Yuni Widayanti memulai sekolah gratis untuk perempuan buta huruf
keren989
- 0
SOLO, Indonesia – Titik berusaha keras menuliskan sejumlah kata di atas kertas. Meski beberapa kali salah menulis surat, wanita berusia 50 tahun itu tak menyerah. Di usianya yang sekarang, ia baru belajar membaca dan menulis huruf latin di sela-sela kesibukannya bercocok tanam dan membesarkan cucu.
Ia berhenti sekolah saat duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, kemudian menikah muda di usia 15 tahun, dan mengasuh anak serta cucunya hingga kini. Intinya menjalani hidup dalam keadaan buta huruf sebelum akhirnya memutuskan belajar membaca dan menulis enam bulan lalu.
“Saya bersekolah di sini, saya mulai menulis dan membaca. “Sulit kalau sudah tua, kadang lupa,” kata Titik yang kini menjadi siswa sekolah literasi di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Al Hidayah di Desa Sambirejo, Kecamatan Plupuh, Sragen, yang letaknya sangat dekat. jauh . dari rumahnya.
“Sekarang saya tidak malu lagi belajar meski sudah tua, saya ingin pintar.”
Didirikan pada tahun 2011, sekolah nonformal ini dirintis oleh Yuni Widayanti (43 tahun), seorang guru berstatus Wiyata Bakti – guru non-PNS yang mengajar di TK Sambirejo 2. Yuni memulainya sendiri, mulai dari mencari tempat, menyediakan fasilitas, hingga mencari murid.
Ia mulai tinggal di desa tersebut sejak menikah dengan suaminya yang berprofesi sebagai petani di Sambirejo. Semangat sosialnya terharu ketika mengetahui fakta masih banyak warga sekitar kota yang buta huruf dan putus sekolah.
“Saya bersekolah di sini, saya mulai menulis dan membaca. Menjadi tua itu sulit, terkadang Anda lupa. Sekarang saya tidak malu lagi belajar meski sudah tua, saya ingin pintar.”
Pola pikir masyarakat agraris pedesaan yang memandang perempuan hanya sebagai pembantu suami dalam bekerja di ladang dan mengasuh anak, diperburuk dengan tradisi pernikahan dini yang menjadi penyebab banyak anak perempuan putus sekolah di masa lalu.
Yuni memperoleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai angka buta huruf di Kecamatan Plupuh saat itu yang berjumlah lebih dari 3.000 orang. Dia ingin melakukan sesuatu untuk membantu mereka menjadi melek huruf.
Sarjana Pendidikan Bimbingan dan Konseling salah satu perguruan tinggi swasta di Solo ini kemudian mulai mengajar ibu-ibu membaca surat sambil bekerja di sawah. Misalnya, mereka mengeja kata sederhana seperti “Padi” atau “Nasi”.
Di setiap tempat berkumpulnya ibu-ibu, Yuni kerap meluangkan waktunya untuk mengajari mereka. Ia sendiri mendatangi mereka karena umumnya ibu-ibu di desa tersebut enggan datang ke rumah mereka, karena malu dan takut untuk belajar.
“Sangat sulit untuk membuat para ibu belajar. “Mereka merasa tidak perlu membaca dan menulis karena kesehariannya hanya mengurus sawah dan beternak,” kata Yuni.
“Karena niatnya ingin membantu, saya berinisiatif pergi mencari mereka. Aku mengajarimu mengenali alfabet.”
Ibu tiga anak ini kemudian bercita-cita mendirikan sekolah yang mampu menampung mereka, namun dengan kelas yang fleksibel tanpa batasan waktu. Ia memahami bahwa perempuan yang rata-rata berusia lebih dari setengah abad tidak bisa dipaksa belajar membaca dan menulis seperti di sekolah formal.
Kebanyakan dari mereka hanya mempunyai waktu pada sore atau malam hari, yakni jika mereka tidak sedang malas atau lelah setelah seharian membantu suaminya bertani. Kendala terbesar Yuni saat memulai sekolah ini adalah sulitnya mencari siswa.
“Awalnya hanya satu orang yang datang. “Itu saja yang kami syukuri,” kata Yuni.
Untuk memikat mereka, Yuni harus memanfaatkan acara bertema keagamaan, seperti pengajian, sebelum mengajari mereka membaca dan menulis. Cara ini cukup efektif dalam mengumpulkan perempuan-perempuan di desa karena masyarakat di wilayah tersebut homogen beragama Islam.
Terkadang pernyataan agama, seperti “Kewajiban mencari ilmu bagi laki-laki dan perempuan muslim”, lebih efektif mempengaruhi mereka dibandingkan sekedar ajakan lisan.
Selain minat belajar yang sangat rendah, permasalahan lain yang dihadapi Yuni adalah pendanaan. Ia menyadari, mendirikan sekolah nonformal tidak hanya menguras tenaga tetapi juga membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Melihat semangat Yuni yang menjadi relawan membantu pemberantasan buta huruf, satu orang di belakang (Sekretaris Kota) mengizinkan rumah yang tidak ditempatinya digunakan secara gratis untuk sekolah literasi. Sedangkan Yuni hanya perlu memberikan fasilitas dan tutor untuk membantu pekerjaannya mengajar dan membiayai operasional sekolah.
Yuni jelas tidak bisa hanya mengandalkan penghasilannya sebagai guru berstatus Wiyata Bakti yang hanya Rp 100.000 – kini Rp 200.000 ditambah tunjangan sertifikasi tiga bulan sekali.
Untungnya, ia dan suaminya juga mengelola ladang di desa mereka, menanam buah-buahan dan tanaman palawija, seperti semangka, melon, dan cabai, sebagai sumber pendapatan lain. Dari hasil pertanian, Yuni membiayai sekolah literasi.
“Namun, hasilnya tidak selalu bagus. “Kadang melon kebanjiran, cabai busuk karena curah hujan tinggi,” kata Yuni.
Dari satu orang, jumlah siswanya bertambah. Satu demi satu mereka mulai tidak malu untuk belajar, hingga saat ini jumlah siswanya tersebar di 16 kota. Oleh karena itu, kelas membaca dan menulis tidak bisa lagi terkonsentrasi di satu tempat.
Yuni yang kini dibantu sepuluh guru yang seumuran dengan siswanya, berkeliling dari satu kota ke kota lain untuk mengajar. Satu kelompok biasanya terdiri dari 10 orang dalam satu kota.
Yuni merancang program studi sembilan bulan. Peserta mengikuti kelas dasar selama enam bulan, kemudian dilanjutkan dengan kelas lanjutan selama tiga bulan. Namun kelas lanjutan dapat diselesaikan lebih cepat dengan mengikuti kelas intensif selama 33 jam belajar.
“Sangat sulit untuk membuat para ibu belajar. Mereka merasa tidak perlu membaca dan menulis, karena kesehariannya hanya mengurus sawah dan ternak.”
Bagi yang telah menyelesaikan kelas lanjutan akan mendapat Surat Keterangan Melek Huruf (SUKMA). Para alumni masih bertemu setiap bulan untuk terus mengasah kemampuan literasi mereka, mulai dari membaca koran dan buku, hingga menulis dan memahami kalimat yang lebih kompleks.
Hingga saat ini, sekolah literasi tersebut telah meluluskan sekitar 700 orang. Meski sudah lulus, namun kemampuannya tidak sama. Ada yang hanya bisa menulis kata-kata sederhana, namun ada juga yang bisa menulis surat atau puisi.
Mereka yang sudah fasih terlibat dalam penulisan media Pijar, semacam buletin yang dikelola dan diterbitkan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Al-Hidayah untuk mendukung upaya pemberantasan buta huruf perempuan.
Hal ini merupakan upaya untuk mengenalkan budaya literasi kepada perempuan pedesaan agar apa yang dipelajari tidak mudah hilang, mengingat kesehariannya hampir tidak bersentuhan dengan huruf.
Sekolah nonformal ini menyasar kelompok buta aksara berusia 15-59 tahun, meski sebagian besar siswanya adalah ibu-ibu. Semuanya gratis karena Yuni sudah menyediakan kebutuhan di kelas mulai dari buku, pensil hingga kacamata baca. Tidak ada biaya moneter.
Berkat kerja kerasnya yang tanpa pamrih mendidik masyarakat buta aksara, Yuni mendapat apresiasi dari pemerintah setempat pada akhir tahun lalu sebagai salah satu dari 4 perempuan inspiratif di Sragen. Namun, menurutnya, apa yang dilakukannya tidak berarti karena masih banyak masyarakat yang belum melek huruf.
“Masih banyak desa yang belum terbenahi, dan kami terus berupaya agar satu kecamatan bisa bebas buta huruf,” kata Yuni.
Tak hanya memberikan pendidikan literasi, PKBM juga tengah mengembangkan kursus kewirausahaan gratis bagi perempuan usia produktif melalui berbagai keterampilan kerja, seperti menjahit, membatik, dan memasak. —Rappler.com