Juara Liga Final Juventus vs Real Madrid: Ini waktu yang tepat
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Untuk ketiga kalinya, Gianluigi Buffon melihat Si Kuping Besar sedekat lengannya. Pada dua edisi sebelumnya, ia menyaksikan trofi Liga Champions diangkat tinggi-tinggi oleh rivalnya di pentas juara. Sementara itu, ia menangis bersama rekan-rekannya atas kegagalannya di tengah lapangan.
Final Liga Champions pertama terjadi pada edisi 2002-2003 saat Juventus menghadapi rival satu negara, AC Milan. Pada laga yang berakhir adu penalti, Si Nyonya Tua pulang dengan tangan hampa Rossoneri menang 3-2.
Edisi kedua berlangsung baru-baru ini. Baru dua tahun lalu. Wanita tua dikalahkan Barcelona dengan skor telak 1-3.
Memasuki final untuk ketiga kalinya, tidak ada lagi kendala bagi mereka di final. AC Milan tak berlaga di Liga Champions karena memulangkan Barcelona di perempat final dengan skor agregat cukup telak, 3-0.
Final kali ini terasa semakin spesial bagi Buffon, pasalnya di usianya yang sudah menginjak 39 tahun, ia baru kini berpeluang menggenapi satu-satunya gelar dalam kariernya.
“Untuk pemain lainnya, Dani Alves misalnya. Mereka masih punya waktu 4 atau 5 tahun ke depan untuk kembali memenangkan trofi ini. “Bagi saya, peluangnya sepertinya baru saja terjadi,” kata Buffon dikutip oleh Irish Times.
Namun, sebagai pemain senior, Buffon tak ingin obsesi pribadinya menjadi beban baginya. Meski final ini bisa jadi menjadi yang terakhir baginya, namun ia tak ingin hasil malam ini membawa penyesalan seumur hidup.
Saya ingin bermain tanpa memikirkan masalah ini, kata Buffon.
Buffon menjadi simbol nasib Juventus di Liga Champions. Bagi raksasa Italia, final Liga Champions bukanlah sesuatu yang terjadi setiap tahun.
Meski menjadi tim dominan di Italia, Juve bukanlah Real Madrid dan Barcelona yang rutin tampil di final. Keduanya mencapai final dua kali dan sama-sama tampil sebagai juara dalam lima tahun terakhir.
Bagi Juventus, final Liga Champions ibarat sebuah siklus yang kehadirannya lebih mendekati mitos ketimbang matematika. Durasinya tidak dapat diprediksi dan sangat lama. Terakhir kali mereka mencapai final adalah dua tahun lalu, namun selama 12 musim mereka belum pernah menginjakkan kaki di papan atas.
Kalaupun mencapai final, belum tentu mereka bisa menjadi juara. Sejak menjuarai Si Kuping Besar 21 tahun lalu di era Marcello Lippi, Juve baru tiga kali mencapai final dengan dua edisi sebelumnya selalu gagal.
Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Lippi seperti dikutip Corriere dello Sport, “Ini saat yang tepat.” Ini adalah waktu yang tepat untuk memenangkan gelar. Dan tradisi tersebut jauh lebih dekat dengan Juventus dibandingkan Real Madrid.
Sepanjang sejarah, sejak era Liga Champions digelar, belum ada juara bertahan yang berhasil mempertahankan gelarnya. “Kutukan” ini terus terjadi dari tahun ke tahun. Termasuk Juventus. Pada musim berikutnya setelah menjuarai Liga Champions 1995-1996, mereka kalah dari Borussia Dortmund di final.
Begitu pula Real Madrid. Anda perlu istirahat satu tahun Orang kulit putih itu setelah pegangan Kesepuluh (gelar kesepuluh) pada 2013-2014 untuk kemudian menjadi juara Kesebelas (gelar kesebelas) pada 2015-2016. Tradisi yang sudah berlangsung lama sejak tahun 1992, ketika sistem dan nama ajang paling bergengsi di Eropa berubah dari Piala Champions menjadi Liga Champions, sulit diubah malam ini.
Juventus akan datang ke Millennium Stadium di Cardiff, Wales dengan skuad lengkap. Tidak ada pemain yang tidak memenuhi syarat untuk pertandingan ini. Berbeda dengan Real Madrid yang baru saja menyambut kembali Gareth Bale setelah pemain termahalnya baru saja pulih dari cedera.
Juventus adalah yang paling seimbang
Selain itu, Juve terbukti menjadi tim paling seimbang di Liga Champions musim ini. Kekuatan mereka tidak hanya bertahan tetapi juga menyerang.
Di lini belakang, mereka punya pengalaman yang cukup untuk menghentikan agresivitas lawan. Sejak turnamen ini dimulai, tim asal Turin hanya kebobolan 3 gol atau dalam 9 pertandingan belum pernah kebobolan. Bahkan rival abadi Real Madrid, Barcelona, tak mampu menjebol gawang Buffon.
Bandingkan dengan Real yang hampir selalu kebobolan di setiap pertandingan. Satu satunya lembar bersih yang pertama kali mereka ciptakan saat mengalahkan Atletico Madrid 3-0 di semifinal. Selebihnya, pasukan Zinedine Zidane tertinggal jauh.
Di Liga Champions mereka kebobolan 17 gol. Bandingkan dengan Juve yang hanya mencetak 3 gol.
Meski begitu, harus diakui lini depan mereka merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Paket BBC (Gareth Bale, Karim Benzema dan Cristiano Ronaldo) masih menjadi trisula paling berbahaya. Dengan kembalinya Bale dari cedera, trio ini bisa menjadi masalah bagi Buffon dan kawan-kawan.
Selain itu, performa lini depan Real termasuk yang paling menakutkan di Eropa. Di level domestik saja, total gol Real mencapai 106 gol, tertinggi di antara liga-liga besar Eropa lainnya yang berada di kisaran 80 gol. Begitu pula di tingkat Eropa. Real mencetak 32 gol. Bandingkan dengan Juve yang hanya mencetak 21 gol.
Meredam agresivitas Real yang luar biasa akan menjadi jalan utama dalam perang strategis antara Massimiliano Allegri dan Zinedine Zidane. Pengalaman Allegri sebagai juru taktik di level utama sepakbola selama bertahun-tahun akan sangat bermanfaat. Apalagi Allegri sangat berhati-hati. Ia juga bukan pelatih naif yang memaksakan permainannya.
Sebagai pelatih Italia, ex pelatih AC Milan sudah terbiasa menerapkan hal tersebut strategi balasan alias sepak bola reaktif. Juve bisa dengan mudah mengubah formasi di tengah pertandingan dari sistem tiga bek (3-4-2-1) menjadi empat bek (4-2-3-1) sekadar untuk beradaptasi dengan permainan lawan.
Situasi taktis seperti ini mungkin jarang dihadapi Zidane. Apalagi karier manajerialnya di level atas masih berada di tahap awal sejak ia mewarisi tim dari Carlo Ancelotti dua musim lalu.
“Kami menang scudetto dan Coppa Italia. “Gelar final sudah di depan mata dan kami siap menjadikan tahun ini luar biasa,” kata Allegri dikutip Sepak Bola Italia.—Rappler.com