• May 2, 2025

Tumbilotohe, tradisi ramah lingkungan menjelang Idul Fitri bagi warga Gorontalo

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Tradisi tersebut telah dilakukan sejak abad ke-15 dan bertujuan untuk menunjukkan apresiasi kepada masyarakat yang telah berpuasa.

GORONTALO, Indonesia – Perayaan Idul Fitri tinggal menghitung hari lagi. Di Gorontalo, warga mempunyai tradisi khusus menyambut perayaan Idul Fitri yaitu “Tumbilotohe”.

Dalam bahasa Gorontalo, bunga berarti menginstal dan mengaku adalah lampu. Jadi bisa diartikan Tumbilothe, yaitu malam hari saat lampu menyala. Tradisi ini sudah dilakukan sejak abad ke-15.

“Tumbilotohe dimulai dari malam hari, setelah salat Maghrib hingga menjelang subuh,” kata salah satu warga Gorontalo, Hasrul Eka Putra saat ditemui Rappler, Sabtu, 2 Juli.

Di daerah Bolaang Mongondow (Bolmong), tradisi ini diberi nama “Monuntul” yang berasal dari kata “tuntul” yang berarti alat penerangan. Dibandingkan dengan “Tumbilotohe”, tradisi di kedua tempat tersebut memiliki makna yang serupa.

Tradisi malam memasang lampu ini dilakukan selama 3 malam berturut-turut dan akan berakhir pada malam takbir.

“Monuntul artinya memberi terang. “Selain merayakan Hari Kemenangan, tradisi ini juga sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat yang berpuasa,” kata Chairun Mokoginta, budayawan di Bolmong.

Dijelaskannya, “Monontul” sudah menjadi kearifan dan budaya lokal di Bolmong.

Konsep ramah lingkungan

Sementara di Gorontalo, pemerintah daerah bekerja sama dengan Forum Masyarakat Hijau (FKH) Gorontalo. Mereka kemudian mengadakan festival Tumbilotohe.

Festival ini menampilkan partisipasi setiap kota dan kecamatan untuk membuat tumbilothoe terindah, kreatif, dan ramah lingkungan. Biasanya warga menggunakan minyak tanah untuk membuat penerangan. Namun sejak tahun 2012, pemerintah daerah telah mengimbau warganya untuk menggunakan listrik, karena saat itu harga minyak tanah sedang meroket.

Namun FKH mengaku ingin membuat sesuatu yang berbeda. Sejak festival digelar tahun lalu, FKH mengajak warga membuat tumbilotohe dengan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan.

Perwakilan FKH mengatakan penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar mahal dan menimbulkan polusi. Sedangkan listrik merupakan pemborosan energi.

“Jadi sejak tahun lalu kami sudah membuat tumbilothoe hijau. Selain mudah didapat, bahannya juga bisa didaur ulang. “Bahan ini bisa didapat dari alam,” kata Awaludin.

Sedangkan tahun ini panitia mengumpulkan seluruh lampu yang dibuat pada festival tahun lalu. Lampu-lampu tersebut dikumpulkan di Taman Moodu Kota Gorontalo.

Lampu-lampu tersebut kemudian ditata dan dipajang kepada pengunjung. Tumbilotohe yang ramah lingkungan, kata Awaludin, terbuat dari cangkang kimia atau cangkang raksasa. Lampunya juga bisa terbuat dari bambu, pepaya, kelapa, dan buah maja.

Bahan bakarnya diambil dari getah pohon damar, minyak kelapa yang dicampur air, etanol, dan minyak nilam, ujarnya.

Sementara itu, tradisi malam mereka memasang lampu dihidupkan kembali di Bolmong dengan menggunakan sampah plastik dan kaca, seperti lampu dari botol air mineral bekas dan minuman energi.

“Ribuan gelas dan botol plastik berhasil dikumpulkan. Kemudian mereka diberi kapak lalu dikumpulkan di lapangan. “Di tengahnya ada miniatur masjid yang terbuat dari bambu dan janur kuning,” kata Kepala Desa Passi di Bomong, Delianto Bengga.

Saat malam tiba, akan terlihat sangat indah.

Tradisi Tumbilothe dan Monuntul dilakukan setiap tahun. Selain menjadi atraksi wisata, tradisi ini menjadi kearifan lokal dan mendorong warga untuk bergotong royong di penghujung Ramadhan. – Rappler.com

BACA JUGA:

Hk Pools