Kisah Komika Muhadkly Acho yang berujung laporan polisi
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Aktor dan komedian Muhadkly Acho tak menyangka akan terjerat kasus hukum karena mengeluhkan fasilitas apartemen yang ia tinggali di Green Pramuka City. Pihak pengembang melaporkan pria berusia 32 tahun tersebut ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Kisruh bermula saat Acho kecewa dengan pelayanan yang diberikan pengembang apartemen Green Pramuka, PT Duta Paramindo dan manajemen PT Mitra Investama. Kekecewaan tersebut ditulis Acho di blog pribadinya dengan judul “Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya” pada tanggal 8 Maret 2015.
Awalnya, saat hendak membeli unit dua kamar di apartemen ini pada 2013, Acho dijanjikan sejumlah hal positif.
“Saat itu di brosur tertulis 80 persen luas lahan akan menjadi kawasan terbuka hijau. Kata tim pemasaran, ada empat tower. Kalaupun ada pengembangan, hanya satu tower yang dilengkapi pusat perbelanjaan, kata Acho saat dihubungi Rappler, Sabtu malam, 5 Agustus.
Ia mengaku membutuhkan suasana hijau di tengah padat dan bisingnya ibu kota. Janji lain yang disampaikan adalah setiap menara akan dilengkapi dengan area parkir dua lantai di area bawah tanah. Parkir menjadi persoalan krusial bagi Acho karena ia menggunakan kendaraan untuk beraktivitas di ibu kota.
Masalah lain yang ditanyakan kepada para pihak pemasaran yaitu mengenai sertifikat. Pengembang mengatakan sertifikat akan diberikan dua tahun setelah pemilik unit membayar pembayaran.
Segalanya tampak ideal pada saat itu. Maka ia memutuskan untuk membeli unit di apartemen Green Pramuka dengan harga sekitar Rp 350 juta.
“Tetapi pada tahap itu tidak ada perkembangan apa pun. “Dengan kata lain, kita beralih ke sana,” katanya.
Saat pindah pada tahun 2014, tidak ada masalah apa pun. Semuanya tampak seperti yang dijanjikan pengembang.
Namun, pada awal Januari 2015, permasalahan mulai muncul. Hal ini disebabkan oleh perubahan peraturan yang ditentukan secara sepihak oleh manajemen. Menurut Acho, perubahan aturan tersebut melanggar janji yang diberikan pengembang dan pemasaran.
Ada lima perubahan aturan yang dicatat Acho. Pertama, pembangunan besar-besaran di kompleks apartemen. Dari yang awalnya hanya membangun satu tower, kini menjadi 17 tower.
“Ini tidak sesuai dengan konsep yang 80 persen kawasannya akan menjadi kawasan terbuka hijau. Saya belum tahu berapa lama 17 tower itu bisa selesai, kata Acho.
Kedua, tentang aturan penggunaan tempat parkir. Dari informasi yang didengarnya dari pihak pengelola, warga hanya bisa memarkir kendaraannya di lantai dua basement. Sedangkan lantai satu akan digunakan untuk menampung kendaraan tamu dan dikenakan biaya parkir per jam sebesar Rp 4.000.
“Akibatnya, jika warga memarkir kendaraannya di sana, mereka juga harus membayar tarif yang sama. “Padahal kami sudah membayar biaya bulanan sebesar Rp 200 ribu,” ujarnya.
Perubahan aturan parkir ini memicu perdebatan dan protes besar di kalangan warga. Bahkan, polisi turun tangan dan memutuskan untuk sementara kembali ke aturan awal, di mana dua lantai basement bisa digunakan untuk memarkir kendaraan penghuni apartemen.
“Namun, yang saya dengar di awal Agustus, komersialisasi lahan parkir akan diberlakukan kembali. Warga tentu saja keberatan. Mengapa kita hanya memperoleh sepertiga lahan, sedangkan dua pertiga lahan lainnya dikomersialkan? Padahal, unit itu milik kami dan sudah kami bayar, katanya kesal.
Aturan berubah ketigaSebab, jika penghuni ingin merenovasi unit apartemennya, maka akan dikenakan biaya berdasarkan daftar tertentu. Acho mencontohkan, jika warga ingin memasang wallpaper di dindingnya, harus membayar izin sebesar Rp 1 juta. Biaya tersebut, kata Acho, belum termasuk biaya pengerjaan wallpaper jika menggunakan jasa orang lain.
Dalam blognya, Acho mempertanyakan daftar biayanya. Apakah itu melibatkan pemerasan atau legal?
“Sesuai ketentuan yang kami informasikan sebelumnya, jika warga ingin melakukan renovasi cukup melakukan deposit sebesar Rp 1,5 juta. “Uang itu untuk berjaga-jaga jika pekerjaan tersebut menyebabkan kerusakan pada unit lain,” ujarnya.
Aturan berubah keempat dan fatal yaitu dalam hal sertifikat. Awalnya, pengembang mengatakan sertifikat bisa diberikan kepada warga dua tahun setelah melunasi pembayaran. Namun, mereka justru menyatakan baru akan memberikan sertifikat jika 17 tower tersebut sudah selesai dibangun.
“Berapa lama kita harus menunggu? Sementara 17 tower tersebut belum diketahui kapan selesainya. “Karena tidak memiliki sertifikat, status unit yang ditempati saat ini tidak jelas,” ujarnya.
Sementara itu, ada pula warga yang ingin memanfaatkan unit tersebut untuk keperluan usaha lain seperti menggadaikan atau menyewakan.
Mengubah kelima, manajemen terus memungut Pajak Bumi dan Bangunan (LBT). Sedangkan mereka bahkan belum memiliki sertifikat.
Pengembang juga membebankan PBB tanpa adanya SPPT (surat pemberitahuan pajak terutang). Cara pemungutan pajaknya juga cukup aneh.
“Mereka hanya bergegas ke bawah pintu. Mereka menentukan angka pajak yang ditagihkan dan uang pembayaran pajak sebenarnya diminta untuk ditransfer ke rekening pengemudi. Saya tidak menerimanya. “Karena yang saya tahu, pembayaran pajak harusnya ditransfer ke rekening pemerintah, bukan rekening swasta,” ujarnya.
Kasus yang aneh
Tulisan di blog Acho rupanya mendapat respon yang cukup luas. Ada sekitar 200 orang yang mengomentari artikel tersebut.
Pengembang sangat marah dan melaporkan Acho ke polisi pada tahun 2015. Ia mengaku tidak mengetahui kalau pihak pengembang sudah melaporkannya ke polisi dua tahun lalu.
“Karena mereka tidak pernah mengajukan keberatan atau menghubungi saya mengenai tulisan yang saya unggah ke blog,” ujarnya.
Setelah bersembunyi selama dua tahun, Acho akhirnya diperiksa di kantor polisi. Acho menanyakan kepada penyidik alasan dirinya dipanggil polisi.
“Menurut penyidik, tulisan saya menimbulkan kerugian. Banyak masyarakat yang awalnya ingin membeli unit di sana akhirnya membatalkan. Ya menurut saya wajar karena itu fakta,” ujarnya.
Polisi kemudian menetapkan Acho sebagai tersangka pada 26 April. Ia pun mengaku tak habis pikir kenapa bisa dijadikan tersangka.
Pasalnya, ia tidak merasa telah mencoreng nama baik siapa pun dalam tulisannya di blog tersebut. Dia tidak menuliskan nama pengelola dan pengembangnya. Acho baru saja menyurati pengelola apartemen Green Pramuka City.
Polisi mendakwa Acho dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE, pasal 310 dan 311 KUHP karena pencemaran nama baik terhadap orang lain. Pelapor menyerahkan tangkapan layar postingan blog Acho dan cuitannya di akun media sosial.
Ia kemudian melayangkan surat kepada pengembang dan manajemen pada 22 Juni agar bisa melakukan mediasi sesuai arahan penyidik kepolisian. Namun, tidak ada tanggapan atas undangan tersebut.
“Jadi, saya kira mereka memang ingin mengkriminalisasi saya melalui pengadilan,” ujarnya.
Terancam penjara
Kini kasusnya sudah berpindah ke Kejaksaan Agung. Saat ini pemeriksaan di Polda Metro Jaya telah selesai dan akan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Meski berstatus tersangka, Acho belum ditahan. Namun jika sudah di tangan penyidik kejaksaan, peluang ditahan terbuka lebar. Acho masih merasa tidak bersalah.
Kasus ini aneh sejak awal karena perbuatan saya tidak memenuhi unsur pencemaran nama baik, ujarnya.
Apalagi, menurut Acho, tulisan di blog tersebut sama sekali tidak bermaksud mencemarkan nama baik. Hal ini hanya sebagai bentuk kritik agar pihak manajemen dapat meningkatkan pelayanannya dan kepada calon pembeli agar tidak tertipu dengan semua yang diiklankan oleh pihak manajemen.
Kasus Acho menambah panjang daftar orang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik. Kasus serupa juga terjadi pada Prita Mulyasari yang dipenjara pada 2009 karena pengaduannya terhadap RS Omni Internasional disebarkan ke masyarakat melalui surat elektronik.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan Prita mendapat dukungan luas. Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang membebaskan Prita. – Rappler.com