak Jokowi agak emosional. Tapi tidak marah. Mungkin bersemangat. Karena dia sudah menandatangani penolakan terhadap pengampunan Mary Jane, kata Anis.
3. Pembatalan kenaikan iuran BPJS golongan III
Jokowi pernah harus membatalkan Peraturan Presiden tentang pembayaran iuran BPJS. Presiden menerbitkan Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 untuk menaikkan iuran BPJS bagi peserta mandiri atau bukan penerima upah (PBPU) dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) mulai Jumat 1 April.
Peraturan ini kemudian direvisi setelah para pekerja memprotes PP tersebut atas ketentuan dana JHT, khususnya bagi pekerja peserta JHT yang di-PHK atau berhenti bekerja.
Di change.org misalnya, ada petisi yang ditandatangani puluhan ribu orang yang meminta Jokowi merevisi aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 (PP 46/2015).
(BA: Puluhan ribu orang menandatangani petisi menolak Peraturan BPJS Ketenagakerjaan yang baru)
Kita bisa menilai kesediaan Jokowi untuk mengoreksi keputusan yang telah diambil bisa kita nilai karena memiliki niat baik untuk mendengarkan aspirasi masyarakat luas. Namun kesalahan administratif yang berulang sulit dimaafkan dan mengurangi kepercayaan masyarakat. Apalagi ada kesan presiden kurang membaca dengan baik isi materi yang ditandatanganinya, atau tidak ada pejabat yang bisa dipercaya di sekelilingnya untuk memastikan ia menjalankan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan, hal ini sangat mengkhawatirkan.
Cepat atau lambat, Jokowi tidak lagi merasa aman dan nyaman, karena ketika ia pergi ke suatu daerah, ada ratusan atau ribuan warga yang menyambutnya. Merasa senang karena anak-anak bersorak saat menerima hadiah buku catatan tersebut. Merasa tenang karena masih banyak orang yang ingin berfoto selfie atau sendirian dengannya. Tidak peduli presiden mana yang berkuasa, presiden sekalipun tetap menjadi sasaran selfie, Anda tahu tuan
Soal nasib Arcandra, Direktur Jenderal Hukum dan Administrasi Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Freddy Harris mengatakan pihaknya lebih memilih menerapkan pasal 20 UU No. 12/2006 yang menyatakan bahwa Presiden dapat memberikan kewarganegaraan Indonesia kepada orang asing yang dianggap telah berjasa kepada negara. Jika Jokowi bersikeras untuk mengangkat kembali Arcandra ke pemerintahan, dalam posisi apa pun yang dibayar dengan uang pembayar pajak, haruskah Jokowi menjelaskan apa saja kontribusi Arcandra bagi negara?
Bukan soal Arcandra yang tiba-tiba berada dalam pusaran kontroversi. Ini adalah pertanyaan tentang kredibilitas keputusan presiden – Rappler.com