Penganiayaan online menyebarkan teror dan ketakutan
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Pelaku yang belum diketahui identitasnya menjelajahi media sosial dan mengambil akun yang dituduh menghina ulama atau agama Islam.
JAKARTA, Indonesia – Kasus penganiayaan yang marak dibicarakan saat ini terus mengalami peningkatan korban. Hingga Kamis, 1 Juni, tercatat 59 orang menjadi korban.
Koalisi Anti Penganiayaan yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat menyebut tindakan ini merupakan ancaman baru terhadap kebebasan berpendapat dan demokrasi di Indonesia.
“Ada masyarakat yang berperan sebagai polisi, jaksa, hakim tanpa melalui proses hukum,” kata Direktur YLBHI Asfinawati saat memberikan siaran pers di Jakarta, Kamis, 1 Juni.
Orang-orang yang belum diketahui identitasnya ini menyisir media sosial dan menghapus akun-akun yang dituduh menghina ulama atau agama Islam. Setelah menentukan target, data-data pribadi orang-orang tersebut seperti alamat, nomor telepon, tempat kerja, bahkan foto pun disebar. Pelaporan tersebut disertai ujaran kebencian yang bersifat provokatif dan menghina korban.
Korban kemudian akan didekati oleh sekelompok orang yang mengaku telah dihina dan dibawa ke polisi. Entah korban dikriminalisasi berdasarkan UU ITE atau Pasal 156 a. Proses ini terkesan sistematis, karena koalisi menemukan adanya aksi serentak di 6 wilayah berbeda.
Perilaku seperti ini semakin meningkat, terutama setelah mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dinyatakan bersalah dalam kasus dugaan penodaan agama. Kelompok ini menjadi fanatik dan mulai menyasar warga biasa.
“Kalau Ahok bisa bersalah, apalagi yang bisa dikategorikan lemah seperti warga,” kata Koordinator Wilayah SAFENet Damar Juniarto.
Selain itu, ia menemukan ada 4 kasus penindakan yang melibatkan akun palsu. Korban yang didekati mengaku tidak memiliki akun yang dimaksud dan ada pihak lain yang menggunakan identitasnya.
Damar mengatakan, akun palsu tersebut mengunggah status yang cenderung melanggar ketentuan UU ITE. Seolah-olah disengaja untuk memancing kemarahan pihak tertentu.
Diakuinya, ada kemiripan di antara para korban yang dihapuskan namanya.
“Mereka berasal dari etnis minoritas tertentu,” ujarnya.
Selain menebar teror, aksi penganiayaan ini juga bertujuan untuk menimbulkan kesan adanya konflik antara dua kelompok masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sebagian besar korban yang menjadi sasaran adalah mereka yang merupakan kelompok minoritas dan mempunyai kedudukan sosial yang buruk. Tujuannya antara lain untuk mengkriminalisasi dan mengkriminalisasi korban.
Maka tak heran jika permintaan maaf yang diminta bukanlah akhir dari masalah. Seperti kasus Dr. Usai meminta maaf, Fiera Lovita terus mendapat intimidasi dan tekanan dari organisasi keagamaan, bahkan hingga kediamannya.
Demi keselamatan dirinya dan kedua anaknya yang berusia 8 dan 11 tahun, Fiera memutuskan berangkat ke Jakarta.
“Saya berharap bisa kembali bekerja dan beraktivitas seperti biasa,” ujarnya.
Pemerintah diimbau segera dan tuntas mengusut tuntas dalang penindakan ini. Jika tidak, posisi negara dalam penegakan hukum di masyarakat akan semakin lemah. Pelaku juga diduga punya agenda lain untuk memecah belah bangsa.
Jika tertangkap, dalang penuntutan bisa didakwa menyebarkan data pribadi atau identitas dan menghasut kebencian. Kementerian Komunikasi dan Informatika juga didorong untuk lebih aktif dan memantau pergerakan akun-akun yang memicu penganiayaan, sehingga dapat dicegah sebelum terjadi pergerakan massal.
Masyarakat juga diimbau untuk sementara tidak sengaja mengunggah artikel yang bersifat menyinggung dan menghilangkan asas praduga tak bersalah. Jika ingin mengomentari suatu perkara, disarankan menggunakan kata ‘diduga’ jika belum ada kekuatan hukum yang pasti. – Rappler.com