‘Wanita Chairil’: Perjuangan Batin Sang Penyair
- keren989
- 0
Pertunjukan ‘Wanita Chairil’ menggambarkan salah satu sisi kehidupan penyair Chairil Anwar yang mewarnai puisi-puisinya.
JAKARTA, Indonesia – Seorang pemuda berwajah gelap dengan rambut bergelombang berdiri sendirian sambil bersandar di tiang lampu taman. Hari mendekati malam. Jari-jarinya yang panjang memegang sebatang rokok yang dihisapnya lalu dihembuskannya asapnya.
Bahkan sejak tirai dibuka, Chairil Anwar (diperankan Reza Rahadian) merasa kesepian. Ia mengawali monolognya dengan mengagungkan sosok perempuan malam – makhluk ciptaan Tuhan yang menjadi inspirasi banyak puisi penyair kelahiran 26 Juli 1922 di Medan itu.
Sesuai dengan namanya, pertunjukan teater Istri Chairil menceritakan penggalan kisah cinta penyair SAYA ia berlabuh dari satu pelukan ke pelukan lainnya, berusaha mengusir kesepian yang menghantui hari-harinya.
“Bagi Chairil, perempuan adalah inspirasi. “Dia mencintai dengan penuh semangat dan rencana, tidak selalu berpikir bahagia, lebih sering dihadapkan pada kesedihan,” kata Hasan Aspahani, penulis biografi. Kursiyang juga menulis naskah acaranya bersama Ahda Imran.
Ada empat perempuan yang dipilih produser Happy Salma untuk memerankan kisah cinta Chairil. Semasa hidupnya, Chairil mengenal banyak wanita dan memiliki hubungan dekat, namun keempat sosok ini mempunyai tempat istimewa dalam kehidupan Chairil yang mengetahui cita-citanya menjadi penyair sejak usia 15 tahun.
Yang pertama adalah Ida Nasution (Marsha Timothy), seorang mahasiswa dan penulis yang brilian. Ida adalah seorang pemikir yang kritis dan mampu menyaingi intelektualisme Chairil ketika mereka berdebat.
Penonton bisa melihat bahwa Ida merupakan pasangan sekaligus lawan yang cocok bagi Chairil, putra seorang pejabat pribumi di Medan yang mengenyam pendidikan Belanda. Kecerdasan Chairil membedakannya dengan laki-laki lain, selain sikapnya yang acuh tak acuh dan kejeniusannya mengolah kata-kata.
Namun menurut Ida, Chairil tidak punya masa depan. Ida sendiri pernah berkata kepada salah satu sahabat Chairil, HB Jassin, “Chairil memang menyebalkan. Tapi apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak koheren seperti itu?”
Tak heran, meski tak pernah bersama Ida, Chairil tetap mendambakannya meski berada di pelukan wanita lain.
Sri Ajati (Chelsea Islan), juga seorang pelajar, adalah wanita hebat pada masanya. Sri gemar bermain teater dan pernah menjadi model lukisan Basuki Abdullah hingga membuat hati Chairil luluh karena cemburu.
Gadis bangsawan ini tidak membeda-bedakan teman-temannya, ia berpindah-pindah di kalangan pemuda teman-teman Chairil. Chairil bahkan menudingnya sebagai sumber inspirasi buku berjudul Sutan Takdir Alisyahbana Anak perawan di antara para pencuri.
Chairil menebar pesona romantis kepada Sri yang memandang Chairil sebagai sosok jujur dan pemberani. Namun karena keleluasaannya berteman dengan siapa pun, Sri tidak pernah tahu kalau Chairil memuja dan mencintainya. Hingga Chairil meninggal dunia di usia 27 tahun, Sri tidak pernah mengetahui bahwa Chairil telah menulis puisi untuk dirinya sendiri yang di dalamnya Senja di Klein Hawe.
Istri ketiga adalah Sumirat (Tara Basro), seorang yang lincah dan menggemaskan, serta putri seorang yang terpelajar. Ia mengagumi keluasan pandangan Chairil dibandingkan pria lain yang pernah disandingkan ayahnya.
Kisah cinta mereka penuh gairah dan kekacauan. Dari Sumiratlah tragedi dan depresi yang dialami Chairil banyak ditampilkan dalam puisi-puisinya.
Chairil sebagai penjelajah yang masih ingin berlayar enggan memberikan klarifikasi kepada Sumirat yang membalas cinta Chairil dengan cinta seluas lautan, namun sayang cintanya juga kandas.
Kepada Hapsah (Sita Nursanti) yang melabuhkan Chairil. Perempuan biasa, putri seorang perangkat desa di Krawang, menyadarkan Chairil bahwa dirinya juga laki-laki biasa. Di penghujung hayatnya, Chairil memilih realistis dengan menikahi Hapsah, seorang pegawai yang berpenghasilan tetap. Profil Hapsah bisa dibilang bukanlah tipe wanita idaman Chairil.
Buktinya, pernikahan mereka kerap diwarnai pertengkaran karena Hapsah tak paham gaya hidup bohemian yang dianut Chairil. Sebaliknya, Chairil tidak bisa memahami apa yang diinginkan dan didambakan seorang wanita terhadap suaminya.
Meski tak selalu akur, keduanya dikaruniai seorang putri bernama Evawani. “Wani” dalam bahasa Sunda berarti “pemberani”.
Menjelang kematiannya, Chairil menemukan kehangatan rumah setelah berkelana kesana kemari. Siang dan malam yang dihabiskannya bersama keempat wanita ini menyadarkannya bahwa “cinta adalah bahaya yang cepat hilang”.
Empat perempuan, empat cerita berbeda, satu laki-laki. Masa lalu Istri Chairil, para pecinta seni bisa mengenal lebih jauh sosok Chairil di balik karya-karyanya yang legendaris dan mendunia. Ini hanyalah salah satu sisi penyair kenamaan Indonesia yang kedalamannya masih bisa ditelusuri dan ditelusuri.
Agus Noor, sang sutradara, menyebut pertunjukan ini sebagai “biografi puitis, di mana adegan dan percakapan dihidupkan kembali berdasarkan puisi Chairil”.
Istri Chairil dipentaskan pada Sabtu dan Minggu, 11-12 November, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. —Rappler.com
BACA JUGA: