Hadits LGBT: Ikuti Tifatul atau Muslim-Bukhari?
- keren989
- 0
Masih ingatkah Anda dengan tweet Tiffie, sapaan netizen untuk mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, tentang LGBT beberapa waktu lalu? Ia mengutip hadis riwayat Ahmad bin Hanbal (w. 855-56 M).
Isinya sebagai berikut: “Nabi SAW bersabda: Siapapun yang kamu temukan melakukan perbuatan Luth (homoseksual), maka bunuhlah dia.
Tweet tersebut langsung membuat heboh Twitterland. Pendukung kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) langsung menuding Tiffie menyebarkan ujaran kebencian. Namun jelas tidak bagi kelompok anti-LGBT. Mantan Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu akhirnya menghapus cuitan bermasalah tersebut sembari membagikan artikel bernada serupa.
#RefleksiJumat:
..siapa yang berzina dan pasangannya serta barang siapa yang menyetubuhi binatang, maka dia dan binatang itu dibunuhnya ~ HR. Ahmed.— Tifatul Sembiring (@tifsembiring) 25 Februari 2016
Sebagai pembenaran, hadis ini memang ampuh. Meminjam “tangan nabi”, Tiffie membuat pesannya eksplisit dan vulgar; ajakan untuk membunuh siapapun yang dianggap meniru adat istiadat kaum Luth. Perintah ini tidak bisa dianggap enteng mengingat kuatnya posisi hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah Al-Qur’an bagi umat Islam.
Sayangnya, saya tidak menemukan satupun orang yang mencoba mengkritisi posisi hadis ini. Menurut saya, ketidakhadiran ini memberi kesan konfirmasi tidak langsung atas kebenarannya.
Sekilas membaca tweet ini, saya berpikir, “Kalau ingin menjelek-jelekkan kelompok LGBT, kenapa Tiffie mengambilnya dari Imam Ahmad? Kenapa tidak dari Bukhari (w. 870 M) atau Muslim (w. 875 M)? , manakah yang dianggap sebagai karya paling otoritatif dalam dunia narasi hadis di kalangan Sunni?”
Karena “perintah membunuh” ini merupakan upaya yang sangat serius karena menyangkut hilangnya nyawa, maka saya berpendapat bahwa argumentasi tekstual ini hendaknya juga dicatat dalam buku-buku yang dianggap berstatus sah. melampaui keraguan yang masuk akalseperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Apalagi menurut Bukhari dalam Kitab Diyat, Islam hanya memperbolehkan seorang Muslim dibunuh karena tiga alasan; melakukan pembunuhan, meninggalkan Islam (murtad) dan perzinahan (heteroseksual). Bukan karena ulah kaum Luth.
Penelusuran saya menunjukkan bahwa hadis yang ditweet anggota DPR ini tercatat setidaknya dalam 4 buku kompilasi hadis; Musnad milik Ahmad, Sunan Ibnu Maja (w. 887 M), Sunan Abu Dawud (w. 889 M) dan Jami’ al-Tirmidzi (w. 892/93).
Dari sini saya mendapat kepastian bahwa tampaknya hadis Tiffie tidak termasuk dalam kodifikasi dua ahli riwayat hadis: Bukhari dan Muslim. Bukhari dan muridnya, Muslim, diyakini cukup selektif dalam mengumpulkan hadis.
Kehati-hatian mereka mungkin bukan hanya karena banyaknya hadis shahih namun palsu, tapi juga cukup banyak hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dianggap tidak kredibel.
Setahu saya, tidak sembarang orang bisa dipercaya sebagai narator (pemancar) hadis. Ia harus memenuhi kualifikasi berbagai aspek, misalnya ketakwaan, integritas moral, ingatan, kejujuran, dan kedewasaan.
Bukhari-Muslim dikenal tidak kenal kompromi. Mereka tak segan-segan mengekstraksi hadis-hadis yang perawinya bermasalah. Ketelitian ini rupanya membuat karya keduanya – khususnya Bukhari – menempati posisi tertinggi di dunia kolektor hadis. Dikatakan sebagai karya keduanya, Shahihaynidianggap sebagai kitab yang paling benar setelah Al-Qur’an (Asyahhu al-kutub ba’da Al-Qur’an).
Berdasarkan hal tersebut, saya curiga ada yang “salah” dengan hadis Tiffie. Rasa penasaran mendorong saya untuk menelusuri rantai penularan hadis satu per satu (tahun). Abu Dawud menyatakan status hadis ini marfu’yang merupakan hadits yang memang diriwayatkan oleh Nabi – yang dianggap telah disampaikan oleh Nabi.
Fakta ini justru membuat saya semakin penasaran; mengapa sebuah hadis mempunyai status marfu’ dan dikodifikasikan dalam 4 kumpulan hadis ulung namun tidak lolos”pertunjukan” dua dewa Bukhari-Muslim?
Saya akhirnya bisa menebak mengapa ini bisa terjadi. Jika ditelusuri ke atas maka sumber keempat riwayat hadis ini (Ahmad, Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Maja) akan berhimpitan dengan sosok ‘Ikrimah (w. 725 M). Ikrimah mengaku mendapatkannya dari Ibnu Abbas (w. 632 M). Dari sini – menurut Ikrimah – Ibnu Abbas mendengar kabar dari Rasulullah. Tidak ditemukan orang lain – kecuali ‘Ikrimah – yang meriwayatkan hadits (ahad) ini.
Oleh karena itu, dapat dikatakan derajat hadis ini berbeda-beda apabila yang meriwayatkannya banyak orang (mutawatir). Situasi kesendirian ini sesuai dengan jargon kriminal.satu saksi tidak ada saksi‘, satu saksi bukanlah saksi. Siapa yang bisa menjamin kebenaran hadis ‘Ikrimah yang dikutip Tiffie? Bukankah terlalu rapuh jika nasib ribuan orang yang berbeda orientasi seksual ditentukan oleh hadis yang derajatnya seperti ini?
Pada aspek lain menjadi menarik untuk menelusuri sosok ‘Ikrimah. Bagi para ulama hadis, beliau bukanlah sosok yang tidak menimbulkan kontroversi. Poros masuk Ensiklopedia Islammengungkapkan bahwa ‘Ikrimah adalah tokoh terkemuka dalam dunia hadis, apalagi ia dianggap sebagai pembela utama hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, sepupu Nabi.
Namun, ia juga merupakan eksponen penting ideologi Khawarij. Dogma aliran ini terkenal sangat radikal dan fanatik, sampai-sampai orang seperti Abd al-Muljam al-Murad dianjurkan nekat membunuh Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi, karena motif politik. . .
Ibnu Sa’d (w. 845 M) dalam al-Tabaqat al-Kubra memuji ‘Ikrimah, budak Ibnu Abbas, disertai kritik tajam mengenai kredibilitas pidatonya. ‘Ikrimah – sebagaimana tercatat dalam Mukhtashar al-Kamil karya al-Maqrizi (w. 1442 M) – pernah dituduh Fitri bin Khalifa berbohong ketika menjelaskan aspek-aspek tertentu bersuci atas nama Ibnu ‘Abbas.
Al Jazari (w. 1429 M) dalam Ghayat al-Nihaya – sebagaimana dikutip oleh Kugle (2010) – menyatakan bahwa beberapa orang seperti ‘Ulba ibn Ahmad, dan Abu ‘Amr ibn al-Alba menolak ‘Ikrimah. Sedangkan Bukhari dan Muslim, keduanya hanya akan mengutip ‘Ikrimah sepanjang perkataannya dibenarkan oleh orang lain. Mujahid dan Ibnu Sirrin bahkan menganggapnya pembohong.
Kontroversi ‘Ikrimah memang mengundang komentar banyak pihak, termasuk Sa’id ibn al-Musayyab (w. 715 M), seorang ahli hukum Madinah. Sebagaimana Kugle (2010) pernah dikutip dari al-Masnu’ fi Marifat al hadits al Mawdu’ karya al-Harawi (w. 1605), Said mengatakan: “Awas jangan pernah berbohong bagaimana dengan apa yang saya sampaikan sebagaimana ‘Ikrimah berbohong tentang perkataan ‘Ibnu Abbas“. Bahkan dalam kitab tersebut juga disebutkan bahwa Ibnu Sirrin pernah mengatakan hal-hal yang tidak pantas kepada ‘Ikrimah. Saya sendiri merasa malu untuk menyampaikannya disini.
Hipotesis saya adalah Bukhari-Muslim tidak mengakomodasi hadis ‘Ikrimah yang ditweet Tiffie karena dua alasan; sosoknya masih diselimuti kontroversi, dan belum adanya perawi hadis kredibel yang hadir dan menyaksikan Ibnu Abbas meriwayatkan hadis tersebut kepada ‘Ikrimah.
Setiap orang berhak menggunakan klaim apa pun untuk membenarkan pendapat mereka, seperti halnya Tiffie. Mengenai hadis Ikrimah, saya sangat terkesan dengan kehati-hatian Bukhari dan Muslim – dua orang yang kredibilitasnya dianggap sempurna oleh kaum Sunni. Jika keduanya enggan menerima hadis ini karena alasan yang masuk akal, siapakah saya yang berani melewati keduanya.
Jadi terserah anda mau ikut Tiffie atau Muslim-Bukhari? —Rappler.com
Aan Anshori adalah koordinator Jaringan Anti Diskriminasi Islam (JIAD) Jawa Timur. Saya pernah mengantri di Tambakberas Jombang dan Kedungmaling Mojokerto.
BACA JUGA: