Apakah pluralisme kita memudar pasca demonstrasi 4 November?
- keren989
- 0
Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan aksi protes besar-besaran pada Jumat, 4 November pekan lalu. Masyarakat, khususnya yang tinggal di Jakarta, kaget karena sudah lama tidak ada aksi protes besar-besaran di republik ini.
Lebih dari 100.000 orang turun ke jalan dan menuntut Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta, diadili atas ucapannya yang dianggap menghina Islam.
Seperti pemilu presiden dua tahun lalu, masyarakat Indonesia terbagi menjadi dua kubu, yaitu kubu yang mendukung aksi dan menganggap Ahok menghina Alquran, dan kubu yang menolak protes dan menganggap apa yang dilakukan Ahok hanya kebetulan dan tidak pantas diperpanjang. lebih lanjut masalahnya.
Tuntutan umat Islam yang turun ke jalan kemarin belum juga usai. Jika Ahok tidak segera ditetapkan sebagai tersangka, mereka mengancam akan melakukan aksinya lagi pada 25 November mendatang.
Melihat perdebatan sengit di timeline Facebook yang tak kunjung usai, kita bertanya: Apakah pluralisme bangsa yang kita banggakan sudah hilang?
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Dengan kondisi saat ini, banyak pihak yang kemudian membandingkan masa kini dengan masa Orde Baru, di bawah pemerintahan otoriter Presiden Soeharto, yang disebut-sebut sangat menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Namun argumen tersebut tentu akan dibantah oleh para aktivis.
Menurut mereka, pluralisme era Soeharto merupakan pluralisme ilusi di mana kelompok minoritas ditindas dan dilanggar hak asasi manusianya demi mencapai kepentingan mayoritas.
Jika kita berhenti menengok ke belakang dan melihat kondisi saat ini, apa yang terjadi di Indonesia, meski mungkin hanya diwakili oleh protes 4 November, merupakan fenomena sosial global. Saya menyebutnya kebangkitan kaum konservatif, yang telah lama menjadi mayoritas, namun merasa bahwa kepentingan mereka tidak cukup didengar oleh para pengambil keputusan.
Bentuk kemarahan kaum konservatif bisa berbeda-beda di setiap negara. Di Amerika Serikat, misalnya, dengan kemenangan mengejutkan Donald Trump sebagai presiden, bentuk kebangkitan konservatif ini diwakili oleh masyarakat kulit putih, terutama mereka yang tinggal di kota-kota kecil dan pedesaan. Keputusan mayoritas masyarakat Inggris, meski unggul tipis, untuk keluar dari Uni Eropa dalam referendum beberapa waktu lalu adalah contoh lain.
Di Indonesia, kebangkitan kaum konservatif diwakilkan oleh kebangkitan umat Islam yang memiliki tekad yang kuat, cenderung kaku, dalam mempertahankan prinsip-prinsip Islam tradisional. Pada masa Orde Baru, kelompok ini ditindas dan tidak dibiarkan berkembang.
Namun seiring dengan berkembangnya gerakan umat Islam di berbagai negara di dunia dan didorong oleh kecanggihan teknologi informasi, basis dukungan kelompok ini semakin meluas, mereka semakin percaya diri dan blak-blakan dalam menyampaikan kritiknya.
Semua kebangkitan kaum konservatif di seluruh dunia memiliki beberapa kesamaan karakteristik, yaitu mereka merasa ditinggalkan oleh pemerintah dalam hal ekonomi, tata kelola, dan budaya. Umat Islam konservatif di Indonesia, misalnya, meski merupakan kelompok mayoritas, namun sebenarnya mereka adalah minoritas secara ekonomi. Saya kemudian menyebutnya mayoritas minoritas.
Namun apapun bentuk kebangkitan ini, semangat pluralisme tidak perlu hilang di Indonesia. Dan memang benar, pluralisme ini belum sepenuhnya hilang, meski mungkin akan memudar. Saya yakin mayoritas Muslim konservatif di Indonesia juga mendukung pluralisme di Indonesia.
Selama bertahun-tahun, pluralisme menjadi salah satu jargon yang selalu diusung di Indonesia. Sebagai negara yang begitu banyak perbedaan, baik suku, agama, dan etnis, pluralisme jelas menjadi perekat kita untuk menjadi kuat, hebat, dan terhormat.
Mau tidak mau harus diakui pluralisme mulai memudar ketika Indonesia memutuskan memasuki era baru yaitu reformasi dan perlahan-lahan menerapkan sistem politik demokrasi partisipatif. Selama lebih dari satu dekade, pluralisme hanya sekedar simbol yang diungkapkan berkali-kali dalam berbagai acara seremonial, namun tidak benar-benar diterapkan dalam landasan bernegara.
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pemerintah harus menyadari bahwa pluralisme sebagai identitas bangsa tidak bisa berdiri sendiri. Agar pluralisme berhasil, diperlukan langkah-langkah konkrit yang dapat dirasakan oleh setiap warga negara, melalui berbagai kebijakan yang tepat.
Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, kebijakan ekonomi yang benar-benar menyasar masyarakat awam. Perekonomian akan selalu menjadi isu utama bagi masyarakat dimanapun berada. Tanpa kemakmuran, pluralisme, atau apapun itu, tidak ada yang bisa terjadi.
Selama bertahun-tahun, pemerintah kita terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi, yaitu memperluas porsi PDB perekonomian Indonesia. Sebagaimana disampaikan banyak pemerhati perekonomian dunia, upaya mencapai pertumbuhan ekonomi memang penting, namun yang lebih penting adalah pemerataan.
Pluralisme tidak mungkin terwujud jika ketimpangan ekonomi semakin melebar, yang sayangnya masih terjadi di Indonesia.
Suatu hal yang percuma ketika pertumbuhan ekonomi kemudian hanya menguntungkan segelintir orang saja. Tentu kita sering mendengar komentar seperti ini, “Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”.
Pluralisme tidak mungkin terwujud jika ketimpangan ekonomi semakin melebar, yang sayangnya masih terjadi di Indonesia.
Misalnya, data pemerintah menunjukkan rasio Gini di Indonesia masih berada di level 0,4. Rasio Gini merupakan indikator perekonomian yang menunjukkan ketimpangan perekonomian suatu negara; 0 mewakili tidak ada kesenjangan.
Pembangunan ekonomi yang saat ini didorong oleh pemerintahan Jokowi harus selalu melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pembangunan infrastruktur yang menjadi salah satu kunci strategi perekonomian pemerintah harus benar-benar memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya masyarakat di Pulau Jawa, tapi juga di seluruh wilayah Indonesia. Memang tidak mudah, tapi setidaknya harus punya semangat untuk menuju ke sana.
Kedua, pluralisme dapat terwujud apabila nilai-nilai kemajemukan dapat menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional secara komprehensif. Jika perekonomian merupakan strategi jangka pendek, maka pendidikan merupakan strategi jangka panjang, dimana generasi muda tanah air menjadi sasaran utamanya.
Selama ini nilai-nilai pluralisme hanya menjadi jargon di buku-buku pelajaran, masih menggunakan teori-teori kuno yang belum terimplementasi dan sulit dipahami oleh generasi muda masa kini. Perlu diingat bahwa kemajuan teknologi informasi terjadi begitu cepat. Hanya dalam hitungan detik, generasi muda kita bisa mengetahui apa saja yang terjadi di setiap belahan dunia.
Singkatnya, generasi muda kita sedang menghadapi era yang sangat berbeda dengan apa yang dialami generasi tua. Oleh karena itu, pendekatan tersebut harus dilaksanakan secaraimplementable – konkrit dalam penggunaannya – dan sesuai dengan perkembangan saat ini.
Salah satu contoh sederhana yang bisa dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan misalnya adalah dengan mewajibkan sekolah mengadakan program kunjungan sosial yang didasari oleh penghormatan terhadap nilai-nilai keberagaman. Bahkan, langkah tersebut sudah banyak dilakukan oleh beberapa sekolah mahal berbasis kurikulum internasional di kota-kota besar di Indonesia.
Kabar baiknya, pluralisme masih mempunyai akar yang kuat di kalangan luas masyarakat Indonesia. Saya sangat mempercayainya. Diperlukan arahan yang jelas dan komitmen tegas dari pemerintah untuk memperkuat hal tersebut.
Peperangan informasi di era globalisasi merupakan sebuah ancaman yang dapat mengaburkan rasa keberagaman kita. Namun tentu saja, dukungan dari masing-masing masyarakat Indonesia adalah kuncinya. —Rappler.com
Tasa Nugraza Barley adalah konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis di sebuah surat kabar berbahasa Inggris di Jakarta selama dua tahun. Dia suka membaca buku dan bertualang, dan dia sangat menikmati rasa kopi yang diseduh. Ikuti Twitter-nya @garsbanget