• November 25, 2024

LBH mengecam penangkapan aktivis Komite Nasional Papua Barat

JAKARTA, Indonesia – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengutuk tindakan represif aparat gabungan TNI dan Polri dalam pembubaran kegiatan damai “Doa Pemulihan Bangsa Papua” di Timika, Papua, yang berujung pada penjatuhan hukuman makar terhadap salah satu peserta ibadah.

“Kami mengecam penggunaan pasal makar karena pasal ini kembali digunakan untuk menekan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Papua,” mengatakan jaksa penuntut umum LBH Jakarta, Veronica Koman, pada Sabtu, 9 April.

“Jokowi belum menyelesaikan pekerjaan rumahnya terhadap tapol di Papua, kini jumlahnya ingin ditambah lagi,” kata Veronica.

Berdasarkan informasi yang diperoleh baik dari media maupun saksi di lapangan, pada pagi hari tanggal 5 April 2016, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Timika mengadakan kegiatan doa bersama di halaman Gereja Kalvari GKII Timika.

Saat kegiatan berlangsung, aparat gabungan membubarkan kegiatan dengan melepaskan tembakan ke udara dan menyerang massa.

Aparat gabungan kabarnya memukul, menendang, memukul dengan alat pemukul senjata terhadap puluhan peserta kegiatan. Ada pula anggota TNI yang menelanjangi anggota KNPB berinisial IT.

Dua anggota KNPB berinisial AD dan AE juga mengalami luka berat dan harus dilarikan ke rumah sakit. Sejumlah spanduk, pakaian, dan pernak-pernik juga disita polisi.

Penggerebekan oleh pasukan keamanan menyebabkan penangkapan 15 orang anggota KNPB. Sebanyak 13 orang kemudian dibebaskan keesokan harinya dengan status wajib lapor tanpa batas waktu.

Dua orang lainnya yakni Steven Itlay dan Yus Wenda masih ditahan di Polres Mimika. Steven dijerat pasal 106 KUHP yakni pasal makar.

Filep Karma, mantan tahanan politik Papua yang baru-baru ini dibebaskan setelah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, menuduh pihak berwenang sengaja melakukan upaya untuk merampas kebebasan berekspresi aktivis Papua.

“Itu adalah cara zaman feodal Belanda untuk membungkam para pejuang kemerdekaan Indonesia. Aneh dan aneh, di era demokrasi modern ini, Indonesia masih menggunakan cara-cara opresif abad ke-18, kata Filep.

Lanjutnya, “Bagaimana jika penggunaan cara-cara represif dan pasal makar terus digunakan sehingga membuktikan bahwa NKRI tidak bisa dipercaya? Hal ini akan semakin mendorong simpati masyarakat terhadap penderitaan dan perjuangan rakyat Papua.”

Filep meminta pemerintah memberi keadilan dan memperlakukan aktivis Papua secara manusiawi.

Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, setuju dengan pernyataan Filep.

“Pemerintah takut sekali dengan simbol identitas Papua, apa Padahal simbol ini pernah bisa dikenal secara damai pada masa Gus Dur,” ujarnya Alghiffari.

“Pemberantasan secara represif tidak akan mampu menghilangkan permasalahan di Indonesia Papua. “Penggunaan pasal makar justru akan memperburuk keadaan,” ujarnya.

Untuk itu, LBH Jakarta meminta Kapolres Mimika, Kapolda Papua, dan Kapolri segera menghentikan penyidikan dan membebaskan Steven, serta segera membebaskan Yus Wenda.

Mengapa? Sebab yang bersangkutan hanya disangkakan melanggar Pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 2 tahun 8 bulan. LBH Jakarta juga menuntut keseriusan komitmen Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam menyelesaikan persoalan tapol di Papua.

Versi polisi: Aktivis memukuli kapolsek

Sementara itu, Polres Mimika mengaku menangkap sekitar 12 aktivis KNPB menyusul pengeroyokan Kapolres Mimika AKBP Yustanto Mudjiharso di Lapangan Desa Bhintuka-SP13, Selasa, 5 April.

Kapolres Mimika Yustanto di Timika mengatakan, peristiwa pengeroyokan itu terjadi saat dirinya bersama anggota dibantu aparat TNI hendak membubarkan paksa kegiatan orasi aktivis KNPB.

Aktivis KNPB pimpinan Steven dalam orasinya menantang masyarakat setempat untuk bersuara demi kemerdekaan Papua dan kemerdekaan dari NKRI.

Saat itu, salah satu aktivis KNPB memukul Yustanto Mudjiharso hingga mengalami luka di bagian bibir.

Anggota langsung menangkap 12 orang, termasuk pimpinan KNPB wilayah Timika, Steven Itlay. Kami juga menangkap para provokator dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut sebagai penggerak massa, kata Yustanto.

Puluhan aktivis KNPB kini menjalani pemeriksaan intensif di Polsek Kuala Kencana.

Yustanto mengatakan, polisi melakukan pendekatan persuasif kepada aktivis KNPB sebelum memberikan pidato. Namun ajakan tersebut tidak dihiraukan, justru aktivis KNPB tetap leluasa mengumpulkan massa dan menyampaikan orasi-orasi provokatif.

“Mereka berjanji tidak akan berpidato terkait referendum dan hal-hal lain. Namun dalam praktiknya mereka masih mengatakan hal seperti itu. “Kami sudah berkomitmen, jika aktivitas mereka melanggar hukum, kami akan tindak tegas,” kata Yustanto.

Polres Mimika, kata dia, meminta dukungan dari Pemerintah Kabupaten Mimika dan seluruh tokoh agama di wilayah tersebut, seperti tokoh gereja, untuk membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk tidak mengadakan kegiatan politik, khususnya kegiatan separatis di lingkungan gereja.

“Kami memberikan kebebasan penuh jika masyarakat benar-benar mengadakan kegiatan ibadah. Namun jika dicampur dengan kepentingan politik tertentu untuk meminta referendum dan sebagainya, maka itu sudah merupakan pelanggaran hukum. “Kami tidak akan memberikan toleransi sedikit pun terhadap hal-hal seperti itu,” kata Yustanto.

Berdasarkan pantauan Polsek Mimika, beberapa hari sebelumnya aktivis KNPB membagikan selebaran kepada masyarakat setempat untuk mengikuti kegiatan orasi. Mereka bahkan mengundang pejabat Pemkab Mimika dan DPRD setempat.

Pasca kejadian tersebut, situasi di Desa Bhintuka-SP13 kembali kondusif. —Dengan laporan Antara/Rappler.com

BACA JUGA:

Keluaran HK Hari Ini