• November 27, 2024

Alumni 212 mendesak Komnas HAM mengusut upaya kriminalisasi ulama

JAKARTA, Indonesia – Sekelompok masyarakat alumni aksi damai 2 Desember 2016 pada Jumat, 12 Mei mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Selatan. Mereka mendesak Komisioner Komnas HAM segera mengusut kasus penangkapan 18 aktivis dan ulama yang dituduh rezim berkuasa melakukan makar.

Presidium Alumni 212, Ansufri Idrus Sambo, juga memprotes perlakuan diskriminatif yang mereka terima saat menyampaikan aspirasi di ruang publik. Sambo mengatakan ketika organisasi Islam melakukan protes, aparat keamanan bertindak tegas terhadap mereka.

“Misalnya tanggal 31 Maret kami diberi ultimatum (hanya boleh berdemonstrasi) sampai pukul 17.00 WIB. “Kalau tidak segera bubar, kami akan hapus,” kata Sambo menirukan pernyataan personel polisi yang disampaikan melalui pengeras suara saat bertemu dengan pimpinan Komnas HAM pekan lalu.

Sementara itu, saat massa pendukung Gubernur nonaktif DKI Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama melakukan aksi protes di depan Lapas Cipinang, mereka malah diperbolehkan melakukan aksi hingga larut malam. Mereka baru ditangkap sekitar pukul 23.00 WIB. Massa pun kemudian dibubarkan dengan meriam air. Sambo mengibaratkan saat kelompoknya yang berdemonstrasi dibubarkan dengan gas air mata.

“Para suporter malah bertindak anarkis dan mengguncang pagar penjara. Namun, justru tertinggal. Bahkan, gara-gara kejadian itu, adik Ahok dipindahkan ke Rutan Mako Brimob. “Ini jelas merupakan perilaku diskriminatif,” ujarnya.

Bagi mereka, perilaku diskriminatif sangatlah menyakitkan. Faktanya, hal tersebut dapat memperlebar gesekan yang ada di masyarakat.

Kunjungannya yang keempat ke kantor Komnas HAM pada Jumat pekan lalu. Sambo mengakui, proses penyidikan kasus penangkapan tersebut berjalan sangat lambat.

Oleh karena itu, massa kemudian memberikan dukungan dan mendorong Komnas HAM untuk tidak mundur dari proses tersebut. Mereka kemudian membentangkan spanduk sepanjang lebih dari satu kilometer di kantor Komnas HAM. Pada spanduk tersebut, massa kemudian membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk dukungan terhadap lembaga tersebut.

Ada pula yang meminta pemerintah segera membebaskan 18 orang yang ditangkap dan dicap sebagai pelaku makar. Ada pula yang menuntut pemerintah tidak membiarkan ideologi komunis hidup kembali di Indonesia.

Pekan lalu, massa menargetkan untuk menambah 1.000 tanda tangan. Rencananya aksi serupa akan disebar ke seluruh wilayah di Indonesia sehingga terkumpul 1 juta tanda tangan.

Dalam pertemuan tersebut, Sambo juga membawa laporan baru mengenai keputusan pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut mereka, tindakan tersebut juga dinilai melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk berkumpul dan berorganisasi.

“Kami berharap Komnas HAM bisa memanggil oknum-oknum yang patut bertanggung jawab, mulai dari Presiden Jokowi, Menko Polhukam, Kapolri hingga Kapolda,” kata Sambo mengungkapkan aspirasi kelompoknya. .

Sambo dan rekan-rekannya berencana melanjutkan aksi serupa pada Jumat mendatang. Diperkirakan sekitar 5.000 orang akan kembali menyerang kantor Komnas HAM.

Lantas, mengapa alumni 212 itu memilih melapor ke kantor Komnas HAM? Menurut Sambo, aparat penegak hukum sudah tidak bisa dipercaya lagi. Bahkan, mereka diduga menjadi alat aparat untuk melakukan upaya kriminalisasi terhadap ormas Islam dan ulama.

Makanya kami datang ke Komnas HAM, karena menurut kami lebih netral dan bisa menampung aspirasi kami, ujarnya.

Komnas HAM tetap netral

Sementara itu, menurut salah satu Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, menerima kehadiran massa alumni 212 bukan berarti berpihak pada kelompok tersebut. Siapa pun, kata Natalius, boleh mendaftar ke Komnas HAM, termasuk massa pendukung Ahok.

“Namun pendukung Ahok tidak ada yang melapor ke kami. “Mungkin mereka tidak merasa perlu,” ujar Natalius yang disambut tepuk tangan penonton alumni 212 pekan lalu.

Ia juga menjelaskan kemajuan yang dicapai Komnas HAM dalam mengusut dugaan pelanggaran HAM terhadap ormas Islam dan ulama. Mereka mengaku sudah bertemu dengan Kapolri untuk membicarakan persoalan tersebut.

“Kami juga sudah punya TOR dan berencana bertemu dengan para korban,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia meminta alumni 212 tersebut memberikan nomor kontak 18 orang yang diduga dikriminalisasi. Salah satu prosedur yang harus dilalui Komnas HAM adalah harus mendengarkan satu per satu pengakuan individu.

“Dalam SOP kami harus mendapatkan informasi dari tiga pihak. Pertama, orang yang diduga menjadi korban, kedua orang yang membuat laporan, dan ketiga, narasumber yang mempunyai kapasitas cukup untuk memberikan masukan,” kata Natalius.

Komnas HAM berjanji akan berhasil dan semua berjalan sesuai proses. Selain itu, dia menegaskan Komnas HAM tidak bisa dipanggil oleh lembaga tertentu. Namun sesuai amanat undang-undang, Komnas HAM bisa memanggil pemerintah.

“Sementara posisi kami terhadap masyarakat bukan menelpon, tapi mendengarkan informasi. Jadi, dalam konteks kasus Habib Rizieq, kami tidak dipanggil, tapi diajak mendengarkan keterangannya, ujarnya.

Apalagi, menurut Natalius, cukup sulit bertemu Rizieq di Saudi. Sebab, Komnas HAM tidak punya dana. Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) belum mencairkan anggaran operasional lembaga tersebut.

“Sesuai amanah undang-undang, operasional kami bersumber dari dana APBN. Tidak boleh menggunakan dana pribadi atau memberi kepada kelompok tertentu. “Negara baru akan memberikannya kepada kita pada Juni mendatang,” kata Natalius.

Pasalnya, Komisioner Komnas HAM pada dasarnya masih bisa berkomunikasi dengan Rizieq melalui saluran lain seperti Skype, Line, atau pesan singkat WhatsApp.

“Ini juga bagian dari upaya meminta informasi, bukan terbang jauh-jauh. Sementara itu, dengan cara ini kita juga bisa mendapatkan informasi dalam waktu lima menit, ujarnya.

Harus berhati-hati

Sementara itu, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengaku bingung dengan sikap massa alumni 212 karena sudah lama tidak percaya atau peduli terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM). . Namun, setelah beberapa orang ditangkap karena diduga melakukan makar dan Rizieq Shihab diburu personel polisi, mereka berubah sikap.

Karena itu, dia mengingatkan Komnas HAM agar berhati-hati. Bisa jadi kelompok ini justru membawa agendanya sendiri.

“Jika Komnas HAM tidak hati-hati, maka kelompok-kelompok tersebut justru akan mempermainkannya sehingga keputusan yang diambilnya sejalan dengan agenda politiknya,” kata Choky saat dihubungi melalui telepon, Minggu, 14 Mei.

Ia tak memungkiri, pandangan masyarakat terhadap lembaga Komnas HAM menjadi negatif. Hal ini terjadi setelah terjadi konflik di internal Komnas HAM, mulai dari penggelapan dana sewa rumah komisioner hingga perebutan jabatan antar pimpinan.

“Jadi di dalam Komnas HAM sendiri ada perpecahan. Namun ada pernyataan Ketua Komnas HAM Nur Kholis yang menolak opsi Komnas HAM ke Saudi, ujarnya.

Menurutnya, polisi harus berhati-hati dalam menangani kasus dugaan makar. Mereka membutuhkan waktu untuk terus melengkapi bukti-bukti agar bisa diserahkan ke proses selanjutnya.

“Jadi, mari kita beri kesempatan kepada polisi untuk bekerja. “Indonesia adalah negara hukum, kalau kita menaati hukum, kita harus bisa memahaminya,” ujarnya.

Choky mengingatkan Komnas HAM agar tidak terpeleset demi memenuhi kepuasan dan tuntutan kelompok tertentu. Sebab, jika tidak, kredibilitas mereka dipertaruhkan.

Apalagi kelompok ini ingin menunjukkan kepada masyarakat sejak awal bahwa institusi di Indonesia bermasalah. Dengan demikian, mereka dengan mudah menimbulkan opini tidak percaya pada pemerintah.

“Sekali lagi kelompok-kelompok ini hanya memanfaatkan isu demokrasi dan hak asasi manusia untuk kepentingan mereka. Padahal, mereka sebenarnya sejak awal tidak percaya pada hak asasi manusia. Padahal katanya HAM dan demokrasi itu pengaruh negara-negara Barat,” ujarnya. – Rappler.com


SDY Prize