Militer tidak hanya menganiaya kelompok etnis Rohingya di Myanmar
- keren989
- 0
BANDA ACEH, Indonesia – Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia Burma (BHRWG) Kyaw Win mengatakan akar permasalahan yang terjadi di Myanmar adalah karena adanya penganiayaan terhadap kelompok minoritas. Namun yang teraniaya bukan hanya warga Rohingya yang beragama Islam, namun juga etnis minoritas lainnya, bahkan masyarakat yang beragama Budha.
“Militer juga melakukan penganiayaan terhadap umat Buddha. Mereka juga diburu dan dibunuh. Bahkan, anak-anak yang baru lahir pun dibunuh, kata Kyaw saat berbicara pada Konferensi Internasional di Aceh, Selasa, 12 September.
Konferensi tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu, para pembicara ingin menyarankan agar Myanmar dapat belajar dari Aceh dalam menyelesaikan konflik, karena provinsi tersebut sebelumnya juga pernah mengalami situasi serupa.
Proses penganiayaan terhadap etnis Rohingya sangat sistematis. Strategi mereka diterapkan pada suku-suku di Myanmar.
“Misalnya, umat Islam tidak boleh menjadi anggota tentara, polisi, duduk di pemerintahan, menjadi wirausaha, dan tidak boleh melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Kalau ini terjadi sejak tahun 1963, maka kita terancam hilang dari muka bumi, karena mereka (Rohingya) tidak punya kekuatan dan akses terhadap pendidikan,” kata Kyaw.
Selain melakukan persekusi sistematis, militer juga mencabut kewarganegaraan Rohingya. Sebenarnya hal itu sudah ada dalam undang-undang mereka. Oleh karena itu, Rohingya tidak memiliki identitas. Militer juga memalsukan sejarah dan membuat banyak undang-undang yang kontroversial.
“Mereka bilang Rohingya disebut buruh yang dibawa Inggris untuk dipekerjakan. “Jadi, kalau saya ingin menjadi warga negara Myanmar, saya harus membuka kuburan kakek dan nenek saya untuk menanyakan dari mana saya berasal,” ujarnya.
Lagipula, lanjutnya, bagaimana mungkin mereka bisa membuktikan kewarganegaraannya yang sebenarnya karena pada zaman itu belum ada dokumen pendukung sebagai bukti.
Militer juga menggunakan isu agama dengan tujuan memecah belah masyarakat Myanmar. Oleh karena itu, mereka menempatkan staf di tempat ibadah Budha.
Saat ditempatkan di sana, personel militer dilaporkan menyebarkan fitnah yang mengatakan bahwa Muslim Rohingya telah melakukan jihad dan bergabung dengan kelompok militan ISIS.
“Dengan begitu, militer akan banyak mendapat bantuan dari beberapa negara besar sebagai alasan untuk membasmi ISIS. Padahal yang dimaksud adalah menghilangkan etnis Rohingya, kata Kyaw.
Dalam pandangan Kyaw, Rohingya menjadi sasaran kekerasan militer Myanmar karena mereka beragama Islam.
“Jika besok mereka masuk agama Buddha, mereka tidak akan dirugikan,” katanya.
Bersikeras kewarganegaraan
Sementara itu, di tempat yang sama, Manajer Program Advokasi Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia ASEAN (HRWG), Daniel Awigra mengapresiasi upaya yang dilakukan Indonesia dalam menyelesaikan konflik di Rakhine State. Pasalnya, Indonesia menjadi negara pertama yang diterima langsung oleh pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan konflik etnis Rohingya.
Namun menurut Daniel, Indonesia perlu bekerja sama dengan ASEAN untuk turun tangan dan lebih serius dalam menyelesaikan konflik yang berkepanjangan. ASEAN, kata dia, harus duduk bersama kelompok yang terkena dampak konflik di Rakhine, Myanmar.
“Saya pikir ASEAN sekarang harus lebih fokus tidak hanya pada pembahasan masalah ekonomi dan bisnis, tapi juga pada penindasan dan kemanusiaan,” ujarnya.
Isu Rohingya merupakan hadiah ujian bagi ASEAN yang sudah berusia 50 tahun.
Sementara itu, Direktur Yayasan Geutanjoe Liliane Fan mengatakan, untuk menyelesaikan konflik kekerasan di Rakhine tidak cukup hanya dengan mengirimkan bantuan. Anda juga perlu memikirkan cara terbaik untuk mengatasinya.
Pihak lain dari Karuna Center For Peacebuilding, Joanne Lauterjung Kelly, menyarankan agar pemerintah Myanmar segera memberikan kewarganegaraan Rohingya. Sebab jika tidak diakui sebagai warga negara, tentara bisa berbuat apa saja terhadap etnis Rohingya.
Selain itu, pemerintah Myanmar juga harus mendorong elemen militer untuk mematuhi peraturan hak asasi manusia yang mereka tandatangani.
Belajar dari Aceh
Guna menyelesaikan konflik di Myanmar, beberapa aktivis hak asasi manusia Aceh menyatakan siap berbagi pengalaman mengatasi konflik di provinsi tersebut. Selain itu, warga etnis Rohingya terdampar di Aceh ketika mereka meninggalkan Myanmar secara massal pada tahun 2015.
Meski angkatan laut Indonesia tidak bisa dipukul mundur, namun para nelayan Aceh berbondong-bondong menarik perahu masyarakat Rohingya ke tepian dan bersandar.
“Kami di Yayasan Geutanjoe sangat tersentuh dan kami akan terus memasyarakatkan tradisi kemanusiaan asal Aceh yang perlu dilestarikan ini,” kata Lilliane. – Rappler.com