Pelajari persoalan pertanahan dari penggusuran Kampung Pulo dan Bukit Duri
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia—Dua kali Rappler meliput penggusuran di Jakarta, yakni di Kampung Pulo dan Bukit Duri. Kedua pengusiran itu diwarnai bentrokan.
Penggusuran Kampung Pulo pada 20 Agustus lalu berakhir ricuh. Bentrokan pun terjadi antara petugas Satpol PP dengan warga Kampung Pulo. Gas air mata ditembakkan petugas. Batu beterbangan dari arah kamp penduduk. Suasana di Kampung Pulo mencekam.
Apa perselisihan antara pemerintah dan warga negara? Kepemilikan tanah. Pemprov DKI Jakarta menilai warga tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah. Lahan di Kampung Pulo adalah milik negara, sehingga perluasan yang dilakukan untuk memperlebar Sungai Ciliwung tidak bisa ditawar lagi.
Selasa, 12 Januari, Pemprov DKI Jakarta kembali melakukan penggusuran di tiga unit rumah di Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Warga kembali protes. Pihak berwenang kembali bersikap kasar. Akibatnya, anggota LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy dipukul Satpol PP Pramong Praja. Meski hal itu dibantah Kepala Satpol PP Pancoran Houtman. “Warga melakukan perlawanan,” ujarnya kepada Rappler saat ditemui di lokasi kemarin.
Warga tidak memiliki sertifikat tanah
Dalam artikel Rappler sebelumnya yang berjudul Kontroversi kepemilikan tanah di Kampung Pulo Disebutkan, warga hanya memiliki dokumen tanah berjenis hipotek.
Hal itu diungkapkan Tokoh Masyarakat Kampung Pulo, Jatinegara, S Sholeh Husein Alaidrus yang merupakan salah satu warga pertama di bantaran Kampung Pulo, Jatinegara. Ia pernah menikmati masa-masa Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin.
“Tanah di sini berasal dari vmenyajikan. “Setelah itu, pada tahun 1979, setiap warga mengurus sertifikat tanahnya di kecamatan,” ujarnya. Saat itu gubernur yang menjabat adalah Tjokropranolo.
Sumpah adalah faktur pajak bumi atau bangunan di masa lampau, yang saat ini disebut dengan Surat Pemberitahuan Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB).
Untuk mengurus tanah yang dimiliki, warga mendatangi Kampung Kampung Melayu, termasuk Sholeh yang ingin menjual sebagian tanahnya. Baru pertama kali di desa itulah Sholeh mengaku ditawari konsep hanya dari kota.
Namun Sholeh mengatakan di sinilah awalnya warga kehilangan data kepemilikan tanahnya. “Karena ketika ditanya nomor berapa sumpah-miliknya? Tidak tahu. “Karena pihak kecamatan tidak memberikan nomornya,” ujarnya.
Sholeh mengatakan, banyak orang yang bernasib sama dengannya. Apalagi setelah mereka mendengar Kampung Pulo akan digusur. Tepatnya sejak masa Gubernur DKI Sutiyoso.
Menurut dia, beberapa di antaranya kemudian mengurus kelengkapan dokumen ke Badan Pertanahan Negara (BPN) dan berhasil. Namun tidak semua warga senang, ada juga warga yang masih mengurus kepemilikan tanahnya.
Belum lagi pungutan liar yang menurut warga mencapai Rp30 juta per sertifikat.
Kasus kepemilikan tanah di Kampung Pulo rupanya terulang kembali di Bukit Duri. Menurut kuasa hukum umum LBH Jakarta Matthew Lenggu yang mendampingi warga, warga tidak memiliki akta kepemilikan tanah.
“Kalau melihat kasus Bukit Duri, mereka sebenarnya tidak punya hak atas tanah, hak guna bangunan atau apa pun. Tapi mereka membayar pajak dan menggunakan tanah ini,” katanya kepada Rappler Selasa lalu.
Warga Bukit Duri, kata Matthew, hanya memiliki sertifikat zaman Belanda, sama halnya dengan warga di Kampung Pulo.
