Nasib anak pecandu di panti rehabilitasi narkoba
- keren989
- 0
SURABAYA, Indonesia — Sekilas, rumah dua lantai di kawasan Rungkut Pandugo, Surabaya ini tak berbeda dengan rumah warga lainnya. Tidak ada pagar tinggi yang menghalangi warga keluar rumah. Selain itu, tidak ada penjaga yang berdiri di depan pagar. Padahal rumah ini digunakan sebagai pusat rehabilitasi bagi para pecandu narkoba.
“Awalnya warga sekitar menolak keberadaan kami. Mereka kaget karena banyak orang yang datang ke sini bertato. Tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan. “Mereka mengira itu rumah kriminal,” kata Munieb Mujianto, penanggung jawab Rumah Sehat Orbit Surabaya (RSOS), kepada Rappler.
RSOS berada di bawah Orbit Foundation. Sejak tahun 2012 mereka memiliki rumah rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Sebagian besar peserta masih merupakan rujukan dari kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (NNA). Sementara peserta rehabilitasi yang datang sendiri secara sukarela masih jarang. Kalaupun ada, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari satu tangan.
Di lokasi ini, peserta menjalani rehabilitasi kecanduan narkoba dengan terapi selama enam bulan. Mereka menjalani rawat inap selama tiga bulan, sedangkan peserta menjalani rawat jalan selama tiga bulan berikutnya. Lama tinggal tiga bulan bukan merupakan patokan. Sebab, tidak jarang peserta rehabilitasi harus dirawat di rumah sakit kurang dari tiga bulan.
“Awalnya warga sekitar menolak keberadaan kami. “Mereka kaget karena banyak orang yang datang ke sini punya tato.”
“Bergantung laporan perkembangan mereka. Misalnya kalau sudah bagus, kenapa harus disimpan tiga bulan? Kasihan mereka. “Kalau lebih awal keluar, akan kami laporkan ke polisi dan BNN kalau jadi rujukan,” kata Munieb.
Katanya, jangan sampai selama tiga bulan menjalani rawat inap, peserta rehabilitasi akan mengalami hari-hari yang tidak menyenangkan di rumah rehabilitasi ini. Metode rehabilitasi kecanduan narkoba di rumah ini menggabungkan dua metode yaitu metode 12 Langkah dan komunitas terapi.
metode komunitas terapi menekankan disiplin. Sedangkan metode 12 Langkah menekankan pada introspeksi diri.
Metode 12 langkah ini mirip dengan Alcoholics Anonymous di Amerika Serikat yang sering digambarkan dalam film-film Hollywood.
Dulu, kata Munieb, rumah rehabilitasi lebih banyak menggunakan metode komunitas terapi yang menekankan kedisiplinan, bahkan bisa dibilang semi militer. Namun saat ini banyak rumah rehabilitasi, terutama yang berbasis pemulihan kecanduan berbasis komunitas (BARM), yang menerapkan metode kombinasi selain metode keagamaan.
“Dulu lebih banyak digunakan komunitas terapi karena pecandu putauw lebih banyak lagi. “Karakter pecandu putauw adalah lebih tangguh, banyak hidup di jalanan dan tidak segan-segan melakukan kejahatan,” kata Munieb yang juga mantan pecandu dan sering keluar masuk panti rehabilitasi.
“Sementara yang kecanduan sabu lebih banyak lagi. Banyak orang yang tinggal di rumah, bahkan mempunyai pekerjaan. Kalau kita susah, mereka mudah mati.”
Sekalipun itu digabungkan komunitas terapi dengan 12 Langkah, namun kedisiplinan tetap diterapkan dalam rehabilitasi ini. Misalnya, peserta rehabilitasi mempunyai kewajiban membersihkan rumah setiap pagi, merapikan tempat tidur sendiri dan dilarang mengumpat atau mengumpat.
Disiplin tetap penting, karena pecandu rata-rata hidup seenaknya saja, tanpa peduli,” kata Munieb.
