Penutupan lokasi Dolly tidak menghentikan penyebaran HIV/AIDS
- keren989
- 0
SURABAYA, Indonesia — Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, Minggu 29 November kemarin. Meski demikian, masih banyak pemuda di sepanjang pinggir Jalan Raya Girilaya. Jalan ini merupakan salah satu akses jalan menuju Gang Dolly di Surabaya. Dulu, selain Gang Dolly, jalan ini juga menjadi tempat puluhan rumah pelacuran.
Para pria ini dulunya bekerja sebagai calo di rumah bordil di Gang Dolly dan sekitarnya. Meski Geng Dolly sudah tutup, banyak dari mereka yang masih menjalankan pekerjaannya sebagai calo pekerja seks perempuan (WPS). Bedanya, sebelum perempuan-perempuan ini terlihat di rumah pelacuran, kini hanya calo yang mencari laki-laki sebagai kliennya.
Namun suasana malam itu tidak seramai biasanya. Biasanya, setelah jam 9 malam, puluhan calo tampak tumpah ke Alley Dolly dan jalan-jalan sekitarnya. Namun selama sepekan terakhir, aparat gabungan yang terdiri dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Polri, dan TNI rajin berpatroli setiap malam.
Salah satu warga sekitar Gang Dolly, Andian Budi Raharja menduga, patroli malam tersebut merupakan respons terhadap prostitusi yang kembali marak di wilayahnya, khususnya di Desa Jarak. Selain di Gang Dolly, rumah prostitusi juga tersebar di Kampung Jarak. Lokasinya tidak jauh dari Gang Dolly. Bedanya, tarif pekerja seks perempuan di Kampung Jarak lebih murah dibandingkan di Gang Dolly.
Menurut Andian, sudah sekitar satu bulan perempuan pekerja seks berani menunjukkan dirinya menawarkan jasa secara terbuka. “Saya kaget, WPSnya berani bing lagi,” kata Andian kepada Rappler, Minggu malam.
Namun kehadiran aparat di kawasan sekitar Gang Dolly dan Kampung Jarak tidak menyurutkan niat para calo tersebut. Tak sulit bagi mereka untuk menawarkan jasa pekerja seks perempuan kepada calon klien.
Ciri-cirinya, jika seorang pria memperlambat kendaraannya dan melihat sekeliling seperti sedang mencari sesuatu, maka bisa ditebak pria tersebut sedang mencari teman kencan. Laki-laki dengan perilaku seperti itu biasanya menjadi mangsa para calo.
“Murah, Bos,” biasanya menjadi kalimat pembuka yang digunakan para calo untuk menarik minat para pria yang mencari teman untuk bermalam bersama.
Tutup mulut Dolly, pemerintah lepas tangan dalam penyebaran HIV/AIDS
Meski resmi ditutup sejak 18 Juni 2014, praktik prostitusi di Gang Dolly dan sekitarnya masih banyak dilakukan. Bedanya, jika dulu eksekusi bisa dilakukan langsung di rumah bordil, kini dilakukan di sejumlah penginapan di luar Dolly’s Gang.
Setelah harga disepakati, calo akan mengantarkan wanita pilihan tersebut ke akomodasi yang telah disepakati.
Joris Lato, Koordinator Yayasan Embun, sebuah yayasan yang mendampingi perempuan pekerja seks, mengatakan pasca penutupan lokalisasi Dolly, tidak semua perempuan yang dipulangkan oleh Pemkot Surabaya justru kembali ke daerah asalnya. Banyak dari mereka yang masih tinggal di Surabaya dan masih bekerja sebagai WPS.
“Mereka masih kos di Surabaya. Dan bekerja mandiri, tanpa muncikari,” kata Joris.
Paling-paling mereka hanya bekerja dengan broker. Selebihnya, mereka bekerja sendiri dan mengandalkan langganan lama, atau menampilkan diri melalui jejaring sosial.
Kata Joris, fenomena ini sebenarnya menyedihkan jika dilihat dari sudut pandang pencegahan HIV/AIDS. Pasalnya, keberadaan mereka tidak terlacak karena tersebar di banyak wilayah. Berbeda ketika masih terlokalisasi. Misalnya intervensi pemerintah dalam urusan kesehatan bisa dengan mudah dilakukan.
Mereka biasanya akan diperiksakan kesehatannya ke Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Surabaya setiap bulannya. Penutupan Dolly sama saja dengan menyerahnya pemerintah terhadap penyebaran HIV/AIDS di Surabaya, kata Joris.
Upaya pencegahan penyebaran HIV di Surabaya
Menurut Joris, Yayasan Embun juga melakukan upaya kecil untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS di Surabaya.
Melalui petugas lapangannya, mereka menjangkau tempat-tempat seperti kos-kosan atau tempat hiburan malam yang biasa dijadikan tempat berkumpulnya WPS. Mereka membagikan kondom gratis sekaligus memperingatkan bahaya HIV/AIDS.
“Apa yang kami lakukan dampaknya sangat kecil dibandingkan jumlah WPS yang disalurkan,” kata Joris.
Menurut Joris, seharusnya Pemkot Surabaya mulai memikirkan mencari mekanisme untuk menjangkau WPS yang bekerja mandiri dan tersebar. Sayangnya, ia menilai hingga saat ini belum ada upaya serius dari Pemerintah Kota Surabaya untuk memikirkan mekanisme tersebut.
“Untuk mekanismenya, belum ada. “Jangan heran jika penularan HIV/AIDS meningkat tajam dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Kepala Unit Perawatan Menengah dan Penyakit Menular RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dr. Erwin Astha Triyono.
“Penutupan lokalisasi ibarat bom waktu,” kata Erwin.
Pasalnya, dengan ditutupnya lokalisasi, tim medis tidak bisa memantau kesehatan WPS tersebut. Selain itu, tidak ada jaminan bagi WPS bahwa ketika lokalisasi ditutup, mereka akan berhenti menjadi WPS.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa Timur, penderita HIV pada tahun 2015 berjumlah 14.198 orang.
“Dalam tiga sampai empat tahun ke depan akan terjadi ledakan karena melemahnya pengawasan akibat penutupan lokasi,” kata Erwin.
Sementara itu, Sofiati Sucahyani, Sekretaris Komisi AIDS Surabaya (KPA), meragukan anggapan tersebut. Menurut Sofiati, harus dibedakan antara angka perkiraan dan yang sudah terdeteksi.
Dia mencontohkan, KPA Surabaya saat ini memperkirakan terdapat sekitar 19 ribu orang yang mengidap HIV/AIDS. Kenyataannya, hanya sekitar 9.000 orang yang terlacak.
Jadi masih ada puluhan ribu orang yang belum terlacak, kata Sofiati.
Jadi jika suatu saat nanti jumlah penderita HIV/AIDS bertambah, menurut Sofiati, hal itu bukan karena penutupan lokalisasi, melainkan mereka yang sebelumnya tidak ditemukan akan terjangkau.
Ia juga menolak anggapan pemerintah Kota Surabaya dinilai longgar.
“Di Surabaya ada 62 Puskesmas yang bisa melakukan tes HIV. “Bahkan dari 31 kecamatan di Surabaya, 20 diantaranya sudah memiliki KPA kecamatan untuk menjangkau masyarakat lapisan terbawah,” ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA: