• November 28, 2025
Para antropolog Amerika sangat antusias dengan keberagaman di Indonesia

Para antropolog Amerika sangat antusias dengan keberagaman di Indonesia

Ia optimistis Pilkada 2018 akan lebih damai dibandingkan Pilkada Jakarta

YOGYAKARTA, Indonesia – Antropolog Amerika Robert W Hefner optimistis dengan kondisi Indonesia. Di tengah masyarakat yang terpecah belah, khususnya pasca Pilkada Jakarta, akademisi bergelar guru besar ini melihat hal positif yang kemudian menguatkan kalangan masyarakat sipil di Indonesia dalam melawan sentimen anti etnis atau anti ras tertentu. Menurutnya, hal tersebut tidak terlihat pada masyarakat Amerika yang saat ini sedang menghadapi gelombang sentimen anti agama, ras, dan anti imigran yang cukup kuat.

Guru Besar Antropologi Universitas Boston ini mengaku optimistis Pilkada 2018 akan digelar secara demokratis. Menurutnya, kondisi yang terjadi pada Pilkada Jakarta bisa saja terulang oleh peserta Pilkada lainnya di Indonesia. Tapi itu mungkin tidak akan muncul di banyak tempat. “Saya cenderung berpikir bahwa politisasi atau instrumentalisasi isu etnis-agama serupa di Jakarta akan terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. “Satu atau dua mungkin, tapi saya masih optimistis tidak,” kata Robert W Hefner usai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Populisme Keagamaan di Amerika Serikat dan Indonesia di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat malam, Oktober 27 Tahun 2017. Diskusi tersebut merupakan bagian dari agenda diskusi bulanan Institute for International Studies (IIS), Departemen Hubungan Internasional UGM

Dilihat dari sudut pandang antropologi, akademisi yang meneliti gerakan Islam di Indonesia pasca reformasi ini mengatakan, masyarakat Indonesia sudah cukup matang dalam memandang peristiwa. “Sebenarnya sudah sangat matang dibandingkan banyak negara, salah satunya adalah negara saya,” kata Rob yang tinggal di Amerika Serikat.

Menurut dia, kedewasaan sudah terlihat di Pilkada Jakarta. Hampir 30 persen pemilih dari komunitas Muslim memilih Ahok setelah beberapa gelombang protes muncul. “Umat Islam di Indonesia sangat beragam. Pada Pilkada Jakarta kemarin. Pernyataan Pak Ahok sejujurnya salah. “Jujur saja, dalam kondisi politis, 27 persen atau lebih masyarakat Muslim yang dikotomis masih memilih Kristen dan Tionghoa, menurut saya itu mencerminkan kedewasaan yang baik,” kata Rob yang fasih berbahasa Indonesia.

Selain kedewasaan, masyarakat sipil hingga umat beragama juga mempunyai pandangan yang sama terhadap gagasan kebangsaan di Indonesia. Rob mengatakan, sikap dua pilar masyarakat sipil di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sangat positif dalam menjawab tantangan kelompok yang tidak percaya pada nasionalisme Indonesia.

“Meskipun sebagian besar dari mereka mungkin tidak memilih Ahok karena alasan tertentu, sebagian besar dari mereka melihat fenomena yang sedikit mengkhawatirkan di Indonesia. “Pasca Pilkada, ada upaya di berbagai bidang untuk menghadapi tantangan intoleransi dan masyarakat yang tidak percaya pada nasionalisme Indonesia,” lanjut akademisi yang telah menulis sejumlah buku, termasuk judul Civil Islam.

Akademisi yang juga meneliti komunitas Hindu Tengger di kaki Gunung Semeru pada tahun 1978 ini melihat semangat yang sama pada kelompok agama lain seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Menurutnya, kondisi ini akan menjadi modal untuk mencegah intoleransi dan sentimen negatif yang mungkin muncul kembali akibat penggunaan suku dan agama sebagai sarana untuk mencapai kepentingan.

Selain persoalan Pilkada, Rob melihat saat ini ada upaya terpadu dari masyarakat sipil untuk menumbuhkan keberagaman dan semangat kebangsaan. Meski belum menjadi gelombang, keinginan tersebut juga terlihat kuat di mayoritas masyarakat sipil beragama, seperti NU dan Muhammadiyah. “Bahwa ada kepercayaan dari masyarakat mayoritas yaitu umat Islam, bahwa kita sebagai umat Islam harus bekerja untuk negara kita. “Jangan sampai ada pihak luar seperti misalnya terorisme, atau orang dalam Indonesia yang menggantikan Indonesia,” ujarnya.

Menurut Rob, keinginan dan gerakan masyarakat sipil merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dibandingkan negara lain seperti Amerika yang juga sedang terpecah belah karena sentimen ras, agama, etnis, dan imigran. “Di Indonesia, optimismenya sedikit lebih besar (dibandingkan Amerika). Karena ada pilarmasyarakat sipil “yang memandang gagasan Indonesia sebagai cita-cita, yang bisa dicintai, yang tidak bertentangan dengan cita-cita agama yang sebenarnya,” lanjut Rob.

Namun dari berbagai persoalan perpecahan dan penyebabnya, Rob mengaku belum menemukan solusi untuk mencegah perpecahan akibat media sosial. Teknologi, yang di satu sisi dipandang sebagai alat untuk mencapai demokrasi yang lebih bermakna, juga digunakan untuk tujuan-tujuan yang sangat bertentangan dengan demokrasi dan kebangsaan.

“Saya tidak berbicara tentang Indonesia sebagai contoh utama, tapi negara saya dan munculnya wacana anti-Muslim, anti-imigran, anti-Meksiko, dari situlah asalnya. Hal ini tidak disebabkan oleh media massa konvensional, namun karena adanya pengalaman segregasi media. Saya serius melihat, ada juga berita bohong yang terjadi di Jakarta. “Ini adalah tantangan terhadap demokrasi dan keberagaman yang harus dipenuhi, dan saya tidak tahu caranya,” ujarnya. —Rappler.com

slot online gratis