Ayah dan anak tidur bersama
RSOS tidak hanya menerima orang dewasa tetapi juga anak-anak. Pada kunjungan tersebut terdapat 18 peserta rehabilitasi yang terdiri dari 14 laki-laki dan 4 perempuan. Salah satunya adalah Rahma (nama samaran). Dia masih berusia 15 tahun. Ia putus sekolah sejak kelas 2 SMP.
“Tahun 2 SMP, tidak masuk sekolah karena hanya malas. “Uang (biaya sekolah) dari Mbah saya gunakan untuk membeli sabu,” kata Rahma sambil tersenyum.
Rahma berasal dari keluarga rumah rusak. Sejak kecil ia diasuh oleh neneknya.
Ia mengenal sabu dari lingkungan tempat tinggalnya yang tidak sehat. Ia tinggal bersama neneknya di kawasan Kapasan, Surabaya. Dia mengatakan ayah dan anak tidur bersama di rumah adalah sesuatu yang biasa dia lihat di tempat tinggalnya.
Penganiayaan bagi Rahma adalah perkara mudah meski ia tidak punya uang. Dia mempunyai pacar pengedar sabu. Pacarnya biasa memberikan sabu kepada Rahma. Terkadang ia juga diajak mengirimkan sabu ke Madura.
Rahma dan pacarnya tertangkap saat Satpol PP menggerebek sebuah tempat hiburan malam. Meski masih muda, ia sudah akrab dengan tempat hiburan malam.
Namun hal itu sudah menjadi masa lalu bagi Rahma. Kini, setelah kurang lebih tiga bulan mengikuti rehabilitasi di RSOS, Rahma berniat menata ulang hidupnya. Ia ingin kembali bersekolah—keinginannya difasilitasi oleh RSOS.
“Kami akan mengikuti rombongan itu. Lalu SMA. Ia juga akan tinggal di sini untuk menghindari lingkungan yang buruk. Neneknya memberinya izin. Neneknya malah senang. “Katanya Rahma terlihat lebih bersih dan cantik di sini,” kata Munieb.
Rahma pun merasa senang bisa tinggal di RSOS. Ia merasa mempunyai keluarga baru yang lebih peduli padanya.
Menghilangkan efek horor
Suasana rehabilitasi di RSOS benar-benar terasa seperti kekeluargaan. Tidak ada batasan tegas antara peserta rehabilitasi dan staf. Mereka bahkan turut serta dalam pengabdian masyarakat bersama warga. Tak jarang mereka juga menghadiri hari jadi keagamaan di masjid-masjid setempat.
Munieb mengatakan, awalnya warga menganggap interaksi tersebut aneh. Namun lama kelamaan masyarakat menjadi terbiasa. Setiap Sabtu malam mereka juga mengadakan acara rekreasi, misalnya minum kopi bersama di warung setempat.
“Kami memang ingin menghilangkan kesan seram dari rumah rehabilitasi. Itu sudah lama sekali. Nyatanya, suasana kekeluargaan sebenarnya bisa efektif. Misalnya, ketika mendapat cuti Idul Fitri, mereka juga kembali tepat waktu. Tidak ada yang melarikan diri,” kata Munieb.
Fariz (bukan nama sebenarnya) juga mengalami hal serupa. Dia baru berusia sekitar 16 tahun. Setiap hari dia meminum pil ganda L. Harga tas anak cukup terjangkau hanya Rp 10 ribu untuk 10 item.
Bukan sekedar konsumsi ganda L Sehari-harinya Fariz juga akrab dengan alkohol. Selain itu, setelah putus sekolah menengah, ia memilih bekerja daripada melanjutkan sekolah menengah atas. Ia bekerja di tambak udang di sekitar Pantai Kenjeran, Surabaya. Di lingkungan yang matang ini, kebiasaan minum Fariz sepertinya dimudahkan.
“Vampet biasanya mabuk. “Saya selalu diundang kalau ada acara,” kata Fariz.
