• November 27, 2024
Kami sepakat tragedi 65 tahun tidak boleh terulang lagi

Kami sepakat tragedi 65 tahun tidak boleh terulang lagi

JAKARTA, Indonesia—Selama dua hari berturut-turut, 18-19 April di Hotel Aryaduta, para pelaku dan korban tragedi 1965 bertemu dan membahas jalan yang disebut rekonsiliasi.

Simposium Nasional ke-65 untuk pertama kalinya mendengarkan pendapat, pemikiran dan kesaksian partai-partai yang saling berhadapan dalam dunia politik pada tahun 1965.

Tidak hanya pelaku dan korban, namun juga keluarganya, seperti Agus Widjojo, putra salah satu pahlawan revolusi, Mayjen (anumerta) Sutoyo yang tewas dalam peristiwa 1965 dan Ilham Aidit, putra tokoh sentral revolusi. Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit.

Keduanya bertemu, bertatap muka, seolah ayah mereka tidak pernah ‘bertengkar’ di masa lalu.

Lantas apa hasil dari Simposium ini, apakah bisa memuaskan kedua belah pihak, khususnya keluarga korban?

Rappler secara khusus mewawancarai Ilham Aidit sesaat sebelum simposium diakhiri dengan pidato Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto.

Berikut kutipan wawancaranya:

Setelah simposium dua hari tersebut, apakah masih ada harapan untuk rekonsiliasi tanpa mengabaikan pengungkapan kebenaran?

Saya menilai simposium dua hari ini sangat sukses, dan mengingat ini merupakan simposium terbesar yang melibatkan banyak pihak, baik korban, akademisi militer, pelaku dan sebagainya, maka simposium ini sangat terlibat. Ini juga merupakan simposium terbesar sejak reformasi.

Kami sangat mengapresiasinya, ini merupakan upaya yang cukup serius dari pemerintah dalam upaya menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Namun penyelesaian pelanggaran berat, khususnya 65 pelanggaran masif tersebut memerlukan proses yang tidak terlalu (singkat). Artinya, simposium dua hari ini merupakan awal yang baik dan dapat dilanjutkan pada beberapa simposium berikutnya.

Ini juga akan menjadi kerja keras bagi tim perumus yang akan merumuskan simposium ini, memberikan rekomendasi kepada pemerintahan Jokowi (Joko Widodo) yang akan menindaklanjuti apa yang akan mereka lakukan terkait solusi dan lain sebagainya.

Kalau saya lihat sebenarnya apa yang akan menjadi agenda ini, sebenarnya butuh waktu yang cukup lama sebelum rekomendasinya kuat.

Lalu ada sebuah kejadian, seorang penyair terkenal bernama Taufik Ismail membacakan puisi yang sangat menantang, bahkan sangat longgarsehingga suasana yang tadinya begitu cair dan kondusif tiba-tiba memburuk.

Namun meski terlihat ada masyarakat yang tidak menyukai rekonsiliasi, ketika segala sesuatunya sudah harmonis dan baik di negeri ini, ada pula masyarakat yang, maaf, sedikit sakit jiwa, terus melakukan provokasi untuk memberi makan.

Namun secara umum tidak meresahkan, ya sayang sekali datangnya dari seorang penyair yang dulunya sangat terkenal dan tak lebih dari seorang provokator murahan.

Apakah materi yang disampaikan panitia imposium masih kurang atau perlu diperkuat?

Sebenarnya kalau ada kritik, satu saja, terlalu banyak sumber yang menjelaskan hal yang sama tentang rekonsiliasi, tentang keberadaan masa lalu, ada perbedaan halus tetapi terlalu banyak sumber, sehingga sangat sedikit waktu yang dihabiskan untuk itu. korban, itu kelemahannya, menurutku. Terlalu banyak sumber yang mengungkapkan penjelasan serupa.

Dari korban sendiri, ia diberi kesempatan berbicara di depan umum.

Faktanya, banyak sekali korban yang hadir sehingga mereka berharap bisa berbicara. Padahal, yang mereka bicarakan, teriakkan, adalah hal yang sama, tentang rehabilitasi, tentang pemerintah yang mengakui kesalahannya, lalu mengungkap kebenarannya.

Teman-teman korban sudah 50 tahun tidak berbicara, jadi kali ini mereka ingin semua orang berbicara.

Anda cukup familiar dengan Agus Widjojo, apakah Anda dan Agus sudah menjalin hubungan sebelum simposium ini?

Pada tahun 2003, saya diajak oleh Mas Agus Widjojo dan kawan-kawan untuk menjadi anggota Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), maka sejak tahun 2003 saya menjadi anggota Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang merupakan forum gabungan anak-anak. berselisih.

Jadi sejak saat itu kami banyak berdiskusi, banyak ngobrol, berdebat, dan sebagainya. Akhirnya kami menemukan persamaan, hal itulah yang justru membuat kami berusaha menghilangkan perbedaan dan mencari persamaan. Inilah yang kami umumkan.

Apa kesamaan mereka?

Kita berdua sepakat bahwa tragedi yang terjadi pada tahun 65 tidak boleh terulang kembali. Ini yang pertama.

Kedua, jelaskan sejarah peristiwa 65 yang benar dan peristiwa lain seperti Tanjung Priok, Talangsari, Petrus, Semanggi, juga harus dijelaskan apa adanya. Kami menyetujui hal itu.

Kita juga sudah sepakat bahwa kita tidak mewarisi konflik dan tidak mewarisi konflik baru, begitu.

Saya mendapat informasi ada pihak militer yang tidak hadir, seperti Panglima TNI yang tidak hadir. Apakah hal ini akan mempengaruhi hasil simposium dan rekomendasi di masa depan?

Memang benar ada beberapa personel TNI yang diundang tidak hadir, namun nyatanya apa yang disampaikan Luhut Binsar Panjaitan mencerminkan pandangan pihak militer yang tidak akan ada permintaan maaf negara kepada para korban.

Namun ada persamaannya, kami sepakat bahwa rehabilitasi harus menjadi pertimbangan.

Kedua, rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran tidak mungkin dilakukan. Semua orang sepakat bahwa mengatakan kebenaran adalah syarat rekonsiliasi.

Apakah para korban bersatu mengenai rehabilitasi ini?

Itu benar, setuju. Hal ini memang benar adanya, namun jangan abaikan pengungkapan kebenaran yang pada akhirnya berujung pada koreksi sejarah.

Pak Agus bilang dia melawan dirinya sendiri dan melakukan penebusan dosa pribadi, bagaimana dengan anda?

Saya taruh dalam konteks umum para korban, apakah mereka sudah berdamai? Itu dia. Dalam kasus Agus Widjojo, dia merupakan anak Jenderal Sutoyo yang meninggal saat itu. Proses hukum sudah selesai, mereka yang diduga terlibat pembunuhan sang jenderal sudah divonis hukuman mati, keluarga dan kerabatnya sudah selesai.

Tentu saja mereka menerima kasus ini.

Masalahnya adalah korban-korban lain yang tidak jelas proses hukumnya, tidak pernah diproses, tidak pernah diadili, namun kemudian terjebak di penjara selama puluhan tahun.

Itu yang mereka lihat ada perbedaannya. Proses hukum kawan-kawan eks PKI ini belum selesai, mereka divonis bersalah tanpa pengadilan. Itu tuntutan korban, kami diperlakukan tidak adil, itu tema besarnya.

Apa yang ingin Anda sampaikan kepada Presiden Jokowi?

Jika saya punya sesuatu untuk Tuan. Jokowi bisa berkata, haruskah saya katakan: “Pak Jokowi, betapa pun sulitnya proses ini, tetap lakukan dengan sebaik-baiknya, karena rekonsiliasi yang salah hanya akan menghasilkan pemulihan yang salah, dan tidak akan membawa pembelajaran apa pun.” —Rappler.com

Baca laporan lengkap Rappler pada Simposium Nasional 1965: