Pengadilan Negeri Banda Aceh menolak permohonan suntikan mematikan Berlin Silalahi
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Hakim Tunggal Ngatimin mengatakan dalam hukum positif di Indonesia tidak ada euthanasia atau suntik mati.
JAKARTA, Indonesia (DIPERBARUI) – Pengadilan Negeri Banda Aceh menolak permohonan korban tsunami Berlin Silalahi untuk menjalani suntik mati atau euthanasia. Menurut hakim tunggal Ngatimin, tidak ada hukum positif di Indonesia yang membenarkan pelaksanaan euthanasia.
Dalam putusan setebal 24 halaman itu, Ngatimin membacakan argumen lain. Euthanasia merupakan upaya mengakhiri hidup dengan cara penyuntikan yang dilakukan oleh pihak yang diminta sebagai eksekutor.
Kode etik kedokteran tidak mengenal proses euthanasia. Jika melanggar, dokter bisa dikriminalisasi.
Ngatimin juga mengutip beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasemoga Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian. Semuanya tidak memperbolehkan euthanasia yang artinya bunuh diri. Apalagi, bunuh diri merupakan tindakan yang dilarang dalam Islam, agama yang dianut Berlin.
“Tindakan euthanasia juga melanggar hak asasi manusia. Sedangkan dalam agama, kematian adalah takdir, euthanasia pasti haram dalam agama, kata Ngatimin.
Jika permasalahan tersebut berkaitan dengan penyakit kronis yang diderita Berlin, Ngatimin menyarankan agar Berlin menggunakan asuransi kesehatan sosial yang disediakan pemerintah daerah.
“Sekali lagi berdasarkan itu, permohonan pemohon untuk melakukan euthanasia,” ujarnya.
Usai pembacaan putusan, pengacara Berlin dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) akan menggelar pertemuan dengan pihak keluarga dan berunding. Mereka akan memikirkan langkah selanjutnya.
Hanya bisa berbaring
Sebelumnya, Berlin sempat meminta segera disuntik mati karena merasa sedih dengan kesehatannya yang semakin memburuk. Belum lagi ia diusir dari tempat penampungannya di Barak Bakoy, Aceh Besar.
Tetangga Berlin, Habibah dan Puspa Dewi, mengatakan, saat ini kondisi temannya hanya bisa berbohong. Mereka juga menjelaskan, kondisi psikologis Berlin Silalahi sangat memprihatinkan.
“Kami berharap apa yang disampaikan keduanya dapat menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutus permohonan euthanasia klien kami,” kata Safaruddin, kuasa hukum Berlin Silalahi.
Untuk memperkuat keterangan Habibah dan Puspa, Safaruddin mengatakan pihaknya juga telah menyiapkan saksi ahli psikologi pemohon.
“Untuk putusannya, perkara ini diserahkan kepada hakim tunggal,” ujarnya.
Berlin Silalahi, 46 tahun, merupakan korban tsunami yang tinggal di kediaman sementara Barak Bakoy, Aceh Besar. Kondisi kesehatannya yang lumpuh dan sakit-sakitan membuatnya mengajukan permohonan suntik mati ke Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Berlin tidak bisa lagi menghidupi keluarga. Sedangkan istrinya, Ratna Wati, hanya seorang ibu rumah tangga dan tidak memiliki pekerjaan. Oleh karena itu, untuk kehidupan sehari-hari mereka hanya mengandalkan bantuan sesama korban tsunami yang tinggal di Barak Bakoy.
Namun barak tersebut dibongkar dan penghuninya diusir oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar.
“Pemohon sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan kesehatannya,” kata Safaruddin.
Ratna Wati, istri pemohon, menyatakan suaminya mengajukan euthanasia sejak mereka diusir dari barak Bakoy beberapa waktu lalu oleh pemerintah kabupaten Aceh Besar.
“Kami tidak tahu harus tinggal di mana lagi. Sejak barak dibongkar, suami saya tidak bisa lagi berpikir positif. Apalagi suami saya lumpuh dan sakit kronis, ujarnya.
Ratna Wati mengaku siap jika Pengadilan Negeri Banda Aceh mengabulkan permintaan suaminya. Apalagi, permintaan euthanasia merupakan keinginan suaminya sendiri.
“Saya siap menerima jika pengadilan mengabulkan permohonan euthanasia. Selain itu, suami saya berusaha mengobati penyakitnya di beberapa rumah sakit. Termasuk pengobatan desa, kata Ratna Wati. —dengan laporan ANTARA/Rappler