Sabu juga, dia juga dikenal meski tidak terlalu sering. Harganya masih terlalu mahal untuknya. Di pasar gelap, sabu kemasan murah biasanya dijual dengan harga antara Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu. Fariz masih memikirkan apakah akan membeli sabu sendiri. Jika ingin diperkosa, biasanya ia bergabung dengan teman-temannya.
“Kami memang ingin menghilangkan kesan seram dari rumah rehabilitasi. Itu sudah lama sekali. Faktanya, suasana kekeluargaan sebenarnya bisa efektif.
Pertengahan Februari lalu dia ditangkap Satpol PP. Usai minum minuman keras bersama teman-temannya, ia dicakar Satpol PP.
Pada hari Sabtu pagi dia diajak oleh teman-temannya untuk berkunjung. Kali ini dia tidak membutuhkan usaha patungan. Fariz hanya menyediakan tempat untuk nyabu. Tempat tinggal orang tuanya pun menjadi pilihan. Karena pada malam hari orang tua Fariz bekerja di pasar.
Tidur nyenyak di kediaman orang tuanya, Fariz menghabiskan pagi hari dengan menonton balapan motor ilegal di kawasan Ngagel, Surabaya. Sayangnya karena saat itu ada Satpol PP yang menggaruk. Fariz ditangkap karena tak punya KTP. Ia pun dibawa ke kantor Satpol PP.
Kemalangan kedua yang dialami Fariz adalah harus menjalani tes urine. Hasilnya positif penggunaan sabu. Malamnya dia harus bermalam di kantor Satpol PP Surabaya.
“Pagi harinya ibu saya datang sambil menangis saat melihat saya ditangkap. Maaf,” kata Fariz.
Tak hanya bermalam di kantor Satpol PP, Fariz juga sempat masuk ke Liponsos Keputih Surabaya dan kantor BNN Surabaya tadi malam.
Di kantor BNN, Faiz tidak dipenjara. Namun tangannya masih diborgol.
“Katakan padaku besok pagi mengepel Kantor BNN,” ujarnya. Barulah Fariz dimasukkan ke pusat rehabilitasi di Bambu Nusantara Surabaya.
Fariz sedang menjalani rehabilitasi kecanduan di Bambu Nusantara. Di tempat rehabilitasi ini ia harus menjalani rehabilitasi selama tiga bulan. Awalnya sulit baginya untuk menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani rehabilitasi.
“Saya merasa seperti saya bukan seorang pecandu. Mengapa memposting ini di sini? “Tetapi seiring waktu saya menyadari bahwa saya salah, dan saya pantas berada di sini,” katanya.
Berada di Balai Rehabilitasi Bambu Nusantara, bukan berarti Fariz tidak bisa melakukan aktivitas pribadi. Dia masih bisa merawat burung-burung itu Love bird kekasihnya meski masih menjalani rehabilitasi.
“Kami mengizinkan mereka membawa hewan peliharaannya. Pasalnya, biasanya jika ditinggal di rumah, tidak akan ada yang mengurusnya. Kedua, biarkan mereka beraktivitas. “Pecandu kalau dibiarkan bengong pasti ada pikiran untuk pakai lagi,” kata Iwan Naryono, konselor Bambu Nusantara.
Baik Munieb maupun Iwan sepakat bahwa tidak ada satu pun pusat rehabilitasi di dunia yang bisa menjamin pecandu akan sembuh 100 persen dan tidak menggunakan narkoba lagi. Mereka mengatakan, faktor yang memegang peranan penting setelah rehabilitasi adalah faktor lingkungan di mana mereka akan berinteraksi.
Sebab jika pecandu kembali ke lingkungan yang tidak sehat setelah direhabilitasi, besar kemungkinannya akan menggunakan kembali.
“Makanya kami selalu bertanya, kemana mereka setelah rehabilitasi? Jangan menjadi pengangguran. “Karena kalau menganggur pasti muncul pemikiran untuk kembali menggunakan,” kata Iwan. —Rappler.com