Lampu mulai menolak untuk menyala
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Lima helikopter melintasi langit Leicester beberapa saat setelah tim kebanggaan kota itu membantai Swansea City 4-0 di Stadion King Power, Minggu, 24 April 2016. Konvoi yang riuh itu bergerak cepat jauh ke selatan menuju ibu kota.
Di salah satu helikopter, seorang pemain menempati salah satu kursi penumpang. Badannya kurus, tidak terlalu tinggi, dengan janggut yang sengaja tidak dicukur. Penampilan fisiknya sama sekali tidak mewakili seseorang yang harus diwaspadai di liga yang mengutamakan fisik sebagai kekuatan utama seperti di Inggris.
Beberapa jam yang lalu dia mencetak gol ke gawang Swansea, namun kini dia harus berada di dalam helikopter yang akan membawanya ke London.
Sebenarnya keringatnya belum kering. Luka lebam akibat benturan dengan pemain masih terlihat. Suara puluhan ribu suporter yang meneriakkan namanya saat mencetak gol ke gawang Swansea masih terdengar jelas.
“Benarkah itu?” Mahrez berkata tidak percaya kepada lelaki tua di sebelahnya: Claudio Ranieri.
Di hotel mewah London, Grosvenor House, Mahrez mengenakan setelan jas dengan rambut tampilan basah yang tertata rapi. Ia didaulat naik panggung untuk dinobatkan sebagai pemain terbaik Liga Inggris 2015-2016.
Pemain berusia 26 tahun tersebut tidak hanya menjadi pemain terbaik, namun juga menjadi pemain Aljazair pertama dan warga negara pertama di benua Afrika yang menjadi pemain terbaik di liga paling glamor dunia.
Maksud saya, apakah Didier Drogba tidak pernah mencapai hal itu? dia berkata. Masih dengan kejutan yang sama. Ranieri yang berada di sebelahnya hanya tersenyum melihat anak angkatnya yang kikuk dan kebingungan.
“Saya hanya yang pertama (pemain Afrika), bukan yang terbaik,” ujarnya kepada penonton yang memadati ruang dansa Rumah Grosvenor. Mahrez menjadi Mahrez.
Pemain berusia 26 tahun itu kemudian mengatakan dirinya tidak pantas mendapatkannya. Pasalnya Leicester meraih gelar bukan hanya karena peran individunya. Namun pemain lainlah yang berjuang bersama dan meraih kejayaan bersama.
Mereka bertarung sebagai satu tim di lapangan. Tidak ada seorang pun yang rela membiarkan rekannya bekerja sendirian di pertahanan atau mati-matian di lini depan untuk menembus gawang lawan.
“Kita semua seperti saudara. “Gelar ini untuk saudara-saudara saya di Leicester,” ujarnya di penghujung malam penghargaan.
Bagi pemain yang sudah lama berkarir di level bawah seperti Mahrez, glamor dan popularitas terasa seperti sesuatu yang asing. Karena berpenampilan menarik adalah bagian dari pekerjaannya. Klub membayar pekerjaan itu.
Pemain seperti ini sebenarnya menganggap popularitas sebagai hadiah yang tidak pantas. Popularitas, gelar, dan trofi hanya milik mereka yang tampil di klub-klub besar. Mereka yang memulai karirnya dari awal di panggung tertinggi sepakbola dunia. Mereka yang tidak hanya hebat di lapangan, tapi juga mengutamakan penampilan fisik dibandingkan jumlah golnya.
Dan Mahrez jauh dari itu. Baginya, dalam sebuah tim tidak ada satu atau dua pemain yang lebih penting dibandingkan yang lain. Masing-masing memikul tugas yang sama pentingnya. Hal itu diungkapkannya saat sejumlah jurnalis Inggris menyebut dirinya dan Jamie Vardy adalah dua sosok penting dalam meraih gelar pertama dalam sejarah Leicester.
“Vardy dan saya bukan bintang. “Kami hanya beruntung menjadi orang yang mencetak gol,” katanya dikutip oleh Huffington Post.
Perasaan menjadi “pemain tim” memang menjadi pola pikir yang kuat di benak Mahrez. Dia tidak pernah menganggap dirinya lebih penting dibandingkan pemain lain. Paradigma tersebut bisa jadi karena ia memiliki pengalaman yang cukup banyak di level yang jauh lebih lemah dibandingkan posisinya saat ini.
Di awal karirnya, Mahrez lebih banyak tampil di kasta bawah. Perawakannya yang ramping membuat banyak orang meremehkan performanya. Ia awalnya bergabung dengan tim cadangan klub Prancis Le Havre II sebelum dipromosikan ke tim utama Le Havre yang tampil di Ligue 2.
Setelah tiga tahun di Le Havre, Mahrez pindah ke Leicester City pada tahun 2014, yang saat itu masih berada di zona Championship, kasta kedua sepak bola Liga Utama Inggris. Musim pertamanya di Leicester berjalan manis. Mereka dipromosikan ke Liga Premier.
Pada musim 2014-2015, ia pertama kali berada di papan atas kompetisi Eropa. Namun, satu-satunya target realistis Leicester saat itu adalah bertahan di Liga Inggris. Di musim itu mereka terhindar dari degradasi dan meraih gelar juara liga pada musim berikutnya.
Untuk seseorang seperti Mahrez, tim besar tidak lagi relevan jika mereka tidak memberi Anda tempat untuk memulai. Faktanya, tim kecil adalah tim besar di benak Anda jika mereka memberi Anda peran besar.
Mungkin itu sebabnya Mahrez, yang lahir di Prancis, belum melangkah maju biru. Ia justru memilih memperkuat negara ayahnya, Aljazair.
Bekerja sendiri
Claudio Ranieri, manajer yang membawa Leicester meraih gelar juara liga, mengatakan sulit untuk tidak melihat Mahrez sebagai aktor kunci kesuksesan Leicester. Mahrez merupakan pemain yang selalu rela berkorban demi tim. Dan setiap kali timnya bermain buruk, dia selalu merasa menjadi orang pertama yang mengambil tanggung jawab.
Mengingat Leicester telah mengalami serangkaian episode negatif di Premier League musim ini, Mahrez mungkin menjadi satu-satunya pemain yang masih rela berkorban demi Rubah. Ia masih tampil dengan etos kerja yang sama seperti musim lalu. Berbeda dengan rekan-rekannya yang mulai enggan bermain di bawah asuhan Ranieri.
“Mahrez adalah cahaya kami. Setiap kali dia bersinar, warna Leicester akan bersinar terang,” kata Ranieri dikutip oleh New York Times.
Namun, apapun yang terjadi, mereka yang mengorbankan dirinya demi tim akan mencapai titik jenuh. Ketika tim tidak lagi layak untuk dikorbankan. Saat dia masih menjadi satu-satunya orang yang memiliki impian besar di tim.
Komentar Mahrez kepada rekan setimnya Islam Slimani saat Chelsea menjuarai Liga Inggris 2016-2017 mengisyaratkan hal tersebut. “Chelsea adalah tim yang nyata. Mereka pantas mendapatkannya.” dia berkata.
Mahrez tahu dirinya tak layak lagi mengorbankan dirinya demi Leicester, tim yang kini tak punya impian selain bertahan di Liga Inggris. Setelah meraih gelar juara, tak ada lagi yang bisa mereka kejar. Para pemain juga kehilangan kesadaran bermain sebagai tim.
Lampu yang tadinya menyala kini tak mau menyala. Setidaknya untuk Leicester. Mahrez ingin bersinar untuk tim yang pantas mendapatkannya.—Rappler.com