Dokter melawan rasisme dan intoleransi
- keren989
- 0
“Mungkin dia (dokter) punya pandangan tertentu, tapi dia tidak boleh membeda-bedakan pasiennya.”
JAKARTA, Indonesia – Ketika intoleransi mulai merambah ke bidang kedokteran, sekelompok dokter masih berusaha melawannya. Mereka menamakan dirinya Doktor Bhinneka Tunggal Ika dan anggotanya mencakup lebih dari 550 guru besar dan praktisi di seluruh Indonesia.
Mereka kemudian membuat Petisi Nasional yang menyatakan keprihatinan atas tanda-tanda awal perpecahan nasional. “Kami ingin pemerintah segera menyelesaikan permasalahan terkait bagian ini,” kata juru bicara DBTI Dr. Farid Aziz saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis, 1 Juni.
Pertama-tama, mereka menyesalkan penuntutan terhadap Dr. Fiera Lovita di Solok, Sumatera Barat. Ia diintimidasi oleh organisasi keagamaan setempat karena memasang status yang dianggap menghina ulama dan agama.
Farid dan rekan-rekannya baru-baru ini melihat adanya perluasan sentimen keagamaan di Indonesia, dan kasus Fiera tidak bisa dipisahkan dari hal ini.
“Tapi kalau benar semoga tidak terjadi lagi. “Jadi untuk pencegahan lebih lanjut kami membuat petisi agar tidak terjadi hal seperti yang tersebar di media sosial,” ujarnya.
Saat ditanya mengenai perlindungan bagi dokter, anggota IDI dr. Ahmad Djojosugito mengatakan, tidak ada divisi khusus di lembaganya yang menangani kriminalisasi semacam ini.
“Jadi Dokter Bhinneka Tunggal Ika yang berinisiatif. Kemarin dia memanggil kami untuk pindah. Kami bantu cari rumah sakit mana yang kosong, mana yang ada apoteknya. Kami juga mengambil. “Ada juga bantuan harian,” ujarnya.
Keyakinan dan Sumpah Dokter
Baru-baru ini, beberapa dokter mendapat kritik keras karena menyebarkan pandangan yang agak kontroversial. Seperti yang ditulis oleh Dr. Omar R. Hasbullah menulis bahwa ‘Kami… para dokter juga harus mempunyai hak untuk melawan LGBT karena alasan kemanusiaan…’
Lalu ada juga artikel yang beredar tentang seorang dokter berinisial M yang menolak melayani pasien pengguna BPJS Kesehatan karena dianggap riba. Kisah serupa mulai muncul ke permukaan dan menjadi viral di media sosial.
Diakui Farid, di kalangan dokter ada yang tegas terhadap prinsip dan keyakinannya, serta melakukan diskriminasi. “Sebenarnya secara implisit kami menyayangkannya. Namun jika masyarakat benar-benar mempercayai hal tersebut, apa yang dapat kami lakukan?” dia berkata.
Namun, kata dia, seorang dokter pada prinsipnya harus menaati kode etik dan sumpahnya. Mereka tidak boleh membeda-bedakan ras, suku, golongan dan agama dalam perawatan pasien.
“Jika itu terjadi “prihatin dengan keyakinannya, artinya dia melanggar sumpah dokter, kode etik kita,” ujarnya.
Namun, ia tak bisa berbuat banyak karena memegang keyakinan adalah haknya. Belum lagi, Dokter Bhinneka Tunggal Ika hanya berfungsi sebagai penunjang moril tanpa kewenangan administratif dan hukum.
Jika dokter menolak pasien karena alasan tersebut, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berhak mengambil tindakan. Mereka bisa menghubungi dokter yang bersangkutan, atau melaporkannya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
““Nanti kami tindaklanjuti dan menilai apakah itu memang pelanggaran disiplin,” kata Ahmad. Jika terbukti melakukan pelanggaran, dokter yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan izin praktik dan surat rekomendasi.
Namun apabila pelanggaran tersebut melanggar etika kedokteran, maka Dewan Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia akan menindaknya. Namun, kata dia, baru kali ini ada kasus penolakan pasien karena alasan agama.
Ia mengaku belum mengetahui proses yang sedang berlangsung karena dirinya bukan anggota MKDKI. Namun, mantan Ketua IDI periode 1997-2003 ini mengatakan, masyarakat bisa melapor jika mendapat perlakuan tidak menyenangkan.
Inisiatif para dokter melalui pembentukan DBTI ini diharapkan dapat menghilangkan kebencian yang berbasis perbedaan SARA. “Mungkin dia (dokter) punya pandangan tertentu, tapi jangan membeda-bedakan pasiennya,” kata Ahmad. – Rappler.com