Memoar Luka Hesri Setiawan
- keren989
- 0
Berdasarkan tanda kematian, ditanam tegak kemarin
Semakin banyak Anda melihat, semakin tenang, semakin tenang
Papan mati
Penggalan puisi di atas dibacakan oleh Hesri Setiawan, tokoh utama film dokumenter tersebut Pulau Buru: Beta Tanah Air, di depan nisan sahabatnya, Heru Santoso, di pulau tempat sejuta tahanan politik dipaksa bekerja.
Hesri adalah mantan tahanan politik dan penulis buku Memoar Pulau Buru. Minggu lalu Hesri juga mendapat penghargaan sebagai “Inspirasi Perjuangan Hak Asasi Manusia Generasi Muda” keluar Universitas Gadjah Mada.
(BACA: Mantan tapol di Pulau Buru menerima penghargaan HAM dari UGM)
Usai membaca puisi tersebut, tiba-tiba Hesri lemas dan sesekali mengangkat topinya. Pelukannya ditopang oleh istri dan anak-anaknya. Ia teringat Heru, teman sekamarnya, yang meninggal mengenaskan.
“Heru…Heru..Heru…” ucapnya.
Makam Heru digambarkan sudah usang, berada di antara semak-semak, dan tidak dapat diakses dengan mata telanjang. Seperti kisah yang semakin dilupakan.
Disutradarai oleh Rahung Nasution dan Wihsnu Yonar, film Pulau Buru disajikan secara sederhana, namun membuat penonton tenggelam dalam perbincangan antara Hesri, putrinya, dan teman-teman lamanya.
Dalam film dokumenter tersebut, Hesri yang didampingi putri tunggalnya, Ken Setiawan, dikisahkan mengunjungi Pulau Buru dengan tujuan menjenguk makam Heru dan bertemu dengan teman-temannya semasa menjadi tahanan politik.
Percakapan pertama antara Hesri dan putrinya di pantai. Hesri bercerita, ia disuruh prajurit bersama Heru untuk mencari sagu.
“Orang kota Heru, siapa yang tahu sagu,” ucapnya lirih diiringi gelak tawa penonton yang menonton pemutaran perdana film tersebut di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Rabu 16 Maret.
Film ini sedianya akan ditayangkan di gedung pusat kebudayaan Goethe-Haus, namun mendapat larangan dari kepolisian setempat.
(BACA: Rahung: Ormas Tertentu Tak Terima Pulau Buru Ditayangkan)
Sesekali, lanjut Hesri, Heru mengaku ingin kabur bersama rekan-rekannya yang lain. Heru meminta Hesri ikut serta. Namun Hesri menolak.
“Saya sebisa mungkin memperpanjang hidup saya di sini, karena suatu saat saya ingin pulang, saya tidak tahu kapan,” ujarnya. Namun bukan dengan melarikan diri, karena nyawa menjadi taruhannya.
Hesri mengatakan, keinginan Heru untuk melarikan diri merupakan hal yang wajar karena kehidupan tapol di Pulau Buru membuat mereka semakin putus asa. Para tapol harus bekerja dari jam 4 pagi hingga jam 12 malam. Tidak ada istirahat.
Apa yang mereka lakukan? Melakukan pembangunan sawah pertama di perairan Pulau Buru hingga membangun gereja tanpa peralatan yang memadai. Tugas-tugas yang tidak masuk akal dari para prajurit membuat mereka lelah satu per satu, dan dilaporkan bahwa banyak yang meninggal secara mengenaskan.
Pada bagian percakapan ini saya tidak dapat menahan air mata yang jatuh. Bahasa yang digunakan Hesri sederhana namun penuh fakta. Yang paling menyentuh hati saya adalah ketika Hesri bercerita tentang aktivitas yang harus mereka lakukan sehari-hari, kerja paksa, sementara putrinya menatap kosong.
Rahung dan Wishnu menambah suasana melankolis perbincangan ayah dan anak itu dengan ketegangan biola dan latar belakang pantai yang sepi di senja hari.
Perbincangan kedua antara Hesri dan kawan-kawan lamanya, warga Pulau Buru, eks tapol, adalah tentang politik di Indonesia.
“Saya muak dengan partai politik. Pesta yang mengerikan hari ini. Mereka selalu ingin menjadi nomor satu, saya nomor satu,” kritik teman Hesri.
Sang sahabat juga mengomentari peta politik Pilpres 2014. Menurutnya, masyarakat mudah terpecah belah hanya karena mendukung calon presiden lain.
Percakapan selanjutnya antara Hesri dengan para tapol, serta warga Pulau Buru yang seumuran. Mereka berbicara mengenai sikap pemerintah yang cenderung mengabaikan tahanan politik Pulau Buru.
“Maaf, tidak,” katanya. Padahal ia hanya ingin mendengar permintaan maaf dari orang nomor satu di negeri ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Sebab, kata maaf itu sudah ia tunggu sejak Soeharto lengser.
Pemerintah, kata Hesri, memilih bungkam. Keheningan ini semakin menambah luka hati Hesri yang berharap penderitaan dirinya dan teman-temannya diakui, bukan dilupakan begitu saja.
Film kemudian diakhiri dengan perbincangan manis antara Hesri dan putrinya. Ada rasa marah, ada rasa kecewa dan ada rasa bangga.
Bagaimana percakapan mereka? Pembaca silahkan menonton film besutan Rahung ini. Semoga ada kesempatan lagi bagi kita untuk menonton film dokumenter bersejarah ini sebelum dilarang lagi. —Rappler.com
BACA JUGA: