PTUN batalkan izin reklamasi tiga pulau
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia (UPDATED) – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta untuk izin melakukan reklamasi tiga pulau di Teluk Jakarta. Demikianlah berakhirnya sidang gugatan Pulau F, I, dan K yang telah tertunda sejak Maret tahun lalu.
“Mencabut Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2.485 Tahun 2015 tentang izin reklamasi Pulau K,” kata Ketua Hakim Arif Pratomo di Ruang Sidang Kartika, PTUN Jakarta, Kamis, 16 Maret 2017. Keputusan ini disambut baik. dengan sorak-sorai rasa syukur dari para nelayan yang hadir secara langsung.
Majelis hakim mengabulkan seluruh tuntutan yang diajukan, yaitu karena penerbitan izin dilakukan secara rahasia; persyaratan izin lokasi tidak terpenuhi; dan terdapat manfaat pembangunan bagi masyarakat dan kerugian yang lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh nelayan.
Namun majelis hakim menolak Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang menjadi salah satu penggugat. Mereka menemukan permasalahan pada struktur organisasi sehingga tidak memenuhi syarat untuk menggugat.
Seluruh gugatan yang dikabulkan berasal dari penggugat 2 yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang juga merupakan anggota koalisi dan merupakan seorang nelayan.
Terkait keputusan tersebut, kuasa hukum Pemprov DKI Jakarta Haratua Purba belum bisa berkomentar. “Majelis hakim tidak terlalu jelas membaca pertimbangannya, makanya kita putuskan dulu baru kita pelajari,” ujarnya di sela-sela sidang.
Haratua mengatakan sebagian besar isinya sejalan dengan keputusan Pulau G yang telah disidangkan sebelumnya. Meski majelis hakim PTUN mengabulkan permohonan penggugat, namun putusan tersebut dibatalkan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Dalam waktu 14 hari setelah putusan, dia menyatakan akan membahas apakah akan mengajukan banding atau tidak.
Kuasa hukum terdakwa intervensi, Akbar Surya, juga belum memutuskan apakah pihaknya akan mengajukan banding atau tidak. Namun, ia mengaku keberatan dengan beberapa poin dalam putusan yang disebutkan hakim.
Permasalahan dan dampak AMDAL
Menurutnya, dari segi hukum, sebagian penggugat tidak mempunyai kepentingan langsung terhadap dampak daur ulang yang mereka sebutkan. “Penggugat banyak yang tidak berdomisili di Ancol, banyak yang ber-KTP di Angke. Jadi menurut kami, tidak ada satu pun dari penggugat tersebut yang mempunyai kepentingan langsung, ujarnya.
Menurut dia, alasan AMDAL harus dibatalkan karena pengembang menjalankan prosesnya sesuai prosedur. “Sudah selesai dan lolos,” ujarnya.
Haratua juga merasa keberatan ketika disebutkan bahwa masyarakat dan penggugat tidak dilibatkan dalam proses sosialisasi proyek daur ulang tersebut. Salah satunya, WALHI yang rajin mengikuti dari awal hingga akhir.
“(Sosialisasi AMDAL) jelas, WALHI ikut, seluruh kegiatan AMDAL di DKI (Jakarta) WALHI ikut,” ujarnya. Oleh karena itu, tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa penggugat tidak terlibat.
Salah satu celah yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah provinsi dan pengembang adalah terlambatnya pengajuan tuntutan hukum. Menurut mereka, seharusnya gugatan sudah diajukan paling lambat 19 Januari 2016 – atau 90 hari sejak surat keputusan diterbitkan, yakni 22 Oktober 2015. Sementara, gugatan baru diajukan pada 21 Januari 2016.
Namun fakta tersebut ditunda oleh majelis hakim dengan alasan gugatan masih dalam tenggat waktu. “Majelis hakim (putusan) berbeda,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan pengacara PT Jakarta Propertindo dan PT Jaladri Kartika Pakci, Aldrien S. Patty. Meski belum bisa memastikan apakah akan mengajukan banding atau tidak, namun ia melihat ada celah lain yang bisa dimanfaatkan oleh tergugat atau tergugat intervensi.
“Ya, (status resmi WALHI dan KNTI) adalah satu. Tapi juga sosialisasi,” ujarnya. Dalam hal ini, lanjutnya, fokusnya lebih kepada WALHI.
Menurutnya, tidak beralasan jika pihak organisasi sebagai pelapor mengaku tidak mengetahui sosialisasi proyek daur ulang tersebut. Mereka adalah bagian dari salah satu tim penilai Pemerintah Provinsi, dan mengetahui seluruh proses dari awal hingga akhir.
Soal pertimbangan hakim lain terkait minimnya kemaslahatan publik, Aldrien justru kebingungan. Proyek ini, kata dia, merupakan bagian dari pembangunan tanggul raksasa NCICD.
“Manfaatnya bersifat nasional, kenapa dikatakan tidak ada kepentingan umum?” dia berkata.
Ulangi Pulau G?
Meski harus menelan tiga kekalahan sekaligus, sang terdakwa tampak tak khawatir. Haratua memperkirakan akhir dari seluruh gugatan tersebut akan sama seperti Pulau G. Dimana Pemprov DKI dan pihak pengembang memenangkan banding.
Aldrien pun menilai semua putusan tersebut cenderung serupa, dan putusan kasasi Pulau G akan menjadi barometernya. “Paling-paling (putusan kasasi) keluar beberapa bulan ke depan, nanti bisa dilihat. “Jangan terlalu khawatir,” katanya.
Kekhawatiran serupa juga dirasakan pengacara koalisi, Tigor Gempita Hutapea. “Ini (banding) yang kami takutkan karena Pengadilan Tinggi ditutup. “Kami tidak bisa membantah, kami khawatir ada akrobatik hukum yang dilakukan majelis,” ujarnya.
Ia mengatakan, majelis hakim cenderung menafsirkannya sendiri, ketimbang mempertimbangkan aspek hukumnya. Dia mencontohkan kasus putusan Pulau G yang meski gugatannya dikabulkan PTUN, namun dibatalkan oleh PTTUN. Saat itu disebutkan batas waktu pengajuan gugatan selama 90 hari dimulai sejak pembangunan Pulau G dimulai pada 2015. Oleh karena itu, gugatan koalisi dianggap gugur.
Mantan pengacara publik LBH Jakarta ini mengaku menyiapkan argumentasi khusus mengingat potensi kejadian serupa terulang kembali dalam putusan di Pulau F, I, dan K. “Kami juga akan meminta KY (komisi kehakiman) untuk mengawasi proses pemilihan hakim karena kemarin tidak obyektif,” ujarnya.
Untuk diketahui, sidang ini didaftarkan KSTJ yang terdiri dari nelayan dan organisasi masyarakat dengan terdakwa Pemprov DKI Jakarta, pengembang yakni PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Jakarta Propertindo, dan PT Jaladri Kartika Pakci.
Gubernur DKI Jakarta yang saat ini dimiliki oleh Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama memberikan izin pelaksanaan daur ulang melalui Keputusan Gubernur DKI Nomor 2.268 Tahun 2015 (Pulau F), Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2.269 Tahun 2015 (Pulau I), dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2.485 Tahun 2015 (Pulau F). -Rappler.com