Strategi Pemerintah Mencegah Ideologi Radikal: Membangun Dialog di Kampus
- keren989
- 0
SOLO, Indonesia – Bahrun Naim masih menjadi orang yang paling dicari polisi terkait rangkaian aksi teroris di Indonesia, mulai dari bom Thamrin awal tahun 2016, bom Polres Solo, hingga bom periuk di Bekasi. Tak disangka, nama Bahrun Naim masuk dalam ‘alumni terkemuka’ Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Ketikkan kata ‘UNS’ di halaman Google dan lihat hasil pencarian di bagian atas. Selain rektor Ravik Karsidi, komedian berdiri Dodit Mulyanto, presenter berita Rory Asyari, dan putri Presiden Kahiyang Ayu, Bahrun Naim termasuk alumni yang paling terkenal.
Rektor pernah memberikan keterangan bahwa Bahrun Naim merupakan lulusan UNS dan kuliah di Fakultas MIPA, namun menolak anggapan bahwa universitas tersebut telah melahirkan sosok ekstremis, karena apa yang dilakukan para alumninya merupakan tanggung jawab dan tanggung jawab pribadinya. tidak terkait dengan UNS sebagai almamaternya.
Masuknya Bahrun Naim ke dalam daftar teroris nomor satu sudah menjadi setetes nila dalam panci susu – kecil namun menghancurkan – di tengah ambisi besar UNS untuk membangun citranya sebagai universitas kelas dunia. Satu alumni teroris rupanya mampu mengalahkan ratusan alumni lain yang berprestasi.
Munculnya pelaku teroris dari kalangan terpelajar tidak hanya terjadi di UNS, tetapi juga di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Dua mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Nur Solihin (keluar) dan Khafid (semester IX) terlibat kasus bom pot di Bekasi pada akhir tahun 2016.
Penangkapan dua orang yang diduga anggota jaringan Bahrun Naim mengejutkan publik. Pasalnya kelompok ini merencanakan aksi bom bunuh diri dengan melibatkan ‘pengantin’ perempuan, yakni Dian Yulia Novi yang tak lain istri kedua Nur Solihin yang baru menikah tiga bulan sebelumnya secara berantai.
IAIN, kampus di bawah Kementerian Agama yang punya sejarah mencetak ulama, nyatanya juga menjadi tempat baru untuk merekrut pelaku teroris. Pihak kampus membantah radikalisme merupakan produk kurikulum pendidikan Islam di universitas.
Jika menilik sejarahnya, IAIN atau UIN dikenal sebagai kampus yang melestarikan pemikiran Islam yang moderat dan toleran. Di universitas yang sebagian besar mahasiswanya merupakan lulusan madrasah aliyah ini tidak sesuai dengan model indoktrinasi dalam pengajarannya.
Tidak sedikit mahasiswa dan lulusan yang justru menjadi lebih liberal dan terbuka terhadap ide-ide lain di luar Islam, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan gender. Di Yogyakarta misalnya, UIN Sunan Kalijaga pernah mengadakan pemutaran film dan diskusi Kesunyian atau Tampilan Keheningan Karya Joshua Oppenheimer ditandai dengan protes organisasi massa anti-komunis di luar kampus.
Bahrun Naim, Nur Solihin dan Khafid adalah beberapa contoh dari banyaknya kasus radikalisme yang muncul dari kalangan terpelajar. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat, tidak kurang dari 21 persen pelaku aksi teroris menempuh pendidikan di perguruan tinggi, dan sekitar 5 persen di antaranya putus kuliah.
Keluar dari kampus
Maraknya generasi muda ekstremis dari kampus-kampus negeri menjadi tren baru karena pelaku teroris tidak lagi didominasi oleh kelompok Islam radikal dan organisasi Islam fundamentalis yang menganut ideologi anti-taghut dan terinspirasi oleh gerakan ‘jihad’ ala ISIS. Irak dan Suriah (ISIS). Teroris kini juga datang dari universitas-universitas yang menganut tradisi berpikir kritis.
Oleh karena itu, upaya deradikalisasi BNPT tidak lagi hanya terfokus pada asrama Islam dan penjara teroris saja, namun juga lebih proaktif dalam melakukan upaya pencegahan di perguruan tinggi negeri dan swasta. Salah satunya, lembaga antiterorisme yang merangkul lembaga dakwah kampus dan masjid di fakultas dan universitas untuk ikut memerangi pemikiran radikal.
“Kami mengajak lembaga dakwah kampus untuk aktif memantau dan mencegah kecenderungan radikalisme, misalnya ceramah yang mengarah pada penyebaran kekerasan atau kebencian di masjid kampus atau di fakultas,” kata Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen (Pol) Hamli kepada Rappler. . Terakhir kali sendirian.
“Mereka yang mengetahui lebih banyak tentang kejadian sehari-hari di kampus. Kalau ada yang tidak percaya pada teman atau negaranya, harus diurus,” imbuhnya.
Untuk memastikan bahaya ekstremisme menyusup ke kampus, BNPT juga mendatangkan Mustafa alias Abu Thalut – mantan narapidana terorisme kasus bom Hotel Marriot tahun 2002 yang kini telah berpindah agama. Ia sering dilibatkan BNPT untuk membicarakan terorisme. Abu Thalut menyampaikan pandangannya mengenai potensi perguruan tinggi sebagai wadah berkembangnya ideologi radikal.
UNS sejatinya merupakan salah satu kampus negeri yang sungguh-sungguh berupaya menjaga keberagaman dan toleransi di kalangan sivitas akademika, khususnya mahasiswanya yang memiliki latar belakang beragam. Universitas ini merupakan satu-satunya di Indonesia yang memiliki empat bangunan ibadah dalam satu kompleks, yakni masjid, gereja, pura, dan vihara yang semuanya berdiri bersebelahan.
“Kalau UGM disebut kampus Pancasila, maka UNS adalah benteng Pancasila. “Semua agama mempunyai tempat ibadah di kampus yang berdekatan, untuk menjamin kebebasan beragama dan mengajarkan praktik toleransi,” kata Wakil Rektor III Darsono.
Padahal, kebebasan berpakaian sesuai keyakinan dijamin di kampus ini. Belum lama ini, Rektor PBB mencabut surat edaran Dekan Fakultas Pertanian yang menuai kontroversi karena mewajibkan setiap mahasiswanya berpakaian pantas dan memperlihatkan wajahnya – aturan yang dibuat bagi mahasiswi muslim yang bercadar.
“Selain itu, mahasiswa juga harus banyak melakukan aktivitas di kampus yang memungkinkan mereka berbaur dengan beragam kelompok,” kata Darsono.
Universitas ini juga mendukung sikap pemerintah yang membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan mengeluarkan larangan terhadap kegiatan kemahasiswaan yang terindikasi berkaitan dengan ideologi yang dilarang pemerintah yaitu khilafah dan komunisme.
Sementara itu, IAIN Surakarta yang lebih terbuka terhadap berbagai mazhab dan mazhab memilih mengedepankan dialog sebagai upaya meredam munculnya benih-benih radikalisme di kampus. Melalui tradisi dialog dan diskusi yang kuat, siswa diharapkan memiliki pandangan yang lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan.
Berlokasi di Kartasura, kampus ini telah bekerjasama dengan Kedutaan Besar Iran untuk membuka Iran Corner di kampusnya. Namun rencana tersebut batal setelah terjadi protes dan maraknya ormas anti Syiah yang menuding Iran Corner sebagai tempat menyebarkan doktrin Syiah yang dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pertengahan tahun lalu, OSIS IAIN Surakarta juga kembali menggelar diskusi dan bedah buku Islam, Tuhan, Islam, Manusia dengan penulis, Haidar Bagir. Ormas anti-Syiah – yang perwakilannya menolak hadir sebagai pembicara dan menjadi moderator diskusi – menuduh penulis buku tersebut adalah tokoh Syiah Indonesia, sehingga membatalkan diskusi tersebut. Namun acara bedah buku tetap berjalan dan dipadati ratusan mahasiswa karena dijaga polisi dan tentara yang berjaga sejak dini hari.
“Kami selalu berusaha menjadikan kampus sebagai ruang dialog yang terbuka terhadap berbagai pemikiran keislaman, sehingga mahasiswa belajar berpikir kritis dan tidak terjebak pada konsep penafsiran agama yang tunggal,” kata Rektor IAIN Mudofir.
Upaya meredam radikalisme juga dilakukan dengan memberikan dukungan terhadap gerakan Ayo Mondok. IAIN Surakarta menjadi tuan rumah pertemuan regional pesantren di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada Oktober lalu. Kampus ini membantu memasyarakatkan hunian Islam sebagai tempat pendidikan Islam moderat yang berperan dalam menumbuhkan rasa cinta tanah air sebagai pelindung dari radikalisme.
Menyebar melalui dunia maya
Namun, apakah upaya mulai dari mengajarkan toleransi hingga membuka ruang dialog tersebut benar-benar efektif menekan benih-benih radikalisme?
Menurut mantan terpidana kasus pelatihan militer di Aceh Yudi Zulfahri yang juga alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), efektivitas deradikalisasi bergantung pada banyak faktor, salah satunya adalah sejauh mana upaya tersebut dilakukan. dapat mempengaruhi pola pikir, karena radikalisme erat kaitannya dengan ideologi.
Selain itu, radikalisme saat ini lebih banyak menyebar melalui dunia maya, begitu pula pengalamannya mempercayai ideologi radikal setelah mempelajari dan menelan apa yang dipelajarinya di internet. Mantan narapidana yang divonis lima tahun penjara ini baru menyadari bahwa apa yang diyakininya – ideologi Islam kekerasan – adalah salah setelah bertemu dengan narapidana bom Bali Ali Imron dan berdiskusi tentang Islam dan jihad selama dua tahun.
Meski demikian, Yudi tetap menganggap deradikalisasi di kalangan generasi muda penting, setidaknya untuk mencegah penyebaran langsung di kampus. Sementara itu, pemerintah harus mencari pendekatan lain agar penganut ideologi kekerasan sadar dan mau berubah. – Rappler.com