Dibalik Bubarnya Perbincangan LGBT di ITB Bandung
- keren989
- 0
“Di kampus keberagaman harus dijaga. Kalau di kampus keterbukaan berpikir dibatasi, lalu di mana kita melakukannya?” kata salah satu sumber pemesanan.
BANDUNG, Indonesia—Merebaknya isu-isu Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) baru-baru ini telah menyadarkan diskusi mengenai isu-isu ini. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), diskusi bertema kampus dan LGBT terpaksa dibubarkan dengan alasan tidak memiliki izin.
Semula diskusi yang digelar Persatuan Studi Ilmu Pengetahuan Sosial (PSIK), Majalah Ganesha—Kelompok Kajian Sejarah Ekonomi Politik (MG-KSSEP) dan Lembaga Sosial Humaniora Tiang Bendera (ISH TIBEN) ini rencananya akan dilaksanakan pada pukul 15.00. Jumat, 26 Februari di Amphitheater ITB. Diskusi rencananya akan digelar di Jalan Ganesha Bandung.
Namun acara tersebut dibatalkan dengan alasan tidak mendapat izin dari Lembaga Kemahasiswaan (ILI) ITB. LK ITB berdalih panitia tidak mendapatkan izin pemesanan kegiatan padahal sudah diberikan izin peminjaman tempat.
Alasan lainnya, LK ITB tidak bisa mengizinkan diskusi tersebut karena kedua narasumber cenderung berpihak pada komunitas LGBT dan membuat propaganda. Selain itu, ITB juga ingin menghindari isu-isu kontroversial.
Karena dilarang, panitia kemudian berusaha mencari tempat lain agar pembicaraan tetap bisa berlangsung. Namun pihak kampus tetap tidak mengizinkan hingga berujung pada pembubaran.
“Jadi, setelah diskusi dilarang, kami memutuskan untuk melakukan bagian tertutup dengan narasumber. “Tapi tiba-tiba pihak mahasiswa datang bersama satpam dan membubarkan acara kami,” kata Durga Agni Maheswari, salah satu panitia, kepada Rappler, Sabtu, 27 Februari.
Terakhir, panitia mengadakan diskusi tertutup di sekretariat salah satu unit kemahasiswaan. Acara diskusi berlangsung hingga pukul 18.30.
Tindakan pembubaran ini disesalkan oleh Pingkan Persitya, anggota Support Group dan Resource Center for Sexuality Studies (SGRC) Universitas Indonesia. Pingkan yang hadir sebagai salah satu pembicara kecewa dengan sikap kampus yang mengingatkannya pada masa Orde Baru.
“Pak Ari (dosen Unpad yang saat itu juga menjadi pembicara) dan saya tidak percaya hal ini terjadi lagi di kampus. “Seperti kembali ke masa Orde Baru,” kata Pingkan.
Saat dibubarkan, menurut Pingkan, tidak ada perlawanan dari panitia. Meski demikian, Pingkan sendiri mengaku prihatin dengan panitia dan peserta diskusi yang kebebasan berdiskusinya terbatas.
“Saya pribadi cukup kecewa dengan sikap pihak kampus karena secara tidak langsung membatasi ruang gerak mahasiswa untuk berdiskusi secara terbuka di kampus, apalagi membahas isu-isu sensitif. “Saya juga prihatin dengan pihak penyelenggara, saya khawatir ada pembatasan bagi mereka untuk terus beraktivitas di dalam kampus itu sendiri,” ujarnya.
Pingkan menilai kekhawatiran pihak kampus tidak berdasar karena topik yang dibahas dalam diskusi tidak fokus pada pro dan kontra terhadap LGBT, melainkan memandang kebebasan berdiskusi di kampus dalam membahas isu-isu sensitif seperti LGBT.
“Sebenarnya dalam diskusi itu kami tidak membahas pro dan kontra LGBT. Pada diskusi kemarin, kami baru saja menyampaikan bagaimana kebebasan berdiskusi di kampus saat ini, terutama jika membahas isu-isu sensitif, seperti LGBT. Namun pro dan kontranya sendiri tidak dibahas dalam diskusi semalam karena bukan bagian darinya kerangka acuan “(TOR) dikirimkan ke SGRC oleh pihak penyelenggara,” kata Pingkan.
Pemateri lainnya, Ari Adipurwawidjana, menilai salah besar jika pihak kampus menganggap narasumber yang diundang cenderung memihak dan menciptakan propaganda. Menurut dia, peserta percakapan tersebut tidak mewakili pihak-pihak yang secara terang-terangan mengutarakan kelebihan dan kekurangan LGBT.
“Kalau judulnya (diskusi) Kampus dan LGBT, yang jelas saya berpihak pada kampus, karena saya orang kampus. “Tidak boleh ada keengganan atau pembatasan sosial di kampus untuk membicarakan hal-hal tertentu,” kata dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran itu.
“Di kampus, keberagaman harus dijaga. Jika keterbukaan berpikir di kampus terbatas, lalu di mana kita melakukannya?” dia berkata.
Sementara itu, ITB menegaskan, aktivitas pemesanan tidak diperbolehkan. Kepala Direktorat Humas dan Alumni ITB, Samitha Dewi Djajanti menjelaskan, setiap kegiatan yang berlangsung di lingkungan ITB harus memiliki izin.
“Pelaksana kegiatan belum mendapatkan izin sehingga belum memiliki izin dan tidak bisa melaksanakan kegiatan,” tegasnya.
Samitha menjelaskan aturan pelaksanaan kegiatan di ITB harus mendapat izin dari Badan Kemahasiswaan jika kegiatan tersebut dilakukan oleh unit kegiatan mahasiswa, atau Program Studi dan Fakultas/Sekretariat jika berbentuk perkumpulan.
Selain itu, panitia juga harus mendapatkan izin lokasi dari Sarana dan Prasarana, serta izin keamanan dan keselamatan kerja dan lingkungan dari K3L (Keamanan dan Keselamatan Kerja dan Lingkungan).
“Itu aturan umumnya ya, untuk detailnya setiap orang punya persyaratannya masing-masing. “Jadi kami tidak diperbolehkan melakukan aktivitas tanpa izin,” ujarnya.—Rappler.com
BACA JUGA: