• November 24, 2024
Saat polisi ‘alergi’ membahas Siyono

Saat polisi ‘alergi’ membahas Siyono

JAKARTA, Indonesia— Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Haris Azhar baru saja memulai pemaparannya pada diskusi meja bundar dengan tema tersebut Memberdayakan para penyintas, memperkuat akuntabilitas atas penyiksaan yang diadakan di Hotel Luwansa, pada Rabu, 6 April.

Haris menjelaskan kasus terbaru yakni penyiksaan yang dilakukan Seksi Khusus 88 (Densus 88) terhadap terduga teroris Siyono.

Siyono ditangkap Densus 88 di Desa Pogung, Cawas, Klaten. Beberapa hari kemudian, dia dinyatakan meninggal selama penyelidikan. Kematiannya diduga tidak wajar karena hasil otopsi menunjukkan adanya bekas luka dan lebam akibat kekerasan.

Namun pemaparan Haris tiba-tiba dipotong oleh AKBP M Sabri, perwakilan Humas Mabes Polri. “Tidak perlu dibahas, fokus saja pada pembahasannya,” ujarnya.

Menurut Sabri, permasalahan Siyono dibahas tuntas oleh Humas Mabes Polri di televisi, surat kabar, dan portal media.

Haris juga menjelaskan, kasus tersebut masih terkait dengan seminar. Namun ia kemudian melanjutkan presentasinya.

Peserta dan pembicara lainnya juga meminta agar tidak ada yang berkelahi dalam seminar tersebut. “Kita semua belajar dari satu sama lain,” kata salah satu pembicara.

Mengapa polisi enggan membahas kasus Siyono?

Sabri menjelaskan kepada Rappler, polisi tidak bisa membahas kasus yang belum dibawa ke pengadilan dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Alhasil, ia menolak membuka kasus Siyono untuk dibahas di forum tersebut.

“Kalau kita punya konteks di sana (Siyono), saya kira tidak ada pertanyaan lagi. “Karena menurut undang-undang keterbukaan informasi publik tidak bisa dibicarakan di forum,” ujarnya.

Dari penelusuran Rappler tentang hukum, seperti disampaikan Sabri, terdapat klausul yang melarang pemberian informasi kepada masyarakat.

Salah satunya disebutkan dalam Bab V Pasal 17 tentang informasi yang dikecualikan. Artikel itu berbunyi:

Setiap Badan Publik wajib membuka akses kepada setiap pemohon informasi publik untuk memperoleh informasi publik, kecuali:

  • Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakan hukum adalah informasi yang dapat menghambat proses penyidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.
  • Mengungkap identitas pelapor, pelapor, saksi dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana.
  • Mempublikasikan data dan rencana intelijen kriminal terkait pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional
  • Membahayakan keselamatan dan nyawa aparat penegak hukum dan/atau keluarganya serta membahayakan keamanan alat, sarana dan/atau prasarana penegakan hukum. Anda dapat membaca lebih lanjut Di Sini.

Tapi apakah itu benar?

Puri Kencana Putri, Wakil Koordinator KontraS, mengatakan kasus Siyono menarik untuk dikaji lebih jauh dari konteks penyiksaan yang dialaminya. Sebab, selain penangkapan sewenang-wenang tanpa surat perintah penahanan, hasil otopsi juga menunjukkan adanya bekas kekerasan pada tubuh pemuda asal Klaten tersebut.

Dan kasus penyiksaan terhadap tersangka teroris ini tidak terjadi sendirian. Andika dan Hamzah antara lain.

Investigasi Rappler mengungkap kasus Andika dan Hamzah yang disiksa Densus 88 rata-rata oleh Pusat Studi dan Aksi Islam (ISAC).

Sekretaris ISAC, Endro Sudarsono saat itu mengatakan, kasus penyiksaan tersebut terungkap dari pengaduan orang tua Andika Bagus Setyawan kepada ISAC.

Para orang tua menjelaskan, kondisi siswa kelas 2 MAN Jamsaren yang dianggap Densus terlibat jaringan teroris semakin memburuk.

Saat orang tua Andika menjenguk anaknya, mereka mendapati anaknya dalam keadaan yang sangat mengenaskan.

Saat ditanya, Endro mengatakan, Andika tak mau menceritakannya. Namun jika dilihat dari ciri fisik Andika, anak di bawah umur tersebut terlihat jelas mengalami kekerasan.

Sementara untuk Hamzah, kata Endro, dari informasi yang diperoleh ISAC, ia tampak tidak bisa berjalan dan terpaksa merangkak karena Hamzah mendapat kekerasan fisik selama pemeriksaan.

Meski buktinya jelas, kasus-kasus di atas belum bisa diusut tuntas. Karena ada sumber hukum di Indonesia yang mengatakan setiap cara yang dilakukan penegak hukum tidak bisa dijadikan alat bukti, kata Putri.

“Mereka masih menganggap kami bisa mengumpulkan informasi secepat mungkin, sehingga bisa kami bawa ke pengadilan secepat mungkin,” ujarnya.

Putri juga melihat pasca sidang bom Bali dan tokoh Ponpes Ngruki Abu Bakar Baasyir, tidak ada lagi persidangan terhadap teroris.

Jadi masyarakat, kata dia, harus mendiskusikannya untuk mempertanyakannya.

Tapi Pak Sabri (polisi) juga berhak tidak menjawab, ujarnya.

Meski demikian, Putri mengatakan pembahasan tersebut tetap penting untuk melakukan evaluasi terhadap aparat yang melanggar hukum, selain Irwasum, Badan Audit Internal Polri, dan Komisi Kepolisian Nasional.

Menurut Putri, kasus penyiksaan yang dilakukan Densus 88 tersebut tidak bisa dijawab dengan memberikan ganti rugi berupa uang. Apalagi saat nyawa melayang.

Densus 88 menerapkan standar ganda?

Putri pun mengingatkan, ini bukan kali pertama Densus membuka diri kepada publik. Ia mengaku ikut serta dalam operasi Densus 88 di Sumut pada tahun 2010 bersama Gores Mere, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme saat itu.

“Kenapa banyak sekali jurnalis, bahkan ada satu stasiun yang menayangkan operasi tersebut. Mereka bisa berdiri di atas truk Densus. “Saya takjub saja saat melihatnya dari bawah,” kata Putri.

Dari situ, Putri menganalisis Densus masih menerapkan standar ganda dalam keterbukaan informasi kepada publik. “Dulu operasi itu disiarkan, vulgarnya operasi itu diperlihatkan, tapi dalam kasus ini (Siyono) tidak dibicarakan, bukankah itu standar ganda?” dia berkata. —Rappler.com

BACA JUGA

Data Hongkong