Daur ulang dan tanggul raksasa bukanlah solusi
- keren989
- 0
Sejumlah permasalahan justru akan muncul jika kedua proyek tersebut berjalan.
JAKARTA, Indonesia – Penolakan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno terhadap mega proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta menuai kontroversi tersendiri. Bahkan perdebatan pun meluas hingga ke tembok laut raksasa yang saat ini tengah dibangun.
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menegaskan menolak pembangunan pulau palsu yang tidak diperuntukkan bagi kepentingan umum di Teluk Jakarta dan pembangunan tanggul raksasa yang akan menutup Teluk Jakarta. Mereka melihat ada sejumlah permasalahan yang akan muncul jika kedua proyek tersebut berjalan.
“Para ahli telah berbicara di media massa dan diskusi publik mengenai alasan ilmiah mengapa reklamasi dan tanggul raksasa bukan solusi bagi Teluk Jakarta, namun justru mengandung banyak permasalahan,” kata Marthin Hadiwinata dari KNTI dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 18 Mei. 2017 .
Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain perubahan kepemilikan wilayah pesisir dari pemerintah menjadi swasta; peningkatan sedimentasi yang menyebabkan banjir dan polusi yang lebih buruk; biaya ekonomi dan sosial yang tinggi untuk kepentingan komersial; tertutupnya akses bagi nelayan untuk menangkap ikan; serta terkikisnya kondisi lingkungan di area tempat pasir dikeruk untuk keperluan daur ulang.
“Perempuan pesisir dan perempuan nelayan terkena beban yang berlipat ganda dan berlapis akibat pembangunan yang tidak memperhatikan kesetaraan gender,” kata Marthin. Saat ini, proses pembangunan tanggul tersebut tengah berjalan di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dengan target sepanjang 20 kilometer dengan anggaran Rp 10 triliun.
Hingga Maret 2017, total pekerjaan yang telah selesai sepanjang 4,5 kilometer dan ditargetkan selesai pada 2018. Tanggul tersebut terletak di Kelurahan Muara Baru, Jakarta Utara, dan berlanjut hingga Kelurahan Kali Baru.
Koalisi kemudian mendesak pemerintah memperbaiki kondisi lingkungan ekosistem perairan pesisir Teluk Jakarta. Mereka harus memperbaiki pengelolaan air dan 13 sungai limbah padat dan cair secara bertahap, termasuk menghentikan privatisasi pengelolaan air di Jakarta, sekaligus mengatasi kebutuhan dan dampak khusus yang dialami perempuan.
“Para ahli telah menghitung bahwa metode ini akan lebih berkelanjutan dan menguntungkan dalam jangka panjang dari perspektif ekonomi maritim. “Sebagai bagian dari perbaikan lingkungan di Teluk Jakarta, hutan bakau yang sudah sangat berkurang harus ditanami kembali,” kata Marthin.
Tak lupa, mereka menyerukan agar penyebaran informasi berbasis sains seperti kajian lingkungan hidup dibuka untuk umum. Dengan cara ini, masyarakat memiliki dasar yang terverifikasi dalam menentukan perlu atau tidaknya daur ulang.
Koalisi, lanjut Martin, sangat terbuka untuk berdiskusi dengan penyelenggara dan pihak-pihak yang berkepentingan mengenai masalah ini. Namun, setiap orang diminta untuk fokus pada hal-hal penting yaitu lingkungan hidup dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
“Namun, kami menolak isu daur ulang yang didorong untuk tujuan politik praktis atau untuk mendorong prasangka,” katanya.
Mengapa ini perlu?
Sebelumnya, Staf Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Firdaus Ali mengatakan daur ulang diperlukan untuk kepentingan Jakarta. Pertama, mengatasi penurunan permukaan tanah, banjir, dan pada akhirnya pemekaran wilayah.
Menurut Firdaus, ibu kota saat ini terancam kekurangan lahan untuk menampung jumlah penduduk yang terus meningkat. Populasi yang berjumlah hampir 13 juta orang harus berbagi tanah seluas 662 kilometer persegi. Pembangunan daerah tidak bisa dilakukan ke arah selatan, timur atau barat karena akan terjadi konflik dengan daerah lain.
“Karena Bekasi tidak mungkin kasih sejengkal pun, apalagi Tangerang. “Peluang seperti itu terbentang di hadapan kita di lautan,” katanya.
Penurunan tanah tidak bisa dianggap ringan. Jika dibiarkan, 13 sungai di Jakarta tidak akan mampu mengalirkan airnya ke laut dan berujung pada banjir. Belum lagi ancaman naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Karena tidak mungkin menaikkan permukaan tanah, maka cara terbaik adalah dengan menurunkan permukaan air laut.
Saat ini beberapa wilayah di Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut atau disebutnya minus. Misalnya, kawasan Vismark saat ini berada 156 sentimeter di bawah permukaan laut.
Adapun sistem pemompaan yang menurutnya juga memakan biaya besar hingga Rp 60 triliun, tidak berdasar. “Dari mana asalnya? “Pompanya hanya saat hujan, tidak terlalu besar,” ujarnya.
Menurut dia, reklamasi dan pembangunan tanggul dapat menjadi salah satu cara mengatasi permasalahan keterbatasan lahan sekaligus memulihkan ekosistem Teluk Jakarta yang tercemar.
Ia juga menanyakan apakah ada cara lain yang lebih baik untuk mengalihkannya ke pemerintah pusat. “Jika ada cara lain, silakan sampaikan,” ujarnya. —Rappler.com