• December 4, 2025
Apa yang terjadi dengan rekomendasi Simposium 1965 setelah acara kompetitif tersebut?

Apa yang terjadi dengan rekomendasi Simposium 1965 setelah acara kompetitif tersebut?

JAKARTA, Indonesia—Diselenggarakannya Simposium “Anti-PKI” yang dilakukan sejumlah purnawirawan TNI dan ormas Islam menimbulkan pertanyaan. Bagaimana dengan rekomendasi yang disusun Tim Simposium Nasional 1965 sebelumnya?

Pertanyaan itu dilontarkan wartawan kepada Ketua Simposium Nasional 1965, Agus Widjojo, yang turut hadir dalam simposium yang berkompetisi di Balai Kartini, Jakarta, pada Rabu-Kamis, 1-2 Juni.

Agus mengatakan keputusan rekomendasi diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah.

“Itu untuk pemerintah karena pada akhirnya menjadi masukan bagi rekomendasi pemerintah untuk merumuskan kebijakannya. Semua untuk satu poin rekomendasi. “Seluruh kewenangan pengambilan kebijakan ada pada pemerintah,” kata Agus.

Ia mengatakan, tim simposium sebelumnya menyerahkan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan penggabungan kedua rekomendasi tersebut nantinya.

“Sinergi merupakan kebijakan terbaik untuk berdamai dengan masa lalu dan memiliki masa depan yang lebih baik,” ujarnya.

Simposium Nasional tahun 1965 sebelumnya dilaksanakan pada pertengahan bulan April di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Simposium ini menghadirkan para korban tragedi 1965, penyintas dan juga perwakilan pemerintah.

Rekomendasi yang panjang

Sementara itu, tim perumus Simposium 1965 sedang menyelesaikan rekomendasi untuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Menurut sumber Rappler, setidaknya ada empat poin rekomendasi yang dihasilkan.

  • Pertama, negara diminta mengakui kekerasan tahun 1965. Kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan sistematis yang terjadi sebelum dan sesudah tahun 1965 yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
  • Kedua, negara harus menyampaikan penyesalan atas apa yang terjadi pada tahun 1965.
  • Ketiga, rehabilitasi umum bagi seluruh tapol, termasuk mereka yang mendekam di kamp Pulau Buru.
  • Keempat, pembentukan panitia ad hoc presiden yang akan dikukuhkan dengan keputusan presiden. Komite ini tidak memiliki bias terhadap proses hukum yang sedang dan sedang berjalan. Seperti upaya hukum yang saat ini dilakukan Komnas HAM.

Dibandingkan dengan hasil International People’s Tribunal (IPT) tahun 1965 di Den Haag, Belanda, yang diselenggarakan pada bulan November 2015, hasil rekomendasi tim perumus hampir mendekati harapan para korban dan penyintas.

Hasil sementara IPT 1965 menyatakan pelanggaran HAM berat dinyatakan terjadi setelah peristiwa 1965. Indonesia bertanggung jawab, seperti halnya negara-negara lain yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

IPT 1965 atau disebut juga Mahkamah Rakyat Internasional menyimpulkan bahwa kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 melanggar hukum internasional. Pada saat itu, Indonesia mendorong pelanggaran hak asasi manusia ini melalui militernya, dengan rantai komando militer yang terorganisir dengan rapi dari atas hingga bawah.

Namun keempat poin rekomendasi tersebut dihasilkan dalam waktu singkat. Dalam proses penyusunan rekomendasi, perdebatan antar anggota tim perumus dari berbagai unsur tidak dapat dihindari.

Menurut sejarawan Bonnie Setiawan, salah satu anggota tim perumus, terdapat perdebatan sejarah mendasar mengenai hubungan sebab akibat antara peristiwa 1948 dan 1965.

Pada tanggal 18 September 1948, menurut catatan pemerintah saat itu, terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memakan korban jiwa di Madiun, Jawa Timur. Puluhan pemuka agama dikabarkan menjadi korban.

Kemudian pecahlah peristiwa 1 Oktober 1965, ketika ratusan ribu hingga jutaan anggota PKI beserta simpatisannya diburu, dieksekusi, dan dipenjarakan. Jumlahnya bahkan diperkirakan mencapai 1 juta.

Menurut Bonnie, ada anggota tim perumus yang mengatakan peristiwa 1948 dan 1965 ada kaitannya. Peristiwa tahun 1965 dianggap sebagai sebab akibat dari peristiwa tahun 1948.

Namun Bonnie sendiri menyatakan sikapnya bahwa peristiwa 1948 diselesaikan oleh negara melalui surat keputusan pemberian grasi kepada PKI yang ditandatangani pada 7 September 1949 oleh Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo.

Ia juga menambahkan, korban dalam peristiwa Madiun saat itu berasal dari dua pihak. Kelompok PKI dan kyai.

Terkait perdebatan tersebut, anggota tim perumus lainnya, Agus Widjojo, memberikan keterangan berbeda mengenai klausul tersebut. Menurutnya, para anggota tim sepakat bahwa tujuan Simposium 1965 adalah untuk mengetahui sejarah sebelum dan sesudah tahun 1965. Sejak tahun 1948.

Mungkinkah pemerintah juga menerima rekomendasi simposium kompetitif ini?

Juru Bicara Presiden Jokowi, Johan Budi, sehari sebelumnya mengatakan, Presiden tidak menutup kemungkinan akan merekomendasikan simposium tandingan tersebut. Menurut Johan, presiden akan menerima masukan yang mendukung atau menentang.

Keinginan Presiden Joko Widodo adalah menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di masa lalu, kata Johan media.

Namun, lanjutnya, Jokowi tidak akan menerima begitu saja rekomendasi yang keluar dari simposium tandingan tersebut.

Johan menegaskan, rekomendasi simposium kompetitif akan terus dikaji dan dicermati seperti rekomendasi simposium sebelumnya.

“Presiden akan mendengarkan, menganalisa (rekomendasi) dan kemudian mengumumkan keputusannya. “Jangan sampai ini menjadi masalah yang berulang,” ujarnya.

Menolak rekonsiliasi dan penyesalan atas tragedi pembantaian tersebut

Meski pihak Istana menyatakan akan mempertimbangkan kedua versi rekomendasi tersebut, namun tampaknya proses sinergi tersebut tidak akan semudah membalikkan tangan. Sebab, para pembicara yang hadir pada simposium tandingan tersebut menolak permintaan maaf dari pemerintah.

Letjen Purnawirawan Kiki Syahnakrie, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, dan Cendekiawan Besar Forum Pembela Islam Rizieq Shihab yang hadir dalam acara tersebut mengatakan, tidak akan ada rekonsiliasi jika tidak berdasarkan Pancasila.

Kelompok ini bahkan menyerukan perang dan pemecatan pimpinan tertinggi negara ini jika permintaan maaf tersebut disampaikan.

“Rekomendasi ke pemerintah jangan minta maaf, ini juga simposium. “Pasukan kami siap berperang,” kata Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zen.

Lalu mampukah Jokowi mengambil keputusan atas rekomendasi yang memberikan keadilan bagi kedua kubu dengan segala risikonya? —Rappler.com

Baca laporan lengkap Rappler pada Simposium Nasional 1965: