Pengalaman Rebecca Henschke sebagai koresponden asing di Indonesia
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Rebecca menjadi salah satu pembicara pada sesi ‘Beyond the Front Page’ di ‘UWRF 2017’ yang membahas isu-isu nasional dan global
UBUD, Indonesia — Rebecca Henschke yang sudah 12 tahun menetap di Indonesia merupakan jurnalis asal Australia yang mendalami dunia pemberitaan dalam negeri. Indonesia memiliki media yang sangat dinamis, terutama di sektor media on line yang berkembang pesat.
Rebecca bercerita tentang pengalamannya sebagai jurnalis asing di Indonesia dan senang karena masyarakat lokal terbuka untuk menceritakan kisah mereka. Di negara asal mereka, masyarakat cenderung mempunyai pandangan sinis terhadap media dan lebih menarik diri.
“Misalnya saya singgah di sawah dan bertemu dengan seorang petani dan menanyakan pendapatnya tentang Jokowi, dia pasti tidak segan-segan memberikan pendapatnya. “Politisi di Indonesia juga terbuka, saya bisa menghubungi lewat WhatsApp, mereka lebih mau berkomunikasi langsung tanpa perlu repot melalui perantara,” kata Rebecca saat diwawancarai seusai berbicara dalam sesi tersebut. Di Luar Sampul Dari Festival Penulis dan Pembaca Ubud 2017 yang berlangsung pada hari Minggu 29 Oktober 2017 di Museum Neka, Ubud, Bali.
Meningkatkan kualitas berita dalam negeri
Rebecca melihat ada beberapa hal yang masih bisa diperbaiki oleh jurnalis Indonesia dan kondisi pemberitaan dalam negeri. Salah satunya adalah kebiasaan media yang “mengikuti kawanan”.
Rebecca mencontohkan ketika tersiar kabar tentang Jendral Gatot, semua media kemudian memberitakannya, sementara isu-isu lain yang tak kalah penting diabaikan.
“Selain banyak berita yang tidak ada kelanjutannya, media juga harus lebih sering melakukannya menindaklanjuti,” ujar perempuan yang menjabat sebagai Editor BBC Indonesia itu.
Daripada menghadiri konferensi pers, Rebecca mendorong para jurnalisnya untuk mencari tahu isu apa saja yang dibahas dalam acara tersebut, melakukan penelitian dan mengumpulkan data, kemudian mencari orang-orang yang terkena dampak langsung dan berbicara dengan mereka. Hal ini untuk mendapatkan analisa yang lebih mendalam terhadap permasalahan yang ada. “Kita perlu menambahkan argumen dan menjelaskan berbagai hal kepada pembaca. Gali lebih dalam dan jelaskan temuan kami,” lanjutnya.
Rebecca juga berpendapat bahwa jurnalis Indonesia harus lebih tegas terhadap pejabat tinggi mereka dengan mengajukan pertanyaan yang lebih menantang dan sulit.
Sebagai koresponden asing, Rebecca juga menghadapi tantangan dalam proses pemberitaan, seperti rasa curiga dan merasa diawasi saat meliput suatu kejadian.
Indonesia lebih dari Jakarta
Bagi jurnalis asing yang ingin menjadi koresponden, Rebecca mengingatkan agar sadar bahwa Indonesia tidak hanya terdiri dari Jakarta. Ia mendorong jurnalis asing untuk belajar bahasa Indonesia untuk membantu proses pemberitaan dan mendalami negara ini lebih dalam.
“Negeri ini sungguh beragam dan punya banyak cerita untuk diberitakan,” jelas mantan editor Tempo TV itu.
Jurnalis Kepentingan Manusia
Rebecca menganggap dirinya seorang jurnalis yang sangat tertarik dengan cerita ketertarikan manusia, dia suka mewawancarai orang-orang biasa yang terpengaruh oleh suatu peristiwa. Ia tertarik pada perubahan sosial dan kisah-kisah inspiratif tentang orang-orang yang membawa inovasi.
Kini Rebecca dan timnya sedang mengerjakan film dokumenter panjang tentang deforestasi di Sumatera dan dampak yang dialami suku Orang Rimba yang terpencil. Baginya, isu perubahan lingkungan yang terjadi di Indonesia merupakan berita yang sangat penting untuk disampaikan.
“Tidak banyak orang yang fokus pada masalah itu. Saya sangat suka melaporkan masalah lingkungan dalam format secara mendalam, “Lihat dampaknya dan kerugian atau keuntungan yang ditimbulkannya,” pungkas Rebecca.
BACA JUGA:
—Rappler.com