• September 22, 2024

Ruang aman perempuan di dunia maya

YOGYAKARTA, Indonesia – Sistem budaya patriarki masih menganut dan mengakar pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Perempuan, jika dilihat dari status sosialnya, merupakan warga kelas dua di antara laki-laki.

Bahkan, budaya Jawa yang memiliki sistem budaya patriarki yang kuat nampaknya mendukung status sosial tersebut dalam peribahasa-peribahasanya “surga mengikuti, neraka mengikuti” Artinya nasib perempuan ditentukan oleh laki-laki.

Apakah budaya patriarki kemudian menjadi penyebab kegagalan perempuan dalam mengambil posisi setara secara intelektual dan profesional? Ya. Ada garis diferensiasi yang kabur dalam budaya ini. Perbedaan sosial, politik dan ekonomi berakar pada struktur anatomi dan psikologis.

Perempuan Indonesia masih bergelut dengan pemikiran paradoks yaitu tetap memperjuangkan kesetaraan gender dan memberikan kebebasan bergerak, namun akar nilai-nilai tradisional masih kuat dan terus mengekang perempuan dan cenderung memposisikan mereka sebagai subordinat laki-laki.

Akibatnya, kesenjangan gender akan terus terjadi dalam kendali dan dominasi laki-laki dalam masyarakat. Perempuan akan selalu menjadi objek dan sering mengalami kekerasan, pelecehan seksual, penganiayaan, intimidasi, pemerkosaan dan pembunuhan. Keadilan ini dirasakan dan dipahami oleh masyarakat sebagai wujud eksistensi laki-laki dengan segala sikap dominasinya.

“Yang harus diwaspadai adalah jangan sampai hal itu terjadi budaya pemerkosaan sudah menjadi budaya di masyarakat Indonesia. Kita harus menjadi korban mendukung “Untuk melaporkan, jangan takut dengan stigma bahwa korban dianggap tidak bermoral dan disalahkan oleh masyarakat,” ujar Ashika Prajnya Paramitha, akademisi bidang studi sastra dan budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Di era digital Kekerasan terhadap perempuan berkembang dengan memanfaatkan akses terhadap teknologi atau yang sering disebut dengan teknologi kejahatan dunia maya. Perempuan seringkali menjadi korban kejahatan dunia maya. Produk budaya dan nilai-nilai tradisional mempengaruhi fenomena ini.

Menurut Komnas Perempuan, kekerasan berbasis siber merupakan kekerasan yang mengemuka, namun tidak dilaporkan dan tidak dilaporkan. Dampak kejahatan berbasis cyber hal ini dapat menghancurkan kehidupan seorang wanita, dia menjadi korban berulang kali, dan dapat berlangsung seumur hidup.

Bentuk baru kekerasan terhadap perempuan ini menjadi perhatian khusus bagi para pemangku kepentingan dan Pemerintah.

Kekerasan di dunia maya

Kekerasan di dunia maya meliputi penilaian digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual, penganiayaan baik online maupun offline, maraknya situs dan website prostitusi. on line berkedok agama—misalnya ayopoligami.com dan nikahsiri.com—, ancaman kriminalisasi terhadap perempuan pengguna UU ITE, serta rentannya eksploitasi seksual terhadap anak perempuan dan eksploitasi tubuh perempuan di dunia maya.

Komnas Perempuan mencatat 98 kasus tergolong dalam kejahatan dunia maya pada tahun 2017.

Pada tahun 2017, terdapat 65 kasus kekerasan siber yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Kekerasan yang dilaporkan beragam dan sayangnya dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka; pacar, mantan pacar dan suami. Kekerasan siber jenis ini dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam bentuk ancaman berbagi foto dan video pribadi, serta ancaman verbal.

Sifat dunia maya yang tidak terbatas menjadi ruang bebas bagi pelaku yang bahkan tidak mengenal korbannya secara pribadi. Seperti rekan kerja, supir taksi on linepengikut di halaman media sosial pribadi, dan bahkan orang yang tidak dikenal atau belum pernah ditemui, dapat menjadi pelaku karena mencari anonimitas.

Selain itu, kasus-kasus yang melibatkan orang asing berhasil menjadikan kekerasan siber menjadi kejahatan transnasional yang sangat membutuhkan perhatian pemerintah.

Berani berbicara

Kasus kekerasan di dunia maya mencuat karena keberanian korbannya untuk bersuara. Melalui pesan di akun Instagram, Via Vallen, penyanyi dangdut asal Sidoarjo, mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari seorang pesepakbola. Sang pemain meminta Via mengenakan pakaian minim untuk datang ke kamarnya.

Tak terima dengan pesan tersebut, Via membagikan pengalaman kurang menyenangkan tersebut di akun Instagramnya dan mendapat berbagai tanggapan, termasuk mendukungnya untuk mengungkapnya dan melaporkannya ke pihak berwajib. Namun, ada juga yang menganggapnya biasa saja dan mencari sensasi. Dalam kasus Via Vallen, kekerasan siber yang mereka alami adalah pelecehan seksual.

Kekerasan dunia maya dengan korban perempuan seringkali berkaitan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi. Selain yang disebutkan di atas, bentuk kejahatan dunia maya yang sering dilaporkan adalah penyebaran foto atau video pribadi di media sosial dan/atau situs pornografi, termasuk eksploitasi terhadap anak perempuan di halaman grup Facebook Official Lolly Candy 18+.

Kasus seperti ini biasanya mengagetkan masyarakat dan menambah beban psikologis korbannya. Kejahatan ini termasuk dalam klasifikasi konten ilegal (sumber: Gema, 2018) sebagai data atau informasi yang tidak etis, dapat melanggar hukum dan mengganggu ketertiban umum.

Dalam revisi UU ITE No. 19 Tahun 2016 Konten informasi seperti ini dianggap melanggar pasal 45 ayat 1 (penyebaran konten asusila) dan pelanggarnya dapat diancam hukuman pidana atau membayar denda.

“Penilaian” digital.

Komentar netizen menjadi beban psikologis bagi korban. Meski dalam konteks hukum di Indonesia sudah ada konstitusi yang mengaturnya, seperti UU ITE, namun komentar-komentar masih marak seperti perundungan, pembunuhan karakter, dan penghinaan.

Hal ini terlihat dari kasus yang santer diberitakan pada akhir tahun 2017 dimana seorang perempuan dituduh sebagai pemeran wanita dalam video hubungan seksual yang viral pada pertengahan Oktober 2017. Sejak kasus ini terungkap dan sampai ke pihak kepolisian, banyak permintaan pertemanan di akun media sosial pribadi wanita tersebut bahkan ada yang mengancam akan menyebarkan video tersebut lebih luas jika wanita tersebut tidak mau melakukan hubungan seksual dengannya.

Selain itu, ada juga yang membuat akun palsu untuk wanita tersebut lalu mengunggah pernyataan permintaan maaf seolah-olah memang benar pelakunya. Dampaknya, kepribadian dan keluarga perempuan ini menjadi tertekan dan diperparah lagi dengan adanya pemutusan kontrak kerja perempuan ini secara sepihak karena alasan etika padahal proses hukum masih berjalan.

Kemudian, komentar-komentar menghakimi dilontarkan pada unggahan Via Vallen di fitur Insta Stories Instagram tentang pelecehan yang diterimanya, bahkan dalam siaran langsung televisi. hidup, dianggap sebagai hal yang wajar bagi penyanyi dangdut.

Itu termasuk dalam kategori pencemaran nama baik secara online yang diartikan sebagai penghinaan atau fitnah, seolah-olah perempuan yang berprofesi sebagai penyanyi dangdut memang pantas untuk dilecehkan. Membentuk pencemaran nama baik secara online Bisa dijerat pasal 45(3) UU ITE tentang pencemaran nama baik dengan ancaman pidana atau denda.

Ada juga pengganggu berani dilakukan seperti pada tenaga medis di salah satu Rumah Sakit Umum Daerah. Korban mendapat ancaman akan dibunuh, dilempari batu, dibakar dan “disumpal dengan gagang cangkul”. Tak hanya di daerah, di ibu kota pada Pilkada 2017 juga terjadi ancaman, ujaran kebencian, dan hasutan untuk memperkosa perempuan. Teror verbal ini berbau ancaman terhadap perempuan pendukung salah satu calon di Pilkada DKI Jakarta.

Refleksi media sosial

Kekerasan terhadap perempuan semakin nyata ketika ada yang berani bersuara di media sosial. Di dunia nyata, masyarakat mungkin lebih peka dalam memilah tindakan fisik yang merupakan kekerasan terhadap perempuan, seperti pemukulan, pemerkosaan, atau pelecehan terhadap perempuan.

Namun, kekerasan di dunia maya memerlukan kepekaan dan literasi yang lebih besar untuk memahami dampak penyebaran informasi terhadap korban dan reproduksi budaya patriarki.

“Tegur orang yang melakukan pelecehan sekalipuntak kentara Apapun bentuknya, karena biasanya bentuk pelecehan terselubung ini paling banyak terjadi dan berhasil serta dianggap biasa saja, tegas Ashika.

Media sosial dan kemudahan aksesnya memberikan dampak negatif dengan meningkatnya kekerasan siber terhadap perempuan (CVAW). Kekerasan ini semakin merambah dan mengancam penggunanya. Penyebaran informasi di dunia maya sangat agresif. Informasi baik berupa gambar, tulisan, atau video pribadi bisa menjadi viral dalam sekejap dan diakses oleh jutaan pengguna internet dan media sosial di seluruh dunia. Dibutuhkan keberanian dan dukungan untuk bersuara dan melaporkan tindakan kekerasan di dunia maya.

Terdapat perbedaan konstruksi perempuan di media cetak dan media on line. “Konstruksi perempuan dalam majalah adalah untuk meneruskan peran perempuan dalam perekonomian dan masyarakat,” ujar Suzie Handajani, Ph.D. akademisi antropologi bidang kajian budaya dan media dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Di satu sisi, untuk mengenalkan masyarakat pada produk global, namun di sisi lain berupaya menjaga nilai di masyarakat. Dengan demikian negosiasi peran perempuan dilakukan karena perempuan berada pada titik persimpangan antara keduanya pergi ke seluruh dunia dan menghormati tradisi lokal dalam lingkup moralitas.

Indonesia mempunyai pekerjaan rumah yang serius dalam menangani kekerasan terhadap perempuan di dunia siber. Yang perlu diperhatikan adalah upaya serius di bidang hukum dan kebudayaan. Produk hukum dalam pengelolaan penggunaan internet harus memiliki dimensi pencegahan kekerasan terhadap perempuan yang detail dan tidak hanya fokus pada konteks pornografi.

Selain itu, budaya kewarganegaraan digital kesetaraan gender di media sosial harus dibangun. Artinya, norma kepantasan dan tanggung jawab harus diutamakan dalam sosialisasi dunia maya agar ruang aman perempuan di dunia maya tidak terkikis.

—Rappler.com

slot demo pragmatic