Mengungkap awal mula keluarnya jenazah yang tidak didoakan
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Samar-samar suara salat mulai terdengar sekitar pukul 9 malam. Puluhan tamu mulai meninggalkan gang sempit di Jalan Karet Karya II, tempat mereka berkumpul sebelumnya Tahlilan.
Hari itu hampir seminggu setelah Hindun, 77 tahun, meninggal dunia. Namanya menjadi perbincangan banyak orang karena kabar jenazahnya ditolak untuk disalat di musala. Alasannya diyakini karena ia memilih Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat pada putaran pertama Pilkada Jakarta 15 Februari lalu.
Neneng, putrinya yang berusia 46 tahun, tampak kelelahan saat ditemui Rappler dan sejumlah awak media lainnya. “Hentikan, aku capek banget,” ucapnya saat ditanya wartawan soal isu seputar keluarganya.
Hari itu ia sangat sibuk karena sejumlah tokoh penting datang ke rumahnya untuk menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya ibunya sekaligus mengklarifikasi permasalahan yang sedang terjadi. Pukul 09.00 Ahok datang berkunjung bersama sejumlah stafnya.
Saya doakan jalan menuju makam Bu Hindun bisa dibersihkan, kata Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu. Ia hanya berkunjung sekitar 30 menit saja, namun cukup membahas banyak hal, termasuk soal tempat tinggal Neneng dan keluarganya.
Ia sendiri jarang bicara saat ditanya soal pembuangan jenazah Hindun yang turut menyeret namanya. Kepada media, dia mengatakan, pemberitaan ini tidak boleh dipolitisasi atau diperluas.
Malam harinya, sekitar pukul 19.30, Djarot diduga menghadiri acara tersebut Tahlilan Belakang. Namun ternyata ia berhalangan hadir dan diwakili oleh istrinya, Happy Fatima. Hadir juga anggota partai pengusung Ahok-Djarot, sejumlah relawan yang mengenakan atribut kotak-kotak, dan perwakilan GP Ansor.
Happy mengaku kehadirannya untuk mengklarifikasi isu yang beredar dan mendapat jawaban memuaskan. “Tadi pihak keluarga kembali menjelaskan bahwa tidak benar masyarakat tidak menerima. Buktinya, hari ini, malam ini, acaranya, acara almarhum, warga sangat antusias. Sangat sibuk, sangat penuh. Artinya penerimaan, bukan penolakan, ujarnya.
Setelah mati
Neneng sendiri sepertinya malas membahas persoalan ini. “Ini bukan soal tidak salat, tapi soal tempatnya. Itu sudah cukup,” katanya.
Ia mengaku enggan berkomentar banyak karena tak ingin kisahnya dipolitisasi. Menurutnya, dirinya sebenarnya menerima kejadian ibunya tidak salat di musala. Namun, setelah ibunya dimakamkan, terjadi sesuatu yang membuat amarah keluarga Hindun memuncak.
Yeni, keponakan Neneng, tiba-tiba mengirimkan pesan WhatsApp bertuliskan: “PENGUMUMAN. “Kami sejak lama para Habaib, Kyai, Ustadz, Ustadzah se-DKI sudah menyatakan MENOLAK menghadiri segala acara silaturahmi/acara/maulid dll di kampung-kampung yang warganya menang Ahok (lihat daftar TPS yang dimenangkan Ahok)”
Lebih lanjut, deklarasi ini diklaim berlaku hingga putaran kedua pilkada pada 19 April mendatang. Di dalamnya juga terdapat sejumlah ayat yang dikatakan mendasar, dan pesannya ‘sebarkan agar umat Islam memahaminya’.
“Kami semua terluka, ya. Untuk ibuku TIDAK Ya, mengirim pesan seperti ini. Awalnya asik, mengganggu otak saya dan kakak-kakak. “Itu maksudnya sindiran ibuku,” ucapnya. Namun, dia meminta keponakannya itu tidak membalas pesan tersebut, pesan kurang menyenangkan ini pun ditambahkan ke dalam laporan meme pocong yang ‘menyatakan penyesalan karena tidak mengikuti al-Maidah 51.’