Seperti kasus Siti Ayani, warga asli Bukit Duri yang memiliki lebih dari 40 rumah kontrakan di bantaran Sungai Ciliwung dengan luas tanah 2.300 meter persegi, ia hanya memiliki sertifikat tanah jenis hipotek yang diwarisi darinya. ayah adalah. , Haji Madris.
“Memang benar, menurut Ny. Pernyataan Ani mewarisi tanah tersebut dan tidak pernah membelinya. “Warisan dan bentuk kepemilikannya adalah sertifikat berbahasa Belanda,” ujarnya.
Sayangnya, tidak semua warga mengetahui proses yang harus mereka lalui untuk menjadikan surat tersebut menjadi sertifikat tanah. Bahkan ada di antara mereka yang kehilangan surat tersebut saat terjadi banjir nasional beberapa tahun lalu. Dokumen-dokumen hanyut bersama barang-barangnya di dalam rumah.
Jadi, kata Matthew, posisi warga Bukit Duri saat ini sangat lemah di mata hukum. Karena tidak ada hitam di atas putih.
LBH pernah memediasi masalah ini dengan pihak Kecamatan, agar warga bisa mendapatkan keringanan. Pun dengan camat, balai kota, bahkan sekretaris kota. Hasilnya nol. “Mereka tetap bersikukuh bahwa warga menempati tanah negara, dan tidak punya hak sehingga harus pindah,” ujarnya.
“Kami kemudian menyarankan warga untuk menggugat pembongkaran tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur,” ujarnya lagi. Hingga saat ini, proses gugatan masih berjalan.
Apakah birokrasi pertanahan adil terhadap masyarakat?
Sementara itu, data Lembaga Bantuan Hukum (LBHJ) Jakarta menyebutkan, sepanjang Januari hingga Agustus 2015 saja, pasca peristiwa Kampung Pulo, terjadi 30 kali penggusuran paksa di seluruh Jakarta.
Menurut Matthew, jumlah penggusuran tahun ini bisa bertambah karena berdasarkan penelusuran LBH pada akhir tahun 2014, terdapat lebih dari 100 titik yang memiliki karakteristik yang sama dengan Bukit Duri dan Kampung Pulo.
Layanan dukungan buku LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy membenarkan hal tersebut. “LBH pernah membuat laporan dengan melihat anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), setiap ada kabar penguasaan tanah atau perencanaan pertanahan, selalu ada penggusuran di tempat itu,” ujarnya.
Permasalahan yang dihadapi warga sama seperti Kampung Pulo dan Bukit Duri, karena sertifikat bahasa Belanda atau jenis bahasanya tidak terdaftar di BPN.
Alldo menyebutnya sebagai “ketidakadilan birokrasi” karena rata-rata warga di tempat itu kesulitan mendaftarkan tanahnya ke Badan Pertanahan Nasional setempat. Misalnya, warga Kampung Pulo mengurus tanah tapi tidak diberi kesempatan, kata pengacara publik korban pemukulan Satpol PP saat penggusuran di Bukit Duri, Selasa lalu.
Warga berhak mendapatkan sertifikat tanah
Terkait sengketa lahan di bantaran Sungai Ciliwung, Matthew dan Alldo sepakat warga harus bisa menguasai lahan tersebut.
“Dari segi hukum, siapa pun yang menguasai tanah dengan itikad baik dapat menuntut hak atas tanah itu, mereka mempunyai akses,” ujarnya menjelaskan Pasal 1963 KUHPerdata.
Kemudian dalam Peraturan Pertanahan Negara No. 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa penduduk dapat memperoleh hak atas tanah sepanjang mereka mempertahankan tanah tersebut. “Hanya haknya yang bisa dimohonkan jika ia dapat menempati dan menguasai tanah tersebut dengan itikad baik setelah kurang lebih 30 tahun,” ujarnya lagi.
Dalam kasus Kampung Pulo dan Bukit Duri yang menempati tanah tersebut sebelum kemerdekaan, Matthew mengatakan mereka seharusnya mempunyai hak.
Badan Pertanahan Nasional harus menerbitkan sertifikat tanah bagi mereka. “Karena kalau tidak maka akan menjadi masalah struktural. “Negara sewaktu-waktu bisa mengambil tanah yang dikuasai warga,” ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA: