Hadirkan Pram di Perpustakaan Anak Bangsa Blora
keren989
- 0
Soesilo Toer, adik dari penulis Pramoedya Ananta Toer, mendirikan Pataba untuk memperingati warisan kakaknya dalam literasi Indonesia
BLORA, Indonesia — Di dinding perpustakaan terdapat tanda bertuliskan: “Perpustakaan Liar”.
“Ini piring hadiah dari pemerintah Blora. “Bukan hinaan tapi apresiasi,” kata Soesilo Toer, adik dari penulis besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Soesilo berupaya menghidupkan kembali rumah masa kecil Pram, begitu ia disapa, di Blora, Jawa Tengah. Rumah keluarga yang dulunya merupakan rumah masa kecil Pram kini dialihfungsikan menjadi Perpustakaan Anak Bangsa (Pataba).
Awalnya perpustakaan ini bernama Pramudya Ananta Toer Anak Blora, sebelum kemudian berubah menjadi Perpustakaan Anak Bangsa yang diambil dari salah satu judul buku terlaris Pram, Anak-anak dari segala bangsa.
“Buku berasal dari pembelian pribadi dan sumbangan. Pram mengajariku untuk tidak mengemis.”
Beberapa koleksi buku tertata rapi di rak-rak yang mengelilingi interior rumah.
“Pataba didirikan pada 21 April 2006, bersamaan dengan meninggalnya Pram,” kata Soesilo saat menjadi panelis diskusi pengelolaan perpustakaan dan arsip dalam rangkaian Pameran Sejuta Buku Malang, di Krida Budaya Jawa. Taman, pada 22 Oktober.
Rumah yang dulunya disebut rumah hantu sekaligus rumah PKI (Partai Komunis Indonesia) ini dibakar massa pada masa revolusi tahun 1965. Namun kini Soesilo ingin mewujudkan Pataba dengan suasana bersahabat, dengan harapan pengunjung bisa menjadikan Pataba seperti rumah sendiri.
“Swalayan. Minuman selalu disediakan untuk pengunjung. “Kalau bacanya lama-lama, aku ajak makan,” kata adik keenam Pram itu.
Bagi pengunjung yang ingin bermalam, disediakan juga ruangan khusus untuk bermalam—ruangan yang digunakan Pram semasa kecil. Di dalam kamar ada foto Pram.
Didedikasikan untuk mengenang Pram, Pataba juga dijadikan tempat mengenang buku-buku koleksi penulis yang dibuang ke Pulau Buru oleh pemerintahan Orde Baru.
Setelah 11 tahun berdiri, perpustakaan yang awalnya hanya memiliki 500 eksemplar buku koleksi pribadi ini kini telah berkembang menjadi 10 ribu eksemplar buku.
“Buku berasal dari pembelian pribadi dan sumbangan. “Pram mengajarkan kami untuk tidak meminta-minta,” kata Soesilo.
Diakuinya, separuh gajinya sebagai dosen Universitas Seventeen Agustus dibelikan buku. Setelah itu semua buku dibawa ke Blora.
Selain itu, Soesilo juga pernah menerima sumbangan buku dari para peneliti dan akademisi asal Jepang dan Amerika Serikat. Ada juga buku sebagai hadiah dari Pram, ujarnya.
Ia mengatakan, selama operasinya, Pataba dikunjungi oleh mahasiswa dan peneliti dari Indonesia, tetapi juga dari seluruh dunia. Tak ketinggalan para peneliti dan penulis dari berbagai belahan dunia.
“Selain Afrika, belum ada yang berkunjung,” katanya.
Namun sejak didirikan 11 tahun lalu hingga saat ini, belum ada satupun tetangga Soesilo yang mengunjungi atau membaca buku. Faktanya, sekitar 10 keluarga di wilayah Pataba merupakan keluarga guru.
“Keluarga guru tidak pandai membaca,” akunya sedih.
Karya Pram yang paling fenomenal, Bumi Manusia, menurut Soesilo, sudah puluhan kali dicetak di luar negeri. “Saat saya berpameran di Blora, tidak ada yang membeli,” ujarnya sedih.
Ciptakan pekerjaan dari pembersihan
Menurutnya, dirinya dan Pram memiliki perbedaan karakter yang mencolok. Pram di mata Soesilo adalah sosok yang selalu optimis, sekaligus pesimis.
Pram lahir saat keluarga mereka kaya dan sejahtera, sedangkan Soesilo lahir saat bisnis keluarganya bangkrut.
Soesilo sendiri juga merupakan sosok yang unik. Ia menyandang gelar “Rektor” atau “Pertandingan Kotor”.
Setiap hari ia mencari dan menemukan berbagai barang berharga yang kemudian ia jual kembali. Ia mengaku menikmati pekerjaan tersebut.
“Dari kecil saya suka memulung,” aku Soesilo.
Bahkan pekarangan rumahnya dibangun dengan pecahan keramik hasil pemulungan selama delapan tahun. Ia memiliki kenangan menarik dan sejarah aktivitas memulung sehari-harinya.
Ia berencana menggelar pameran karya pembuatan umpannya. Ia tak mau kalah dengan mendiang sang kakak sebagai produser karya.
“Saya harus mengalahkan Pram. “Kalau di bidang sastra saya kalah,” kata Soesilo. —Rappler.com
BACA JUGA: