• November 24, 2024

Yang lahir dari tatap muka Kim dan Trump

JAKARTA, Indonesia—Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Pemimpin Tertinggi Korea Utara (Korut) Kim Jong-un akan menggelar pertemuan tatap muka di Singapura, Selasa, 12 Juni 2018. Dalam pertemuan tersebut keduanya dikabarkan membahas denuklirisasi Semenanjung Korea dan upaya rekonsiliasi antara Korea Selatan dan Korea Utara.

Pertemuan tersebut merupakan kelanjutan dari pertemuan antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Kim Jong-un di Peace House yang terletak di kawasan Zona Demiliterisasi Panmunjeom, pada 27 April 2018. Pertemuan Kim dan Moon saat itu berujung pada Panmunjeom Pernyataan.

Isi pernyataan tersebut sedikit banyak menyepakati perlunya langkah nyata kedua negara untuk menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea. Usai pertemuan Panmunjeom, delegasi Korea Selatan, Korea Utara, dan Amerika kemudian ‘bergerak’ mempersiapkan pertemuan antara Trump dan Kim.

Mengapa Singapura?

Singapura dipilih sebagai lokasi pertemuan Trump dan Kim karena negara tersebut dinilai netral dan tidak bisa dikendalikan oleh negara mana pun. Selain itu, negara kota di kawasan Asia Tenggara ini juga dinilai sebagai negara aman. Menurut situs analisis risiko SafeAround, Singapura adalah negara teraman keenam di dunia.

Hal lain yang dipilih Singapura sebagai lokasi pertemuan tersebut merupakan pengalamannya menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi yang bernuansa sensitif. Pada bulan November 2015, misalnya, Singapura menjadi tuan rumah pertemuan antara Presiden Republik Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Taiwan saat itu Ma Ying-jeou. Ini adalah pertama kalinya para pemimpin tertinggi Tiongkok dan Taiwan bertemu setelah berakhirnya perang saudara pada tahun 1949.

Siapa saja yang terlibat dalam pertemuan tersebut?

Sejumlah partai pun menjadi pembuat kesepakatan dalam mengatur pertemuan antara Trump dan Kim di Singapura. Salah satu orang yang paling berkontribusi dalam pertemuan bersejarah ini tak lain adalah Presiden Korea Selatan Moon Jae-in. Sejak tahun lalu, Moon telah berulang kali meminta Kim Jong-un kembali ke meja perundingan untuk membahas nasib nuklir Korea Utara. Usai pertemuan Panmunjeom, Moon langsung berangkat ke AS untuk membahas rencana pertemuan lanjutan antara Kim dan Trump.

Di kubu AS, sejumlah nama menjadi aktor kunci dalam mewujudkan pertemuan ini. Dua di antaranya adalah Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton. Beberapa pekan lalu, Pompeo bahkan terbang langsung ke Korea Utara untuk bertemu dengan Kim. Di Singapura, Pompeo dan Bolton juga dikabarkan mendampingi Trump.

Di kubu Korea Utara, wakil ketua Partai Pekerja Korea Utara, Kim Yong Chol, adalah salah satu pembuat kesepakatan. Pekan lalu, Yong Chol mengunjungi AS dan bertemu langsung dengan Trump. Menurut para analis, kunjungan Yong Chol ke AS merupakan upaya Kim Jong-un untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia serius dalam merundingkan langkah perdamaian di Semenanjung Korea.

Sedangkan di Singapura, KTT AS-Korea Utara akan diawali dengan pertemuan tatap muka antara Trump dan Kim di Hotel Capella, Pulau Sentosa, pada Selasa, 12 Juni 2018. Keduanya pertama-tama akan bertemu secara tatap muka dalam sesi tertutup, sebelum pertemuan yang lebih besar dengan para penasihat utama. Bisa jadi dua hari. Mereka akan berbicara selama diperlukan,” kata seorang pejabat senior Gedung Putih seperti dikutip AFP.

KTT kemudian akan dilanjutkan dengan serangkaian pertemuan resmi dan diskusi delegasi kedua negara. Sebelumnya, baik Trump maupun Kim bertemu dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

BERSEJARAH.  Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un berjabat tangan menjelang KTT bersejarah AS-Korea Utara di Hotel Capella, Pulau Sentosa, Singapura, Selasa 12 Juni 2018. Foto oleh Saul Loeb /AFP

Simak momen pertemuan Trump dan Kim melalui video di bawah ini:

Apa hasil yang diharapkan dari pertemuan Kim dan Trump?

Meski diliputi pandangan skeptis, Trump dan Kim akhirnya menggelar pertemuan tatap muka di sebuah hotel di Singapura, Selasa 12 Juni 2018. Sebelum pertemuan, keduanya sempat berjabat tangan dalam sesi pemotretan. Trump dan Kim juga memberikan pernyataan pers kepada wartawan.

“Jalan menuju pertemuan ini tidak mudah. Prasangka dan praktik lama di masa lalu menjadi hambatan bagi kami untuk bergerak maju, namun kami semua mampu mengatasinya dan akhirnya kami ada di sini, kata Kim kepada wartawan seperti dikutip AFP.

“Itu benar,” kata Trump yang duduk di sebelah Kim pada konferensi pers.

Trump sebelumnya sesumbar bahwa dia akan mengetahui kemungkinan kesepakatan AS-Korea Utara pada menit pertama dia bertemu Kim. Faktanya, hingga saat ini kubu Pyongyang belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai rencana konkrit mereka dalam proyek denuklirisasi Semenanjung Korea. Di sisi lain, istilah denuklirisasi yang tertuang dalam Deklarasi Panmunjeom juga mempunyai batasan yang jelas.

“Pertemuan dengan staf dan perwakilan (Korea Utara) berjalan lancar. Namun pada akhirnya hal itu tidak berarti banyak. “Kami akan tahu apakah kesepakatan nyata, tidak seperti di masa lalu, dapat dicapai,” tulis Trump di Twitter sebelum berangkat ke ruang pertemuan.

Dalam percakapan tatap muka selama 38 menit dengan Kim, keraguan Trump akhirnya terjawab. Usai pembicaraan, keduanya sepakat untuk menandatangani dokumen yang disebut Trump sebagai perjanjian komprehensif untuk denuklirisasi Semenanjung Korea.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua belah pihak, termasuk Menteri Pompeo (Menteri Luar Negeri AS). Sungguh luar biasa. “Kami sangat bangga dengan apa yang terjadi hari ini,” kata Trump kepada media sambil menunjukkan dokumen yang ditandatangani keduanya.

Selain denuklirisasi, kantor berita Korea Utara KCNA sebelumnya memberitakan bahwa kedua kubu akan membahas berbagai pandangan dan langkah untuk meningkatkan hubungan kedua negara. “Pembahasan akan fokus pada isu pembangunan mekanisme perdamaian permanen dan jangka panjang di Semenanjung Korea, isu realisasi denuklirisasi Semenanjung Korea dan isu-isu lain yang mempengaruhi kepentingan kedua negara,” tulis KCNA.

Jika benar-benar terwujud, denuklirisasi Semenanjung Korea Utara akan menjadi pencapaian besar bagi Trump. Pasalnya, Korea Utara selalu menolak upaya pelucutan senjata nuklirnya. KCNA kerap menyebut denuklirisasi di Semenanjung Korea harus berjalan beriringan dengan langkah AS menggerakkan ‘payung nuklir’ Paman Sam yang selama ini diperluas untuk melindungi Korea Selatan dan Jepang.

Apa kata para analis?

Sejumlah pakar menilai pertemuan Trump dan Kim merupakan peristiwa bersejarah yang langka. Asisten profesor Rajaratnam School of International Studies (RSIS) di Singapura, Evan Resnick, bahkan menyebut pertemuan tersebut merupakan sebuah langkah maju yang patut diapresiasi. Pasalnya, pertemuan seperti itu bahkan sempat dianggap mustahil pada beberapa bulan lalu.

“Skenario terburuknya adalah melakukan perang yang tidak perlu melawan Korea Utara yang akan memakan korban puluhan atau bahkan ratusan ribu nyawa. “Hal lain selain itu adalah hasil yang lebih baik,” kata Resnick seperti dikutip Al Jazeera.

Sedikit berbeda, pakar negosiasi INSEAD Singapura, Horacio Falcao, menilai Korea Utara tidak akan mampu memenuhi tuntutan AS. Padahal, menurut dia, dengan keputusan politik yang tegas, dibutuhkan waktu hingga 15 tahun untuk melakukan denuklirisasi secara menyeluruh.

“Korea Utara tidak mungkin melakukan denuklirisasi sepenuhnya saat ini dan berharap aman dari presiden yang pernah mengatakan ‘mereka akan menghujani api dan kekerasan di tanah Anda’. “Presiden sebuah negara yang menyebut Anda setan selama dua puluh lima tahun terakhir,” katanya.

Trump mengatakan beberapa bulan lalu bahwa dia akan menghancurkan Korea Utara jika negara itu tidak kembali ke meja perundingan. Dia bahkan menyebut Kim sebagai ‘manusia roket kecil yang melakukan misi bunuh diri’. Di sisi lain, Kim pernah menyebut Trump gila dan ‘siap melawan AS dengan api’.

—dengan laporan dari AFP/Rappler

sbobet wap