Saat diperiksa lebih lanjut, diketahui pengirimnya adalah guru Abai, anak Yeni, yang bersekolah di Bunda PAUD. Jaraknya pun tak jauh dari rumah Neneng dan keluarganya, hanya sekitar 500 meter.
Menurut dia, guru yang dimaksud adalah istri petugas TPS yang membawa surat suara ke Hindun. Karena sakit, ia tidak bisa berjalan ke TPS, sehingga surat suara dibawa pulang, dan suaranya dilihat oleh petugas.
Neneng menegaskan, ibunya tidak pernah bersuara lantang menjadi pendukung Ahok, apalagi menjadi tim sidang. Kabar pemilihan calon gubernur yang dipilih ibunya diduga bocor dari kejadian tersebut.
Kisah pesan singkat kepada meme Hal itu kebetulan didengar kakak Neneng yang juga seorang jurnalis saat berkunjung. Ia langsung emosi dan mengatakan bahwa kejadian ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
“Dari situ mulai banyak jurnalis yang datang ke sini,” kata Neneng. Menurut dia, Yeni mengatakan, pengirim pesan singkat dan gambar pocong itu tiba-tiba berubah sikap, seolah belum pernah melakukannya.
Saat ini Neneng dan keluarga belum mau bicara banyak soal kejadian tersebut. Meski demikian, ia bersyukur atas curahan dukungan tersebut. “Yang pasti akan ada kedamaian bagi ibu saya,” ujarnya.
Hanya salah paham
Rappler kemudian mencoba mengkonfirmasi kepada sejumlah warga lainnya tentang pesan singkat ancaman tersebut. Sofyan, mantan Ketua RT 09 tempat tinggal Neneng, mengaku belum ada warga lain yang melaporkan hal serupa.
“Sejauh yang saya tahu, tidak ada seorang pun (yang menerima pesan singkat itu). “Saya baru dengar (Yeni) juga,” ujarnya.
Namun Sofyan mengaku bingung kenapa ada warga yang tega mengirimkan foto tak sedap atau pesan provokatif. “Wajar saja, sebagai orang yang beriman TIDAK akan terjadi,” katanya.
Pasca kejadian itu, keluarga mendiang Hindun semakin tertutup. Putranya sudah tidak lagi mengaji di musala, padahal dulu rajin ikut.
Ia mengatakan kejadian ini hanyalah ‘kesalahpahaman’. Bahkan, kata mereka, jenazah Hindun masih didoakan di rumahnya dan ada beberapa warga yang hadir.
Abdul Rachman, Ketua RT 09, mengatakan tidak pernah ada perpecahan di antara warganya, dan gotong royong antar warga sangat kuat. “(Spanduk) belum pernah dipasang di sini,” ujarnya.
Pantauan Rappler, musala Mu’minun yang terletak tak jauh dari Karet Karya II itu tidak digantungi spanduk bertuliskan ‘tolak salat jenazah pemilih kafir’. Namun, seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengatakan spanduk tersebut tidak pernah dipasang.
Pengelola musala, Ustad Syafii pun membenarkan adanya spanduk tersebut pada pemberitaan sebelumnya. Sayangnya, dia tidak ada di rumah saat Rappler mencoba menemuinya untuk meminta konfirmasi.
Dengan kedatangan Ahok dan sejumlah relawan serta pendukungnya, kontroversi jenazah Hindun bisa dikatakan mencapai titik akhir; meski kasus serupa masih berpotensi terulang kembali. Di gang belakang Karet, masih terpampang spanduk ‘jangan masuk ke jenazah pendukung dan pembela penodaan agama’. Belum lagi temuan di sejumlah bidang lainnya.
Sejumlah organisasi pemerintah berani bertindak tegas, seperti Pemprov DKI Jakarta yang memerintahkan pencopotannya; polisi yang mengancam pemasang spanduk dengan tuntutan pidana; hingga organisasi keagamaan seperti MUI dan GP Ansor yang mengkritik penolakan salat jenazah.
Pilkada DKI Jakarta hanya akan berlangsung hingga April atau Mei mendatang. Namun kekeluargaan dan keakraban antar tetangga, keluarga dan sesama WNI tetap langgeng. Jangan sampai kewarasan Anda rusak hanya karena politik –Rappler.com