• September 30, 2024

Pentingnya Pilkada Serentak 2015 dan Skandal ‘Papa Minta Saham’

Hasil Pilkada 2015 akan menentukan apakah kita akan memiliki pemimpin yang bersih dan mampu membangun daerahnya, atau akan menghasilkan pemimpin berkualitas yang berakhir pada jerat kriminal korupsi.

Perdebatan terhangat di ruang perundingan Konferensi Perubahan Iklim, atau Conference of Parties (COP) 21, di Paris adalah mengenai hal terpenting: Uang.

Pada tahun 2009, negara-negara kaya berjanji untuk memobilisasi US$100 miliar untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim pada tahun 2020.

Apakah uang swasta termasuk dalam pendanaan ini? Apakah itu hibah atau pinjaman? Bagaimana dengan menggunakan uang dari negara-negara kaya? Badan multilateral? Badan Pembiayaan Pembangunan? Berapa biaya mitigasinya? Berapa biaya kustomisasinya?

Berapa keuntungan yang didapat Indonesia dari dana tersebut mengingat kita adalah negara besar yang menjadi paru-paru dunia dengan luas hutan 130 juta hektar?

Uang uang uang. Inilah salah satu topik penting yang dibahas pada COP 21.

(BACA: Blog LANGSUNG: Konferensi Perubahan Iklim COP 21)

Saya mengikuti proses perundingan di COP 21 sambil memantau sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terkait kasus “Papa minta saham”, kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur Sumut dan istri, serta persiapan menghadapinya. pemilihan umum daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2015.

Mengetahui negosiasi uang di COP 21 berlangsung alot, saya berpikir: “Kalau tidak ada korupsi, kalau kepala daerah yang kita pilih adalah sosok yang berintegritas dan visioner, kita tidak perlu capek-capek menunggu uang dari negara-negara kaya yang tidak akan pernah terwujud. Kita bisa memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan uang kita sendiri.”

Perjuangan melawan perubahan iklim merupakan tugas kemanusiaan demi keberlangsungan hidup penduduk bumi. Untuk menyediakan rumah yang sehat dan nyaman bagi generasi mendatang. Untuk anak cucu kita. Meminjam perkataan Presiden AS Barack Obama, perjuangan melawan perubahan iklim adalah solusi dari segala hal, termasuk radikalisme dan aksi terorisme yang terjadi di mana-mana.

Perubahan iklim adalah tugas dan misi kemanusiaan. Haruskah kita bergantung pada negara-negara kaya? Bukankah mereka juga mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia melalui perusahaannya?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pertengahan tahun ini mengumumkan ada 56 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum di KPK. Mereka terdiri dari gubernur, wakil gubernur, walikota, bupati, dan wakil bupati.

Rata-rata mereka terjerat kasus penyalahgunaan wewenang, baik dalam pengelolaan anggaran dan aset daerah, maupun penerimaan uang ilegal terkait perizinan di daerah.

Lembaga Swadaya Masyarakat Antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), mengungkapkan, pada tahun 2014 kerugian akibat tindak pidana korupsi Mencapai Rp 529 triliun.

Dalam satu kasus yang melibatkan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dan istrinya saja, ada dugaan kerugian sebesar Rp2 triliun.

Katakanlah perhitungan ICW benar. Kalaupun salah, jika benar 50 persen, maka jumlah uang yang dikeluarkan untuk pembangunan dan kegiatan penting bagi kelangsungan umat manusia dan kemanusiaan, serta pelestarian lingkungan akan hilang sebesar Rp 260 triliun.

Jika hal ini tidak terjadi, Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak perlu berkeliling dunia untuk berbicara,”Itu milikmu peluang”, atau “Silakan berinvestasi”atau “Silakan datang ke Indonesia”.

Sigit Priadi, Direktur Jenderal Pajak, tak perlu mundur karena merasa target pajak gagal.

Kita dengan kekayaan bumi dan pikiran kreatif masyarakat Indonesia dapat membangun negara yang lebih besar dengan kekuatan kita sendiri dan kerjasama dengan pihak asing dalam semangat kesetaraan.

Hal inilah yang membuat saya berpikir, pemilukada serentak tanggal 9 Desember 2015 akan sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Pilkada yang melibatkan lebih dari 100 juta pemilih di 260 kabupaten, kota, dan sembilan provinsi akan menentukan berhasil tidaknya kita memilih pemimpin daerah yang bersih, berwibawa, dan mempunyai visi membangun Indonesia yang lebih baik.

Pilkada serentak tahun 2015 yang berlangsung di 32 dari 34 provinsi akan tercatat dalam sejarah bukan karena kita bisa menyelenggarakan pemilu serentak secara nasional dan relatif kompleks di dunia. Jika ini tujuannya, Komisi Pemilihan Umum (GEC) dan pemerintah hanya bisa bertekuk dada untuk bisa sukses penyelenggara acara (EO) pemilu dan pemilu lokal.

Yang lebih penting dari ini adalah kualitas implementasi dan hasil. (MEMBACA: survei Rappler: Pilkada Serentak 2015)

“Pilkada penting sebagai ekspresi dan harapan masyarakat akan kehadiran pemimpin yang bisa mensejahterakan daerah,” kata Ketua Harian Transparency International Indonesia (TII), Natalia Soebagjo, saat saya hubungi, Senin pagi.

Ia mengingatkan, pilkada serentak menghadirkan tantangan untuk menjamin aspek keadilan dan kejujuran.

Data Lembaga Konstitusi dan Demokrasi menunjukkan, ada 14 calon kepala daerah dan tiga calon kepala daerah yang terpidana korupsi akan mengikuti pemilu kali ini.

Akankah para pemilih menyerahkan masa depan mereka kepada mereka? Dan mengambil risiko bahwa pemimpin daerah bukan kelas yang lebih baik dari nama-nama yang disebutkan dalam skandal “Papa Minta Saham”?

Di Paris, saya mempelajari informasi dari ruang perundingan pada COP 21, dan menelusuri lokasi-lokasi yang menjadi sasaran serangan teroris mematikan pada 13 November 2015. Dunia semakin berkembang dengan ancaman dan tantangan yang semakin kompleks.

Ancaman dan tantangan tersebut harus disikapi oleh para pemenang Pilkada Serentak tahun 2015 bersama seluruh pemimpin dan masyarakat Indonesia. —Rappler.com

BACA JUGA:

 Uni Lubis adalah jurnalis senior dan Eisenhower Fellow. Dapat disambut di @UniLubis.

Pengeluaran Sidney