• September 22, 2024

Kunjungi Masjid Indrapuri, bekas masjid candi di Aceh

BANDA ACEH, Indonesia — Meski terik matahari, tak menyurutkan semangat Teungku Hanif. Pria berusia 66 tahun itu sedang berjalan-jalan di sekitar halaman Masjid Tuha Indrapuri. Hari itu, Minggu 10 Juni 2018, ia mengenakan batik berwarna merah muda dan peci berwarna putih.

“Masjid ini dulunya adalah kuil,” kata Teungku Hanif mengawali ceritanya kepada Rappler. Ia merupakan warga Desa Indra Puri, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, tempat masjid bersejarah itu berada. Lokasi masjid berjarak sekitar 150 meter dari Jalan Nasional Medan – Banda Aceh.

Masjid Tuha Indrapuri, awalnya merupakan pura dari kerajaan Hindu Lamuri yang menjadi tempat peribadatan sekitar abad ke-12. Menurut sebuah hikayat, kerajaan Hindu Lamuri pernah terlibat perang dengan pasukan bajak laut dari Tiongkok.

Perang tersebut kemudian dimenangkan oleh Kerajaan Lamuri dengan bantuan Meurah Johan, Pangeran Lingga (Gayo) kerajaan Islam. Setelah itu, Meurah Johan menjadikan Kerajaan Lamuri beragama Islam. Kuil tersebut diubah menjadi masjid, tempat ibadah umat Islam.

Bukan semen tapi telur

Pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, sultan di puncak kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam, sekitar tahun 1607-1636 M, masjid ini dibangun kembali di atas bangunan candi.

Bekas pura di masjid ini berdiri di atas lahan seluas 33.875 meter persegi. Candi ini terdiri dari empat tingkat. Ketinggian setiap tingkat mulai dari 4 meter hingga 2 meter. Pada awalnya, banyak dinding bangunan candi yang runtuh. Saat direnovasi sekitar tahun 1992, tembok tersebut dibangun kembali oleh warga sekitar dengan menggunakan semen.

Aslinya bukan semen, tapi telur, kata Teungku Hanif. Saat itu, kata Teungku Hanif, banyak bangunan candi yang roboh dan rusak. Kemudian disemen kembali ke bentuk aslinya.

Pada setiap dinding bangunan candi dahulu terdapat gambar-gambar relief. Belakangan, ketika candi diubah menjadi masjid, reliefnya dihilangkan.

“Menurut cerita ayah saya, dulu di dinding ada relief, ada gambar berbentuk naga, bukan patung tapi gambar. Lalu ketika masjid itu dibangun, gambar itu dihapus dengan semen, kata Teungku Hanif.

Bangunan masjid dari kayu didirikan di tingkat keempat. Luas masjid kurang lebih 15×15 meter. Masjid ini memiliki 36 tiang kayu. Dinding masjid merupakan tembok atau dinding anak tangga candi tingkat keempat. Pintu masuk ke masjid ini ada dua, satu di utara dan satu lagi di timur.

Kayu untuk bangunan masjid, kata Teungku Hanif, diangkut dari hutan dengan menggunakan gajah. Oleh karena itu, di sebelah selatan bekas bangunan candi terdapat tempat untuk naik ke tingkat atas candi tanpa tangga.

“Dulu di sebelahnya ada tangga gajah, datar, tidak ada tangganya. Ini khusus untuk gajah. Kayu untuk pembuatan masjid diambil dari gunung, kayunya diambil gajah, kata Teungku Hanif.

Selain kayu penyangga, sebagian besar bangunan masjid sudah diganti. Misalnya saja atap yang dulunya terbuat dari daun, kini sudah diganti dengan seng. Menurut Teungku Hanif, penggantian atap seng ini awalnya dilakukan saat Belanda menguasai Aceh. Atap masjid terdiri dari empat tingkat, dan tidak mempunyai kubah.

Lantai masjid kini sudah ubin. Tempat duduk khatib untuk berdakwah terbuat dari telur dan mempunyai empat tingkat. Namun, kini tempat tersebut sudah tidak digunakan lagi.

Salah satu masjid tertua di Asia Tenggara

Menurut Teungku Hanif, dulunya ada lonceng Tionghoa yang tertinggal di masjid dari bangunan kelenteng. Ketika kuil diubah menjadi masjid, lonceng Tiongkok digunakan sebagai alat untuk menunjukkan waktu sholat. “Tapi sekarang loncengnya sudah diambil, kita tidak tahu lagi di mana letaknya,” kata Teungku Hanif.

Di depan masjid terdapat dua buah kolam yang dulunya digunakan untuk berwudhu. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga digunakan sebagai benteng pertahanan pada masa perang melawan Belanda. Di sana, Sultan terakhir Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Muhammad Daud Syah dinobatkan pada tahun 1878 Masehi.

Sejarawan Aceh Husaini Ibrahim mengatakan Masjid Tuha Indrapuri merupakan salah satu masjid tertua di Asia Tenggara. Dasarnya, kata dia, karena Islam pertama kali masuk ke nusantara melalui Kerajaan Perlak, kemudian Kerajaan Samudera Pasai. Keduanya berlokasi di Aceh.

Menurut Ibrahim, peradaban Hindu di Aceh hilang ketika kerajaan Hindu Lamuri dan Inrapurwa ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Aceh Darusalam di bawah pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah.

Seluruh aset milik pemerintahan Hindu Lamuri dirampas. Beberapa bangunan peninggalan kerajaan Hindu kemudian masuk Islam, termasuk Masjid Tuha Indrapuri.

Kini, kata Teungku Hanif, Masjid Tuha Indrapuri banyak dikunjungi wisatawan, khususnya dari Malaysia. Setiap warga sekitar ingin merenovasi atau mengecat masjid, warga dilarang oleh pemerintah setempat. “Katanya tidak boleh dicat karena bangunan bersejarah harus dilihat apa adanya,” kata Teungku Hanif.

Kumandang azan Zuhur berkumandang dari dalam masjid. Tengku Hanif bergegas menuju tempat wudhu di bawah. Setelah wudhu ia harus menaiki tangga kuil sebelum memasuki masjid.

—Rappler.com

situs judi bola online