• November 24, 2024

Pemimpin redaksi Lentera Bima Satria ini tidak ingin menjadi tentara seperti ayahnya

JAKARTA, Indonesia — Terlahir dari keluarga pensiunan tentara, Bima Satria Putra mengaku tak pernah terpikir akan belajar menulis ketimbang mengikuti jejak sang ayah.

Sejak awal, pemimpin redaksi Majalah Lantern ini tidak berniat menjadi tentara, melainkan sutradara. Ia mengaku terinspirasi dari film-film sejenisnya Pikiran yang indah, Filsuf, teori segalanya Dan Jadi Hok Gie.

Maka ia memutuskan untuk merantau dan meninggalkan kampung halamannya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Bima kemudian kuliah di program studi ilmu komunikasi jurusan Jurnalistik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), dimana ia menerbitkan Majalah Lentera yang menjadi sumber kontroversi belakangan ini.

Namun, UKSW bukanlah universitas idamannya.

“Dulu saya mendaftar di ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, tapi ditolak. Mendaftar hingga tiga kali. Habis itu nangis,” kata Bima sambil tertawa terbahak-bahak saat ditemui Rappler dalam diskusi publik “Mengungkap Tabir Dibalik Pelarangan Majalah Lampion” di Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu, 25 Oktober.

Bima mengaku masih bercita-cita menjadi sutradara dan memutuskan untuk belajar broadcasting yang tak jauh dari film.

Ia juga aktif dalam film Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Pada saat yang sama ia juga bergabung dengan UKM Lampion.

“Tapi aku tidak merasa seperti itu nyaman saja (dengan UKM Film). Akhirnya saya memilih aktif di dunia jurnalistik. Dan saya memilih Lantern, ”katanya.

Mencuri pengetahuan

Memilih UKM Majalah Lentera merupakan awal perjalanannya menjadi jurnalis kampus. Pada saat yang sama, ia juga bergabung dengan UKM jurnalisme Scientiarum di tingkat universitas.

Namun tak mudah bagi Bima untuk menjadi jurnalis. “Kemudian saya menulis delapan berita dan tidak ada satupun yang diterbitkan. Karena tidak layak dipublikasikan,” akunya.

Seniornya di Scientiarum menyemangatinya dengan mengatakan bahwa tidak ada ampun untuk tulisan yang tidak sesuai. “Mereka menerapkan hukum kontrol-alt-hapus,” dia berkata.

Bima diam-diam mengetahui bagaimana Scientiarum memproduksi berita. “Setelah itu saya pergi,” katanya sambil terkekeh.

Dia membawa semua pengetahuan yang dia peroleh ke Lantern, dan mulai membangun ruang redaksinya sendiri. “Saya ke Lentera untuk terapi terkait mekanisme pemberitaan dan struktur organisasi agar lebih rapi,” ujarnya.

Saat itu, staf Lentera hanya ada tiga orang, termasuk Bima yang magang sebagai editor. Di tahun kedua, Lentera mulai berdiri, mereka mulai menerbitkan dua terbitan.

“Tahun kedua saya adalah staf percetakan yang menangani tata letak dan penerbitan. Tata letak Anda tahu, ”katanya.

Di tahun ketiga ia kemudian dipercaya menjadi pemimpin redaksi.

Ada protes sejak awal

Artikel pertama Bima di Lentera akhirnya terbit. Ia mengangkat ketua kelas di prodi Fikom angkatan 2013. Formatnya bukan berita, tapi opini.

“Pertama kali diterbitkan langsung ada masalah. Beberapa orang tersinggung,” katanya.

Edisi pertama Lantern kemudian diterbitkan. Tema yang diangkat adalah dosen yang dianggap panutan yaitu John Radius Lahade.

Edisi kedua membahas tentang pers mahasiswa di kampus, semacam dokumentasi sejarah.

Maka muncullah ide untuk menggarap “Salatiga Kota Merah” edisi ketiga. “Awalnya saya berprasangka baik terhadap rezim ini,” ujar pria yang gemar membaca puisi ini.

Ia memperkirakan isi majalah itu bisa menjadi perdebatan, antara pro dan kontra. Ia tidak menyangka majalah itu akan ditarik kembali, apalagi dibakar.

“Ternyata sampai penarikan majalah itu,” katanya.

Larangan itu nyata

Ia kemudian dihubungi oleh salah satu dosennya, Daru Purnomo. “Bima, datang ke kampus jam 8 malam ini,” ucapnya menirukan dosen.

Bahkan dalam rapat yang dihadiri pejabat rektorat itu, Bima mendapat penjelasan bahwa isi majalahnya meresahkan kalangan luas di Salatiga.

Wali Kota Salatiga, Kapolres, Komandan Kodim, dan Ketua DPRD semuanya secara aklamasi menyatakan keberatan atas peredaran majalah tersebut.

“Menurut mereka, majalah itu meresahkan warga Salatiga,” ujarnya.

Dosen mengatakan bahwa majalah tersebut harus ditarik demi Lentera. Dia langsung mengiyakan.

“Harus diperjelas ya, ada tiga kali pertemuan, dengan rektor, polisi, dan dekan. Yang menemui rektor, mereka meminta agar majalah yang ada di luar kampus ditarik. Yang ketemu sama polisi minta majalahnya dibakar, dan yang ketemu dekan minta majalah yang dibeli dikembalikan,” ujarnya.

Bahkan dekan berjanji akan mengganti biaya produksi.

Tak hanya itu, Bima mendapat laporan bahwa rekannya mulai merasa ada yang membuntutinya.

Hingga saat ini, kasus pelarangan masih ditangani oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan masyarakat yang peduli dengan isu tersebut, termasuk lembaga swadaya masyarakat.

‘Saya ingin menjadi birokrat’

Setelah kejadian itu, Bima yang mengaku memuja penyair Eka Budianta, aktivis Widji Thukul, dan Ryūnosuke Akutagawa, mengaku malah ingin menjadi birokrat.

“Saya ingin jadi jurnalis, tapi juga dosen. Setelah itu mereka menjadi birokrat,” ujarnya.

Mengapa birokrat? “Karena saya aktif di gerakan mahasiswa, tapi di level akar rumput. Dan saya merasa tidak bisa berubah secara signifikan. Sedangkan untuk birokrat, mereka memiliki posisi yang strategis untuk melakukan perubahan,” ujarnya.

Namun ia ingin menjadi birokrat yang tetap mengagumi karya jurnalistik seperti tulisan aktivis HAM Andreas Harsono dan peduli terhadap isu lingkungan.

“Untuk saat ini, hidup saya adalah sebuah kontradiksi. Soalnya bapak saya tentara, Pak De polisi, dan dia menanam sawit. Dan saya kuliah dari uang sawit. Padahal saya benci kelapa sawit,” ujarnya.

Ia berharap suatu saat bisa mandiri, mewujudkan cita-citanya, sehingga tidak lagi bergantung pada orang tua atau kelapa sawit. Dan menjadi birokrat akar rumput yang ideal. —Rappler.com

BACA JUGA:

Angka Sdy